Mata Jahat

Ratih Setyorini
Chapter #1

Mata Jahat #1

Mata Jahat

Pohon–pohon besar berjejer, berdiri kokoh menghijau di area Pondok Pesantren Nurul Ilmi, menghalau teriknya matahari yang menyengat. Daun–daun rimbun yang menancap kuat pada puluhan batang menyejukkan lingkungan Pesantren Nurul Ilmi. Pondok Pesantren Nurul Ilmi sudah tua. Tampak dari gaya bangunannya yang menggambarkan gaya arsitek zaman dahulu. Tua tapi masih terawat dan tertata. Sekilas sedikit terkesan angker tapi bukan angker tepatnya eksotik. Kyai Malik, pemimpin pondok pesantren saat itu berencana memperbarui masjid pondok. Kerabat Pak Kyai mengenalkan Pak Kyai pada salah seorang kontraktor bangunan yang biasa mengerjakan proyekan pembangunan di yayasan miliknya.

Siang itu Pak Hasbih menemui Kyai Malik untuk menggali informasi dari Pak Kyai untuk memudahkannya dalam perencanaan pembangunan masjid.

“Jadi … Pak Kyai mau direncanakan masjid seperti apa?” Kontraktor bangunan yang dikenalkan kerabat Kyai Malik memulai pembahasan proyek pembangunan dengan ramah.

“Tidak perlu megah–megah yang penting masjidnya membuat para santri dan santriwati bisa beribadah dengan khusyu, tidak perlu rotan untuk memaksa mereka pergi ke masjid.” Pak Kyai mengutarakan harapannya pada Pak Hasbih sambil tersenyum.

Pak Kyai memberikan berkas–berkas pada Pak Hasbih untuk dipelajari yang akan membantunya merancang perencanaan masjid pondok pesantren.

“Pak Hasbih sakit?” Pak Kyai menelisik raut muka Pak Hasbih dengan mendalam.

Pak Hasbih, pria yang memiliki postur tubuh tinggi besar dan gagah menggelengkan kepalanya dengan perlahan.

 “Alhamdulillah saya sehat, Pak Kyai. Apa kelihatan sakit?”

“Tidak … tidak, bukan sakit itu.” Mulut Pak Kyai tersendat untuk menjelaskan.

“Sudahlah. Tidak usah dibahas lagi. Badan Pak Hasbih gagah seperti ini insyaa Allah sehat–sehat saja.” Pak Kyai enggan membahas lebih lanjut.

“Baiklah. Minggu depan saya kembali lagi kesini menunjukkan desain masjid pada Pak Kyai.” Pak Hasbih membereskan berkas–berkas dengan semangat. 

 Waktu beranjak dengan cepat. Telah sampai pada masa yang dijanjikan oleh Pak Hasbih untuk menunjukkan hasil karya desainnya. Pak Kyai menganggukkan kepalanya, pertanda menyetujui hasil rancangan dari tangan terampil Pak Hasbih. Tidak ada masalah dengan rincian biayanya. Pak Hasbih memberikan potongan harga untuk setiap proyek pembangunan masjid.

Pengerjaan masjid pondok pesantren segera dilaksanakan. Pak Hasbih mendirikan rumah bedeng di sekitar pembangunan proyek masjid. Tidak jarang ia menginap disana supaya tidak bolak–balik mengawasi perkembangan proyek setiap tahapannya meski ada seorang mandor yang bertugas. Sementara untuk sholat berjamaah, penghuni pesantren menggunakan aula pondok yang memang luas.

 Siang melambai pamit pada cakrawala. Bulan tampak malu merayap di langit senja akan segera menggantikan tugas sang mentari yang akan segera beranjak pergi dan kembali ke peraduannya. Pak Hasbih sepertinya akan kembali menginap di proyekan. Silir angin terasa berhembus lembut. Menyentuh kulit tubuh yang tidak berselimut. Hembusan itu menusuk dingin. Selang tak berapa lama, rasa dingin itu merangkak pergi dan berganti. Tiba–tiba desir angin yang semula dingin kini berhembus panas menusuk tulang kaki kiri Pak Hasbih yang sedang duduk di kursi kerjanya.

“Aaah, sakit … panaas. Kakiku sakit. Ya, Allah kenapa ini?” Pak Hasbih mengaduh kesakitan.

Dirinya berpikir mungkin karena seharian berkeliling mengawasi pekerjaan anak buahnya menyebabkan kakinya menjadi sakit. Pak Hasbih beranjak dari kursi kerjanya. Berjalan dengan tertatih. Kaki kirinya terasa panas dan sakit digerakkan. Tangannya memegang dinding triplek untuk menahan tubuhnya supaya tidak terjatuh. Jika disentuhkan pada lantai, kaki kiri Pak Hasbih terasa sangat sakit. Tidak ada tongkat yang bisa digunakan untuk menopang tubuhnya, Pak Hasbih terpaksa berjalan setengah meloncat dengan kaki kanannya. Sambil menahan kesakitan, Pak Hasbih berjalan dengan kepayahan menuju ruang sebelah yang hanya disekat triplek. Pak Hasbih berbaring di kasur tipis sambil menyandarkan punggungnya di dinding kemudian memijat kakinya yang terasa panas.

 Senja berganti malam. Kaki yang terasa sakit sudah mereda. Sesaat ketika mata hendak dipejamkan, desir angin meniupkan rasa dinginnya mencambuk kulit tubuh. Tubuh Hasbih menggigil kedinginan. Selimut tipis ia bentangkan menutupi rapat-rapat tubuhnya yang dingin. “Ada apa lagi ini, sakit kaki sudah hilang tiba-tiba rasa dingin menyerang.” Hasbih menggerutu.

Hasbih memaksakan diri untuk bangkit. Berjalan perlahan menghalau ketidakberdayaan yang mendera. Kedua kakinya melangkah menuju ruang depan untuk mengambil air hangat yang bisa melepaskan rasa dingin yang menyerang tubuhnya. Maklumlah ia hidup di rumah bedeng seorang diri. Entah kenapa hatinya berbunga saat berada di pondok pesantren dan ingin menginap di sana. Sang ibu pun sering menghubunginya menanyakan kabar dan kapan ia akan pulang.

 Akhirnya pagi yang dinantikan menyapa. Pilu di malam hari mendadak pergi. Hasbih sudah tak menggigil lagi. Hening seorang diri telah berganti dengan keriuhan oleh para pekerja proyek pembangunan masjid yang kembali datang bekerja. Pekerja sudah tampak dengan segala peralatannya berjibaku melaksanakan tanggung jawabnya merampungkan pembangunan masjid pondok pesantren. Pagi itu, kaki Pak Hasbih sudah bisa digerakkan dan bisa berjalan tanpa rasa sakit walaupun tubuhnya terasa lelah. Pak Hasbih tampak mengawasi anak buahnya dari kejauhan. Tak ada yang harus dikhawatirkan, semuanya berjalan normal dan baik–baik saja.

Hari cepat berlalu. Sudah di penghujung siang, rongga dada Pak Hasbih mendadak berdegup. Sejak kali pertama dirinya mengerjakan proyek pembangunan masjid ia menyadari jika setiap senja ada hal aneh yang selalu ia rasakan. Hembusan angin itu kembali ia rasakan, masuk ke kakinya. Kejadian yang sama terjadi lagi.

Lihat selengkapnya