Mata Jahat

Ratih Setyorini
Chapter #2

Mendadak Santri #2

Mendadak Santri

Hentakan angin konstruksi proyek pembangunan Masjid Pondok Pesantren Nurul Ilmi membubungkan debu di balik pagar seng pengaman yang berdiri kokoh disokong tiang. Masih lama pemandangan debu bergerumul dan suara bising dari alat pengecoran akan menemani para penghuni di area sekitar pondok pesantren. Perkembangan pembangunan masih merangkak melepaskan satu bulan tahapannya. Sudah satu bulan lamanya Pak Hasbih dan rekan berada di area pondok pesantren itu.

Serangan yang menusuk kaki Pak Hasbih sudah lama tak menunjukkan kehebatannya. Pak Hasbih memutuskan untuk mengikuti ajakan Pak Kyai untuk mendalami ilmu agama di pesantren setelah sakit kakinya tak pernah ia rasakan lagi. Pak Hasbih mengikuti kelas khusus tahsin yang dilaksanakan mulai pukul 20.00 hingga 21.30 wib. Tidak akan memengaruhi pengerjaan proyek masjid karena kelasnya di malam hari dan tidak ada kewajiban tinggal di pondok. 

Ada sepuluh santri yang mengikuti kelas khusus tahsin bersamaan dengan Pak Hasbih. Karena waktu yang singkat, santri lainnya hanya datang saat pembelajaran dan pulang saat selesai pembelajaran. Kesemuanya telah berusia sekitar 40 tahunan dan sudah memiliki keluarga. Hanya Pak Hasbih saja yang masih melajang. Pesantren Nurul Ilmi tidak mewajibkan mereka untuk tinggal di pondok. Program ini memang kelas khusus yang disediakan oleh pondok pesantren bagi mereka yang memiliki kesibukan di siang hari tetapi ingin mempelajari ilmu tahsin karena dilaksanakan selepas isya dengan waktu hanya beberapa jam saja.

Seorang ustaz masuk ke dalam kelas seraya mengucapkan salam, mendoakan para santri yang sudah siap menerima pembelajaran. Doa telah selesai dipanjatkan, ustaz memulai membagikan ilmunya pada para santri dengan metode yang mudah dipahami. Kaidah tajwid pada malam itu mengenai “Nun mati dan Tanwin”. Sesaat sebelum materi pembelajaran, ustaz membagikan materi pembelajaran berupa file yang dibagikan melalui ponsel pintar pada grup kelas tahsin untuk dipelajari oleh para santri. Ustaz menutup materi pada hari itu dengan melantunkan satu ayat suci Al-Quran. Para santri memasang daun telinga lebar-lebar, mendengarkan suara lantunan ustaz tanpa paksaan karena begitu indah dan merdu. Yang paling utama pembacaannya sesuai dengan kaidah tajwid. Relung hati Pak Hasbih tersayat, rinai hampir menetes dari pelupuk matanya, mengingat kemana saja dirinya selama ini. Otak yang terkenal tak membeku telah alpa mengenal kitab suci yang menjadi pedoman hidupnya. Kitab suci hanya menghiasi lemari, tak tersentuh tangan karena tidak membuka apalagi mempelajarinya. Dirinya tidak tahu akan membutuhkan berapa lama dirinya bisa mengikuti jejak ustaz itu melantunkan ayat demi ayat Al-Quran dengan tartilnya.

Lantunan ayat demi ayat Al-Quran saling bersahutan dilantunkan oleh tiap–tiap santri sesuai dengan gilirannya. Saat Pak Hasbih melantunkan beberapa ayat, tiba–tiba peristiwa yang tidak diharapkan menerpa Pak Hasbih. Kejadian yang menggemparkan kelas kala malam itu. Tubuh yang gagah mendadak ringkih tatkala semburan darah segar meluncur dari mulut Pak Hasbih. Dirinya merasa baik–baik saja hari itu apalagi sejak sakit kakinya tak pernah menyerang lagi, Pak Hasbih merasa dalam keadaan sehat. Tapi peristiwa malam itu mengusik kembali ketenangan jiwa Pak Hasbih. Kelas tahsin pun mendadak gempar bukan oleh lantunan ayat yang dibacakan santri secara bergiliran, tapi gempar oleh kepanikan santri yang melihat keadaan Pak Hasbih.

“Astaghfirullah, Pak Hasbih,” Ustaz terkejut melihat apa yang terjadi pada Pak Hasbih.

Ustaz beranjak dari tempat duduknya kemudian menghampiri Pak Hasbih yang duduk di kursi paling depan yang termangu melihat semburan darah keluar dari mulutnya. Beberapa santri ikut membopong Pak Hasbih untuk menyandarkan tubuhnya di tembok. Beberapa santri lainnya memberikan sapu tangan untuk menyeka sisa darah yang membekas di ujung–ujung bibir Pak Hasbih. Santri lainnya memanggil petugas untuk membersihkan lantai. Satu orang santri menyiapkan mobil untuk membawa Pak Hasbih ke rumah sakit. 

Pak Hasbih tergolek lemah di salah satu tempat tidur Unit Gawat Darurat yang ada di rumah sakit paling dekat dengan pondok pesantren. Dokter memberikan rujukan pada Pak Hasbih untuk melakukan cek laboratorium besok pagi untuk melihat kondisi paru–parunya.

Selang beberapa hari, hasil laboratorium itu sudah dapat dilihat. Menurut dokter kondisi paru–paru Pak Hasbih dalam kedaan normal. 

Kyai Malik tersenyum meneduhkan batin Pak Hasbih yang kalut. “Jika ikhtiar untuk kesehatan jasmani sudah dirasakan cukup maksimal, jangan lupakan ikhtiar untuk rohani! Jangan lupa berdzikir semakin kencang! Jika semua itu sudah dilakukan, Pak Hasbih tinggal tawakal, biarkan Allah yang mengurus semuanya!”

Hari berganti hari, Pak Hasbih merasa sudah pulih dan siap dengan rutinitasnya memastikan proyekan pembangunan masjid berjalan semestinya. Batinnya merindu. Rindu pada Sang Pembolak balik Hati. Ingin menyampaikan rasa untuk meminta ketenangan jiwa pada-Nya. Diambilnya air wudhu. Kemudian ia bentangkan sajadah di lantai kosong sebelah kasur tipis di rumah bedengnya. Selama hidupnya, ini adalah kali pertama dirinya mendirikan sholat sunnah dhuha. Hati menjerit tatkala mengingat diri yang jarang memenuhi seruan Illahi untuk menunaikan kewajiban sholat wajib. Hati meraung tatkala dulu tak mengenal sholat sunnah. Batin Pak Hasbih merintih. Selama ini ia jauh sekali dengan Sang Pencipta.

Sudah hampir tiga minggu Pak Hasbih mengikuti kelas tahsin di pondok pesantren. Sudah lama tak ada serangan hembusan panas pada kakinya setiap senja. Tapi tidak kala senja itu. Ketika ia berada di salah satu ruang rumah bedengnya seorang diri, tiba–tiba sepotong benda berbentuk pipih, berwarna perak, berukuran sekitar lima sentimeter melayang di hadapannya.

“Haah … benda apa itu yang mendekatiku? Benda itu melayang–layang menyerangku. To_to_toloong!” Mata Pak Hasbih terbelalak, mulut ternganga melihat benda yang terbang mengarah pada dirinya.

Lihat selengkapnya