Matilaaah!
Mungkin kalian tanya, kenapa aku berteriak sekencang itu waktu menebas perempuan setengah ular tadi. Tidak keren, apalagi jika kubayangkan mukaku yang macam bakpao ini sama dua taring mungilnya.
Aku menyerah. Tidak ada keren-kerennya sama sekali, kurasa.
Di luar itu.
“Sayaaang.”
Satu hal sangat kusesali.
“Aku, aku ….” Dadaku amat sesak sekarang, benar-benar sesak. “Gagal melindungimu.”
Maaf ….
***
Hem. Apa aku harus mengenalkan diri?
….
Baiklah, kurasa memang di antara kita tidak semua sudah saling kenal juga. Ya, kan?
Aku, Mi, Ure, lengkapnya Miria de Ure el Arathena. Kepala atau patriark pertama Keluarga Mi dari Lembah Empat Tebing, sebelah utara Rumah Seratus Bebek kalau kalian penasaran itu di mana.
Begini-begini, diriku sudah menikah. Punya dua istri dengan empat orang anak, dua orang putri, seorang putra, sama satu anak angkat. Sebenernya masih ada seorang lagi, tetapi dirinya meninggal saat baru lahir.
“Mi, apa, lagi?”
Ah, ini istriku. Doll. Gaya bicaranya memang unik, jadi tolong jangan tanya kenapa.
“Oh, aku sedang membuat catatan baru, Sayang—hum, kau harum sekali.”
Bisa kalian lihat. Selain badan yang gemuk, perasaannya padaku juga tidak kalah gempal. Bahkan, ia takkan ragu buat menempel bak prangko kalau diriku sedang di rumah seharian penuh.
“Mi, lama. Doll, kangen, gak?”
“Tentu saja, Sayang. Sehari tanpamu duniaku jadi sangat hampa—”
“Bohong!”
Walau, ya, wanita tetaplah wanita.
“Tadi, masak. Daging, gak.”
Gak bisa ditebak terus gampang ngambek kalau maunya tidak dituruti ….
Ngomong-ngomong. Penghujung bulan kedua di musim dingin, 4125 Chloria. Ini minggu terkhirku datang ke Stellar, sekolah tempatku belajar sihir, sekaligus waktu buat lulus ujian penutup di mata kuliah teori.
Dan pas minggu ini selesai, rencananya aku dengan Doll mau pergi ke Hutan Purtara buat melihat Lupin—anak angkatku—sama Arumela, istrinya. Mereka tidak menyuratiku dua bulan kemarin, jadinya kami gak tahu bagaimana kabar terbaru dari calon cucuku.
“Ah, ya. Sudah jam delapan, Sayang.”