Ah, Singapura. Negeri singa yang gemerlap. Dua kali aku menjejakkan kaki di sana, namun tak meninggalkan kesan mendalam. Mungkin karena jiwaku terlalu liar, terlalu bebas, untuk terkungkung dalam keteraturan yang berlebihan. Orang-orangnya seperti robot, bergerak presisi, mengikuti aturan dengan disiplin yang membosankan.
Perjalananku yang pertama ke Singapura adalah untuk menghadiri pameran lukisan. Aku masih ingat dengan jelas, saat itu aku bekerja di majalah "a*", sebuah majalah gaya hidup yang cukup ternama di Jakarta. Tugasku adalah meliput pameran tersebut, menuliskan ulasan tentang karya-karya seni yang dipamerkan, dan mewawancarai para senimannya.
Pameran itu sendiri cukup mengesankan. Karya-karya yang ditampilkan sangat beragam, mulai dari lukisan klasik hingga instalasi seni kontemporer. Namun, entah mengapa, aku merasa ada yang kurang. Suasana di pameran itu terasa dingin, steril, tanpa gairah. Para pengunjungnya pun tampak kaku, berjalan dengan langkah terukur, sesekali berhenti untuk mengamati lukisan dengan ekspresi datar.
Aku mencoba berinteraksi dengan beberapa seniman, namun percakapan kami terasa hambar. Mereka terlalu formal, terlalu tertutup, seolah-olah takut mengungkapkan perasaan dan pikiran mereka yang sebenarnya. Aku merindukan kehangatan dan spontanitas yang biasa kutemukan di kalangan seniman Indonesia.
Setelah pameran selesai, aku menyempatkan diri untuk berkeliling kota. Singapura memang kota yang modern dan bersih. Gedung-gedung pencakar langit menjulang tinggi, jalan-jalan raya terbentang luas, taman-taman kota tertata rapi. Namun, semua itu terasa begitu artifisial, begitu jauh dari kesederhanaan dan kealamian yang kurindukan.
Perjalananku yang kedua ke Singapura adalah untuk meliput persiapan lomba balap mobil Formula 1. Aku ditugaskan untuk mewawancarai para pembalap, melaporkan kondisi sirkuit, dan menulis artikel tentang serba-serbi acara tersebut.
Lomba balap mobil Formula 1 adalah acara yang sangat bergengsi. Singapura menjadi salah satu tuan rumah acara ini, dan mereka benar-benar mempersiapkannya dengan sangat matang. Sirkuit jalan raya yang digunakan untuk lomba dibangun dengan teknologi canggih, dan semua fasilitas pendukung disiapkan dengan sempurna.
Namun, lagi-lagi aku merasa ada yang kurang. Atmosfer perlombaan terasa dingin dan formal. Para penonton tampak lebih fokus pada gadget mereka daripada pada aksi para pembalap di lintasan. Aku merindukan semangat dan antusiasme yang biasa kutemukan di arena balap di Indonesia.
Aku menyadari bahwa Singapura dan Indonesia adalah dua negara yang sangat berbeda. Singapura adalah negara kota yang modern dan maju, dengan aturan dan disiplin yang ketat. Indonesia adalah negara kepulauan yang luas dan beragam, dengan budaya dan tradisi yang kaya.