Mata Hati Telinga

Prily R. Madansary
Chapter #2

SUGAR

Jalanan kota Bandung siang itu sangat padat, Kinanti yang berada di dalam angkot jurusan Riung Bandung-Dago tampak berkali-kali melirik jam tangannya. Hari itu dia ada meeting akhir persiapan pernikahan salah satu klien Wedding Planner-nya di kafe di kawasan Dago. 

Karena kehabisan kuota internet, Kinanti lalu meng-sms salah satu partnernya yang akan ikut meeting.

To: Ghea Prastika

 Aku masih on the way,

kamu masuk duluan aja, Ghe.

Macet parah nih.

Sebagai pemilik yang juga turun langsung menangani klien, Sugar Wedding Planner sudah banyak dikenal di daerah Bandung. Padahal usaha Wedding Planner-nya itu baru berjalan serius sekitar 2 tahun, selepas Kinanti lulus kuliah, dibantu oleh teman-teman semasa kuliah juga adik kelasnya di kampus.

Handphone-nya Kinanti berbunyi, ternyata Wira, sahabat dan partner di Sugar menelepon.

“Halo, Wir...”

“Dimana, Nan?”

“Di angkot, baru nyampe jalan Supratman, macet parah nih. Kamu dimana?”

“Di Citarum. Aku tunggu di Pusdai ya, nanti aku anter ke kafe tempat meeting.”

“Asyik, thank you, Wira.”

Wira Adinaya, sahabat Kinanti dari zaman sekolah dasar. Dulu rumah mereka bertetangga, tapi setelah lulus SD Wira pindah rumah, namun tetap bersahabat karena dari SD sampai SMA mereka selalu satu sekolah. Hanya pas kuliah saja mereka berpisah karena beda jurusan walaupun masih satu universitas. Wira juga ikut andil dalam Wedding Planner-nya, selain itu dia punya band bersama teman-temannya yang suka mengisi hiburan di acara wedding klien Sugar. 

*

“Mbak Kinan, terima kasih banyak ya, semoga lancar acaranya, dan terima kasih sudah mempercayakan restoran kami sebagai partner dari Sugar.” Ujar Pak Dimas, manajer kafe Venus. 

“Iya, Pak, sama-sama. Maaf ya kalau merepotkan, dan maaf juga kalau mendadak. Karena klien kami tiba-tiba mengubah semua konsep jadi harus diatur ulang kembali.” Kata Kinanti.

Ya, klien Sugar kali ini sudah berulang kali mengubah konsep pernikahannya. Padahal acaranya itu berlangsung seminggu lagi, tapi dia meminta untuk mengubah konsep dekorasi dan catering. Untung saja Kinanti sudah dekat dengan vendor-vendornya. Walaupun gak enak hati tapi Kinanti bisa melobi mereka.

Meeting sudah selesai setengah jam yang lalu, Kinanti, Wira, dan Ghea masih berada di kafe Venus, selain untuk menghabiskan makan siangnya, juga untuk final check acara pernikahan klien mereka.

“Wir, bisa ya kamu main minggu depan? Vokalisnya The West masih sakit, jadi manajernya minta tolong kamu buat gantiin.” Tanya Kinanti dengan muka memelas.

“Duh, gimana ya? Aku harus keluar kota sih, ada reunian anak-anak fakultas.” Jawab Wira sambil tangan kirinya memainkan handphone.

“Yah, Wira, please dong, Wir... Masa ga kasian sama aku?” Kinanti mengeluarkan jurus puppy eyes-nya yang bakalan bikin Wira luluh.

“Hm, ya udah deh, tapi aku harus ketemu dulu sama anak-anak The West.” Jawab Wira setelah agak lama berpikir.

Kinanti menarik nafas lega.

“Akhirnya... Kinanti mukanya udah ga karuan gitu, Wir. Pusing banget ngadepin klien satu ini, sist.” Ujar Ghea sambil mengusap mukanya Kinanti dengan tisu.

Wira tertawa.

Lihat selengkapnya