Arya terdiam sejenak di ruangannya. Udara malam ini di Jakarta terasa sangat dingin serta menusuk. Ia duduk di meja kerjanya seraya memijat-mijat keningnya, matanya yang tampak lelah menatap berkas-berkas kasus yang menumpuk. Sore tadi, ia baru saja menyelesaikan persidangan kasus korupsi yang cukup melelahkan dan masih saja terlihat sangat sengit.
Kasus itu masih berbelat-belit dan belum menenukan titik temu hingga saat ini. Namun, pikirannya tak kunjung tenang. Bayangan-bayangan mimpi buruknya itu masih saja menghantuinya.
"Kenapa? Sejak kasus Rini, kau selalu saja terlihat murung." Suara Dion yang baru saja membuka pintu ruangan kerjanya, memecah lamunan Aria.
"Kau sudah kembali? Bagaimana keadaan Rini?"
Dion duduk di atas sofa dan mengambil roti yang tergeletak di atas keranjang, kemudian memakannya.
"Masih dalam keadaan koma."
"Lalu, di rumah sakit ada siapa?"
"Masih ada Ferdi dan beberapa polisi yang menjaga di sana. Kau tenang saja."
Aria bernapas lega. Karena bagaimanapun, Rini tidak bisa ditinggalkan begitu saja.
"Kenapa?" tanya Dion kembali sambil mengunyah roti isi coklat yang ia makan.
"Hanya lelah, Yo. Kasus Rini ini cukup menguras tenaga." Aria berusaha tersenyum, namun raut wajahnya tetap terlihat muram.
"Kau tak perlu berpura-pura, Aria. Aku tahu kau sedang memikirkan sesuatu." Dion menatap Aria dengan mata tajamnya.
"Aku merasa ada sesuatu yang tak beres, Yo. Aku tak bisa menjelaskannya." Aria menghela napas berat. Ia merasa terbebani oleh mimpi-mimpi buruknya yang tak kunjung berhenti. Mimpi-mimpi itu selalu menayangkan kejadian-kejadian mengerikan, serta bayangan-bayangan gelap yang selalu menghantuinya.
"Apa kau memikirkan kasus pembunuhan berantai dua tahun lalu?" Dion bertanya dengan nada serius," kau ingat perkataanku tadi sore di tempat parkir rumah sakit, kan?"
Aria terdiam. Ia teringat kasus pembunuhan berantai yang menggemparkan Jakarta dua tahun yang lalu. Korbannya selalu wanita muda, dengan ciri khas luka sayatan di kening, dan tanda barcode di pergelangan tangannya. Kasus itu tak kunjung terungkap, bahkan pembunuhnya saja tak pernah ditemukan hingga saat ini.
Kasus itu sempat ditangani olehnya dan juga Dion. Namun, semuanya berakhir sia-sia saja, dan menjadi kasus dingin yang tak terungkap.
"Aku tak bisa melupakan kasus itu, Yo. Aku selalu merasa kasus iti ada hubungannya dengan mimpi-mimpiku selama ini. Walau aku sendiri bingung, kenapa dalam mimpiku itu, ada beberapa potongan kejadian yang terasa menganjal, dan aku belum menemukan jawabannya hingga saat ini," Aria menatap Dion dengan mata tajamnya.
"Kenapa kau tak pernah melihat pembunuh itu dalam mimpi-mimpimu?"tanya Dion heran, "bukankah selama ini, kau selalu mendapatkan sketsa wajah para pelaku kejahatan yang kau tangani dalam mimpimu?"
Aria mengerutkan kening. "Aku tak tahu, Dion. Seolah-olah dia tak ingin aku melihatnya. Biasanya, dalam mimpiku itu, aku selalu mendapatkan sketsa wajahnya walau tidak begitu jelas, atau hal-hal kecil lainnya. Namun, untuk pembunuh satu ini, aku masih belum bisa melihatnya dalam mimpiku."
"Mungkin dia tahu kau memiliki kemampuan unik itu." Dion berbisik, suaranya terdengar dingin.
"Apa maksudmu, Dion?" tanya Aria penasaran.
"Aku tak tahu pasti, Aria. Tapi, aku memiliki firasat buruk. Kasus itu... kasus itu sepertinya tak akan pernah selesai, walau kita tetap mencoba menyelidikinya secara diam-diam." Dion menatap Aria dengan mata tajam.