Seingatku.
Sandra, Pendeta Tertinggi Suku Kara pada tahun-tahun awalku di Eldhera, menggunakan mantra dan sihir unik yang bukan termasuk rapalan glorian. Jika kitab mantranya kutemukan di Reruntuhan Ghori, aku tak perlu lagi memikirkan syarat naik semester di Stellar tahun depan.
Terlebih, hubunganku dengan mereka di masa lalu sepenuhnya menjadi keuntunganku jika diriku hendak menjelajahi Reruntuhan Kara. Kesempatan sempurna.
Akan tetapi, sebelum itu.
“Seratus sebelas emas!” Aku tidak bisa membiarkan para elf ini jatuh ke tangan orang lain ….
***
Seharian berkeliling Pasar Bawah Tanah Tebun, aku kembali ke rumah dengan membawa pulang lima lusin budak dari bangsa peri hutan alias elf. Masalah serius, karena lebih dari separuhnya adalah wanita.
Kesampingkan soal diriku menghabiskan tujuh puluh tiga keping platinum sama enam puluh sembilan koin emas di pasar gelap, soalnya istriku bakal lebih fokus ke para wanita elf ini.
“Mi. Mereka, siapa?”
Tuh, ‘kan? Belum juga aku mengetuk pintu ….
“Hehe ….” Buru-buru kudekati istriku. “Sayang, mereka pekerja baru yang kurekrut buat membantuku—”
“Apa. Bantu, wanita?”
“Ahaha. Jangan marah, ya. Aku rencananya mau ….”
Kuberitahukan rencanaku untuk melakukan ekspedisi dan penggalian reruntuhan di Gurun Kesik bersama enam puluh elf yang kubawa pulang tersebut, sekalian sama niat ‘tuk menemukan buku mantranya Sandra sebelum mengambil mata pelajaran lanjutan di semester depan.
Juga, gak lupa kusenangkan dirinya dengan bilang rencana ini merupakan agenda liburan kami ke wilayah gurun di barat Arathea dan Tarkaha.
“Bagaimana, kau mau, ‘kan, Sayang?”
“Mi. Bohong, enggak?”
“Apa membawa mereka ke rumah belum termasuk serius?” jawabku sembari meraih tangan dan menarik istriku mendekat, “lihatlah, bukankah orang-orang ini kelihatan sangat meyakinkan.”
“Buat, meyakinkan?”
“Meyakinkan buat jadi penggali makam.”
“Hum.” Istriku beberapa kali melihatku dan para elf bergantian. “Baik. ikut, Doll.”
“Bagus.” Aku senang. Istriku berhasil kubujuk ….
Selanjutnya. Dua hari kuatur para elf sambil menyiapkan bekal untuk ekspedisi ke Gurun Kesik hingga kami akhirnya benar-benar siap dan ….
“Kalian gak bisa kutebak.” Aku tercengang tatkala enam puluh peri hutan ini berbaris rapi bersama unta-unta mereka. “Lima puluh platinumku tidak terbuang percuma—”