Udara Jakarta yang panas dan lembap seakan menempel erat pada kulit Aria Chandra. Ia baru saja menyelesaikan persidangan kasus korupsi yang begitu melelahkan. Di tengah hiruk pikuk kota, ia merasa terasing, seperti terjebak dalam labirin beton yang dingin, dan tak berjiwa. Namun, di balik wajahnya yang lelah, tersembunyi kekuatan yang tak terduga. Aria memiliki mata ketiga, sebuah kemampuan unik untuk melihat masa depan dalam mimpinya.
"Kau lelah, Aria?" tanya Dion, rekan kerjanya yang baru saja keluar dari ruangan, dan baru saja selesai dari persidangan yang cukup rumit juga begitu panjang.
"Sangat, persidangan kali ini benar-benar membuat kantung mataku semakin melebar."
Dion tertawa lebar, ia merangkul rekan kerjanya itu seraya memijat-mijat kecil bahunya.
"Beristirahatlah, 1 minggu ini kau terlalu memporsir tubuhmu begitu berlebihan."
"Apa aku berhenti saja menjadi jaksa, Yon?" celotehnya dengan wajah datar.
"Kau gila!" seru Dion sambil mendorong pelan bahu Aria, kemudian mereka berdua tertawa getir.
Aria kembali merenung saat ia kembali ke ruangannya. Ia menggantungkan jubah Jaksanya di gantungan pakaian, kemudian duduk di dekat meja kerjanya, sambil memijat-mijat secara perlahan keningnya yang mulai mengkerut.
Mimpi-mimpi Aria selama ini memanglah bukan sekadar bunga tidur belaka. Ia melihat banyak kejadian nyata, detail yang mengerikan, bahkan wajah-wajah pelaku utama dalam kejahatan beberapa tahun terakhir ni .
Kemampuan ini menjadi pedang bermata dua untuknya. Di satu sisi, ia mampu membantu mengungkap kejahatan yang terselubung, namun di sisi lain, ia dihantui oleh bayangan-bayangan mengerikan yang menempel di benaknya.
"Pak Aria, kamu baik-baik saja?" Suara lembut Ibu Ratna yang merupakan sekretarisnya, menyadarkan Aria dari lamunannya.
"Ya, Bu. Cuma sedikit lelah. Sepertinya aku kurang tidur." Aria tersenyum tipis, berusaha menyembunyikan kekhawatiran yang menggerogoti hatinya.
"Kamu harus istirahat, Pak Aria. Bapak terlihat pucat." Ibu Ratna yang sudah berusia kepala 5 itu tampak mengkhawatirkan Aria. Dengan penuh perhatian, ia menyodorkan segelas air kepada atasannya itu.
"Terima kasih, Bu." Aria meneguk air dengan perlahan. Ia merasa terbebani oleh mimpi buruk yang baru saja dialaminya. Dalam mimpi itu, ia melihat seorang wanita muda tergeletak bersimbah darah di sebuah gang sempit. Di dekatnya, seorang pria bertopeng dengan mata tajam menatapnya dengan penuh kebencian.
"Ada apa, Pak?" tanya Ibu Ratna, menyadari perubahan raut wajah Aria.
"Tidak apa-apa, Bu. Hanya mimpi." Aria berusaha meyakinkan dirinya sendiri. Namun, rasa tidak nyaman itu tetap menempel. Ia merasa mimpi itu bukan sekedar bunga tidur. Ia merasakan firasat buruk, sebuah firasat yang menggerogoti hatinya.
"Kamu harus selalu berhati-hati, Pak Aria. Kemampuanmu itu adalah anugerah, tapi itu juga bisa menjadi kutukan." Ibu Ratna menatap Aria dengan penuh kekhawatiran.