Mata Seribu Ular

Saepul Kamilah
Chapter #13

Bertahan

“Aku pulang ….”

Sore hari. Setelah membuka akun bank di Puing Lalika dan menukar 32 batu mana kelas biasa menjadi tiga ribu dua ratus neodin, aku akhirnya kembali ke Tanah Merah. 

“Mendaftar untuk perang kanal, memeriksa kabar soal pencarian lokasi naga legenda, lalu … tidak ada. Agenda hari ini semuanya beres.”

Kabin kayu, seratus delapan belas meter seberang pintu menara Tanah Merah.

Rumah, mungkin lebih pas kalau kusebut gubuk, sederhana yang kubangun di tempat Doll membatu demi melindungiku. Tempat buatku melepas dan menata sepatu di rak dekat pintu, menggantung mantel sama tongkat sihir pada kaitan dinding, serta terbaring sehabis lelah bolak-balik dari kanal sebelah.

Hunian seadanya, berbahan kayu merah yang ‘kupanen’ dari pohon-pohon di sekitar.

“Aku mau berendam ….” Kutaruh catatan di meja lalu berjalan ke area mandi kemudian menyibak gorden, mengisi bak dengan air, lantas melepas pakaian. “Op-op-op! Yah ….”

Sihir longku masih saja keterlaluan. Padahal kekuatannya sudah kutekan sampai ke titik 99.99% di bawah normal supaya tidak terlalu berlebihan, tetapi masih saja dampaknya begitu besar. 

Aku tahu, kanal-kanal yang kudatangi selama ini bukan Eldhera. Jelas sekali bahwa kerapatan aura mereka juga sangat jauh berbeda. Sumbu pendek kalau diriku berharap semua tempat akan sama.

Hanya saja, menahan kekuatan begini lama-lama menyebalkan. Selain sombong takutnya suatu saat diriku malah akan jadi ….

“Anda sedang memikirkan apa, Tuanku?”

Spontan mataku menjuling ke kanan, merespons suara Sandra.

“Bisakah kau jangan muncul pas aku lagi berendam, diriku sedang ingin menikmati momen sekarang?”

“Hahaha ….” Ia mendekat terus duduk di pinggiran bak, mengusap permukaan air dua kali, lalu menatap dan tersenyum padaku. “Menikmati momen, dengan pikiran kusut? Apa itu benar-benar bekerja?”

Kupalingkan pandangan ke kiri, menghindari sorot matanya yang, sialnya, masih seindah dan semenawan saat kami bersama di masa lalu.

“Ayolah, Anda hanya berpura-pura menikmati momen, ‘kan?”

“Ngapain tanya kalau sudah tahu?” timpalku ketus, “aku enggak butuh nasihat, balik ke vas-mu sana.”

“Eh?! Tumben ….” Sandra menoleh ke meja di sudut lain. “Anda tidak menyebut tempatku guci kecil—ah, baik-baik. Pelayanmu ini akan menuruti perintah dengan senang hati.” Ia lekas bangkit. “Akan tetapi, Anda tidak boleh selamanya terkungkung dan membatasi diri begini, Tuanku.”

Begitu ujarnya sebelum berlalu ….

*** 

“Kau sudah datang, pagi sekali?”

“Aku mau melapor,” jawabku yang segera duduk di depan meja John, “Tanah Merah su—”

“Sudah memenangkan perang kanal pertama melawan Kanal Tujuh Dua Dua, ‘kan?” sela sang resepsionis ceria, seolah-olah telah lebih dulu tahu apa yang mau kukatakan.

Meski agak kaget, tetapi dirinya benar. “Kau sudah tahu?”

“Tentu saja ….” Ia merentangkan tangan, tampak banga. “Kau menang telak, kecepatanmu mendaki tower juga memecahkan rekor kita. Bagaimana aku tidak tahu hal sehebat itu?”

Soal itu, ya. Sebelumnya ….

Duk! Duk! Duk! Seseorang, sebenarnya ada beberapa, menggedor pintu kabin sesaat diriku selesai mandi dan hendak memejamkan mata sambil merebah kemarin petang.

“Permisi, apa ada orang di dalam?”

Aku tidak tahu mereka siapa. Toh, selama ini pun kabinku belum pernah kedatangan tamu.

“Siapa?” sahutku dari dalam, kembali duduk setelah hampir terpejam. “Kenapa menggedor pintuku?”

“Maaf, boleh kita bicara sebentar?” balas suara dari luar.

Karena penasaran serta merasa gak ada salahnya juga untuk melihat siapa mereka, jadi kuputuskan buat ke depan dan membukakan pintu. Kreak!

Seramah mungkin kutanya sekali lagi, “Siapa?”

“Ahaha, maaf mengganggu ….” Kala itu seorang pria berotot, kepala plontos, jangkung serta punya banyak sekali bekas luka di lengan hingga leher, tengah berdiri tepat di depan pintuku. “Aku, Stone, dan ini teman-temanku. Daniela ….”

Lihat selengkapnya