Mata Seribu Ular

Saepul Kamilah
Chapter #10

Menyerah Bertanya dan Mulai Terbiasa

“Selesaaai ….”

Tiga puluh hari berlalu sejak kedatanganku ke dunia yang entah apa namanya ini lalu menaklukkan menara mereka ditemani sang istri tercinta, Doll. Selama itu pula diriku bolak-balik keluar masuk lantai checkpoint dan dunia di luar untuk mencoba memahami satu dua kebiasaan di sini.

Hasilnya. Aku menyimpulkan bahwa dunia ini nihil makhluk hidup selain tumbuhan, gak tahu kalau ukuran mikroskopis macam bakteri, virus, dan sejenisnya. Akan tetapi, sudah kupastikan tak ada manusia, hewan, atau bahkan monster di luar menara sana.

Kemudian, sebagai host diriku juga mulai berkenalan dengan fitur-fitur baru. 

Salah satunya adalah konversi batu mana. Pendeknya, menara ini bisa menyerap energi lalu memproduksi batu mana seperti Labirin Bawah Tanah Eldhera—tentu dengan kadar juga aturan tertentu macam hukum kekekalan energi sama ketetapan satuan. Aku tidak ingin menjelaskannya lebih jauh.

Selain itu, ada fitur invasi dan akuisisi. Garis besarnya aku bisa pergi ke kanal, sebutan buat dunia lain yang terhubung melalui jaringan menara, lantas menaklukkan serta merebut ‘tower’ mereka. 

Lewat fitur tersebut, sejauh ini aku dan Doll sudah menjelajahi lebih dari dua puluh menara tetangga serta menyerap seluruh sumber daya mereka. Hehe.

Namun, risiko dari kegiatan ini tidaklah main-main. Kanal atau dunia yang terinvasi kemudian menaranya terebut punya peluang untuk musnah karena seluruh sumber daya di sana diambil alih penantang. 

Oleh karena itu, kubatasi menaraku dengan menyalakan mode ‘satu tower per kanal’ serta mengalihkan seluruh lalu lintas invasi dan akuisisi kanal hanya di Chloria ‘26.

Ya. Aku menamai menara pertamaku sama sistem kelolanya dengan Chloria ‘26, nama juga bilangan tahun ketika diriku dan Doll meninggalkan Eldhera. Supaya singkat ia kupanggil Chloe, dari nama istri pertamaku.

Ah, ya! Soal yang kulakukan. Aku baru selesai membangun rumah pertama di lantai checkpoint Chloe ….

“Bagaimana, apa kau menyukainya, Sayang?”

“Bentuk, tenda, kayak, hutan.”

“Tentu saja.” Kurangkul bahu Doll lekas menariknya mendekat. “Ini memang tenda kita di Hutan Purtara, ‘kan? Cuma, kain dengan rangkanya kuganti pakai kulit sama tulang monst—”

“Bagus, gak.”

Hem. Aku tahu, memang gak sebagus kain Vomu ataupun tenunan Sanoa. Yah, mau bagaimana lagi.

“Nanti kita bikin lagi yang dari kayu, bagaimana …, apa kau mau, Sayang?”

“Janji?”

Kusambut kelingking istriku kemudian menempelkan jempol kami ….

*** 

Setahun berlalu, kehidupanku di Chloria ’26 banyak mengalami perkembangan. 

Jaringan menara juga meningkat pesat, setelah dikurangi Chloe sama kanal-kanal kosong cabangnya kini menyentuh angka dua puluh delapan. Cukup untuk membuatku terkenal di kanal-kanal tetangga ….

“Kau sudah dengar, katanya penantang dari Kanal Dua Enam datang kemari?”

“Ya, tapi aku belum dengar ada lantai yang melaporkan soal mereka. Jadi, kurasa hal itu cuma rumor.”

“Huh, mereka itu pemain curang.”

“Apa maksudmu dengan pemain curang?”

“Benar. Apa maksudmu, Robert?”

“Maksudku ….” Manusia berwajah musang yang barusan dipanggil Robert naik ke atas meja. “Bukankah tantangan kanal harus diatur adil dan setara, tetapi kenapa mereka malah menggunakan Kanal Dua Enam sebagai tameng. Ini jelas sebuah kecurangan.”

“Dari nada bicaramu barusan, sepertinya kauyakin kalau mereka bukan penghuni Kanal Dua Enam, ‘kan?”

“Ayolaaah …, kalian juga sepemikiran denganku, tidak perlu malu untuk mengaku—”

“Benar!” sambut salah seorang rekannya, “aku sebenarnya juga yakin mereka bukan ras yang berasal dari Kanal Dua Enam, soalnya kita semua tahu jika tempat itu hanyalah gurun kering dan sangat tandus.”

Lihat selengkapnya