“Tuan.”
“Ya, Venka?”
“Anda serius kami boleh mengambil semua emas dan permata di sini?”
Kujulingkan mataku ke keri sembari memiringkan kepala ke kanan dengar pertanyaan tersebut.
“Doll, boleh turun sebentar,” kataku sebelum kemudian meraih Toro di sebelah singgasana, “kita sudah berada di sini selama dua minggu penuh terhitung setelah malam tahun baru ….”
Diriku bangkit, seketika gempa kecil kembali terjadi dan pintu-pintu menuju ruang harta pun tertutup.
“Kalau perkiraanku benar, para elf saat ini sudah keluar dari wilayah gurun—bahkan mungkin mereka kini telah berhasil mencapai dataran hijau di Arathea.”
“A-apa yang terjadi, kenapa gempanya tidak berhenti?”
“Maaf merahasiakan hal ini, Venka,” ujarku sembari mendekat ke peti mati kepala suku terakhir, “kursi atau singgasana di sana adalah pemicu untuk semua jebakan di Ruang Bawah Tanah Kuil Suci.”
“Apa?” Gadis manusia kucing itu mendelik.
Aku maklum, hal sepenting itu memang tidak seharusnya dirahasiakan.
Akan tetapi. “Aku punya alasan sendiri, tolong jangan tanya kenapa. Ah, ya! Kuil Suci Kara sekarang sedang tenggelam, kalian punya waktu lebih kurang setengah jam untuk lari hingga ke pintu keluar.”
“Sialan.”
“Kapten, orang ini menjebak kita.”
“Diam!” Venka sepertinya punya pikiran berbeda daripada anak buahnya. “Orang ini tahu lebih banyak. Jika tidak ada jalan keluar lain, dia seharusnya sudah lari duluan menuju pintu keluar sebelum kita.”
“Huh.” Sudut bibirku naik setengah. “Kau benar, tetapi juga salah. Karena aku punya ini …,” kataku sembari menunjukkan gulungan teleportasi kepada mereka.
Hal yang sontak membuat si manusia kucing dan kelompoknya kalang kabut menuju pintu keluar. “Siaaal! Aku tidak akan pernah melupakanmu, Konglomerat Sialaaan ….”
***
Setengah jam kemudian, begitu Venka dan orang-orangnya pergi.
“Berhentiii!” teriakku dalam bahasa Kara sebelum kemudian bertanya ke mayat yang tengah terbaring di dalam peti mati, “apa kau mau terus berbaring di sana, Kepala Suku?”
Tung! Duak! Penutup Peti Mati Kepala Suku terlempar dari tempatnya, enam detik usai gempa kecil yang langsung berhenti merespons kata-kataku.
“Mi. Apa, bicara?”
“Bukan apa-apa,” sahutku yang lalu menarik Doll mendekat, “sini pegang tanganku, Sayang … peganganku jangan kau lepas, ya?”
“Um.”
Bebarapa detik kemudian, sesuatu pun muncul. Bangkit dari Peti Mati Kepala Suku. Sesuatu yang tak ingin kulihat lagi seumur hidup ….
“Sialan. Kau benar-benar mempermainkanku, Sandra.”
“Ini hanyalah boneka,” sahut orang yang tiba-tiba keluar dari tubuh boneka di peti batu tersebut bak asap keluar dari kayu bakar, “tubuh asliku sudah lama hancur. Hanya boneka inilah yang tersisa di kamar kita, Tuanku.”