“Nih!” Kusodorkan sebotol minuman, sari buah sejenis beri yang ditumbuk kemudian dicampur susu, pada John. “Kalau capek, rehat. Jangan kerja terus ….”
“Terima kasih.”
“Lima belas neodin! Jangan melihatku begitu, minuman di tanganmu kujual lima belas neodin.”
“Sebotol Risu cuma empat neodin—”
“Kau pikir membawakannya ke tanganmu gak pake tenaga, hah?” sergahku tidak mau kalah, “pokoknya, bayar lima belas neodin kepadaku sekarang. Cepaaat ….”
Mau tidak mau, John pun merogoh lima belas keping neodin lalu menyerahkannya padaku.
“Kukira kita ini teman,” gerutunya.
Kubalas, “Teman macam apa yang menjadikan temannya bahan taruhan—”
Uhk! Kata-kata yang sontak membuat pria klimis dengan kerah kemeja dibuka itu tersedak.
“Kau kenapa?”
“Ti-tidak apa-apa, aku cuma kesedak.”
“Oh! Ya, sudah—hei, kau!” Perhatianku beralih pada seorang anak. “Kemari. Iya kau, siapa lagi? Memang ada anak lain yang menenteng keranjang bunga di situ, sini!”
“Anda memanggilku?”
“Nih.” Kuberikan uang dari John pada anak tersebut. “Buat beli minum biar kau gak kayak orang kehausan terus di persimpangan sana, dari paman ini.”
“Ah, terima kasih, terima kasih Paman.”
“Sudah sana ….”
Setelah anak itu berlalu.
“Kukira kau baru memalakku.”
“Memang …,” timpalku yang lalu tumpang kaki sambil merebah di bangku tempat kami duduk, “aku baru memalakmu lima belas keping neodin.”
“Ya, tapi kau memberikannya pada anak tadi, ‘kan?”
“Hem. Ya, ya. Lupakan.”
“Soal kanal misterius yang melahap kanal-kanal—”
“Aku takkan membantu, apa pun yang mau kau katakan untuk membujukku jawabanku bakal tetap sama seperti waktu kita di balai informasi dan pengambilan misi. Jadi cari saja orang lain … toh, jagoan kalian di perang kanal sangat banyak.”
“Apa kau marah karena aku dengan atasan-atasanku bertaruh untuk kemenangan Tanah Merah?”
“Buat apa aku marah, itu urusan kalian.”
“Kalau begitu kenapa kau tidak mau membantu, Ure?” John kelihatan frustrasi. “Ini masalahnya hidup dan mati, banyak kanal yang akan lenyap jika kita tidak melacak penyerbu misterius itu—”
“Bukan masalahku.”
Kami saling tatap dalam diam untuk beberapa saat, hingga sang resepsionis pun mengganti topik dengan mengangkat isu seputar perang kanal.
“Hah … aku tidak ingin memaksamu, tapi … apa kau tahu orang-orang yang kau kalahkan kanalnya pergi ke mana setelah perang selesai?”
“Kau sebenarnya mau bicara apa, John?”