Langit biru cerah nan belum pernah kulihat, energi melimpah dan udara teramat segar serta baru pertama kali kurasakan, kemudian hamparan rumput hijau ditambah sama pegunungan ke arah mana pun sejauh mata memandang. Ini sebenarnya ….
“Di mana?”
Beberapa saat lalu, di sekitaran Reruntuhan Kota Ghori.
“Doll, lihat kemari, Sayang.”
“Mi. Apa?”
“Aku akan menunjukan sihir baruku.” Semangat penuh diriku hendak menunjukkan hasil belajar seminggu terakhir bersama Long kepada istriku. “Mantra ini disebut, ‘Perubah Cuaca.’”
Tanpa ragu dan dengan sepenuh hati, kuayun tongkat sihirku, Toro, untuk menggambar lingkaran di langit mengikuti arahan Long.
‘Anda melakukannya dengan sangat baik, Tuanku.’
Di kejauhan, terlihat pula bahwa awan hitam yang bergumul di atas sana bergerak membentuk pusaran.
Sekitarku yang sebelumnya tampak tenang seketika berubah riuh. Angin bertiup kencang, suhu udara kini turun, dan awan gelap tadi terus melebar mengikuti gerakan tanganku.
“Lihat, Sayang … suamimu ini hebat, ‘kan?”
Aku membayangkan wajah istriku yang tampak bangga melihat suaminya nan luar biasa, hehe.
“Mi. Awas!” Akan tetapi, kenyataannya berbeda. Ctas!
Wajah yang kulihat bukanlah raut yang menyenangkan, tetapi khawatir. “D-doll?”
Apalagi setelah dirinya menyelamatkanku dari sambaran petir barusan, wajahnya lebih ke ingin menangis.
“Mi. Jangaaan ….”
Ctas! Ctas! Sambaran beruntun terus dirinya tahan sembari merungkupku.
“D-doll?” Aku tidak mengerti, benar-benar tidak mengerti. Apa yang sedang terjadi?
Kenapa sekitarku berubah tidak karuan, angin berhembus kian kemari, hujan bergerak dengan aneh, lalu rasa dingin yang tiba-tiba menusuk tulang ini. “A-apa, apa yang sebenarnya telah kulakukan?”
Kutopang tubuh istriku.
“Sayang …, Sayaaang?”
“Mi. Apa-apa, enggak?”
“Aku gak apa-apa, Sayang.” Kudekap dirinya erat. “Aku gak apa-apa, kau juga gak apa-apa, ‘kan?”
“Mi ….”
“Tolong, tolong jangan tidur, Sayang ….” Kumohon, aku tidak ingin kehilanganmu. “Bangunlah, Sayang. Doll! Tolong tetap terjaga, tolooong ….”
Aku tak tahu apa yang terjadi pada sekitarku, di mataku sekarang hanya ada wajah Doll. Tanganku berkali-kali menyentuh dan memegang pipinya, berharap ia bakal tetap terjaga.
“Sayang, kumohon. Kumohon jangan tutup matamu ….”
Satu hal kusadari dalam kepanikan tersebut. Ketika istriku membuka mata, saat itu pula diriku tertarik ke belakang. Seolah-olah ada tangan besar yang mencoba merenggutku dari udara.
“Mi!”
“Doll!”