[Melaporkan status ….]
Sehari setelah kudeta Putra Mahkota Baltum, aku langsung menggunakan Pulau Jueju sebagai alasan buat meninggalkan istana dan kembali ke ruangan pribadiku di Menara Nara.
“Bagus. Kita punya tiga minggu sampai kanal menyebalkan tadi mengering dan kehabisan mana,” kataku yang kala itu langsung lompat dan merebah di sofa begitu kami tiba, “hah …, sementara menunggu kau denganku akan tinggal di sini.”
“Mengerti, Tuanku.”
Sama seperti waktu kutinggalkan dua bulan lalu, tempat ini jadi alibi sempurna untuk mengelabui orang-orang Puing Lalika sembari mengatur jaringan menara. Mwehehe.
Meski gak jauh beda sama penjara, setidaknya kegiatanku takkan dicurigai karena berada di sini.
Paling tidak sampai Phoenik bangun, tiga bulan kemudian. Cesss ….
“Tuanku.”
“Ayo lihat bagaimana keadaannya, Jatayu.”
Burung api merahku kelihatan baik-baik saja dari luar, flukstuasi mana dalam tubuhnya pun terasa sangat normal. Hanya, level kesadarannya yang agak menurun.
“Selamat datang kembali, Burung Apiku Sayang.”
“Tu-tuanku—akh ….”
“Pandanganmu agak gelap dan kau merasa sedikit pening, ‘kan?”
Phoenik mengangguk.
“Jatayu.” Aku menoleh. “Bantu pasanganmu berdiri, papah, terus baringkan dia di sofa sebelah sana ….”
Selang beberapa saat.
“Apa kau sudah baikan?”
Phoenik mengangguk, lagi.
“Kau beruntung, peminjam kekuatanmu bangkrut dan dirimu langsung terputus dari koneksi nara,” kataku sambil mondar-mandir dan mencemili keripik udang, “jika kau tidak bangun, kurasa si Jatayu bakalan terus menangis melihatmu terbaring di kapsul rusak sebelah sana.”
“Tuanku.”
“Bercanda, kau tidak perlu sekaku itu di depan si Phoenik.”
Kutaruh toples keripik sebelah bola kristal di atas meja.
“Ngomong-ngomong, kami tidak bisa mengintip kesadaranmu selama ini. Aku penasaran. Apa yang kau rasakan waktu tertidur di sana, Phoen?”
“Maafkan pelayanmu ini, Tuanku.” Phoenik tampak murung. “Akan tetapi, diriku benar-benar tidak dapat mengingat apa-apa selain, selain ….”
“Baiklah.” Kuangkat bahuku terus duduk. “Kurasa, kita tidak bisa mencari tahu lebih jauh soal kerusakan alat di belakangku.”
“Ah, tetapi, Tuanku ….”
Meski sebagian besar ingatannya dari beberapa bulan lalu hilang atau mungkin memang sengaja dihapus, Phoenik masih dapat menceritakan gambaran-gambaran kecil akan apa yang ia alami ketika dirinya dalam mode nara.
Salah satunya benang cahaya yang menurut pengakuan burung api merahku itu merupakan penghubung sekaligus perantara antara dia dengan si peminjam kekuatan ….
“Kita lanjutkan obrolan ini lagi nanti. Aku sebenarnya juga penasaran, tetapi ….” Kukeluarkan dua kantung dimensi buatan Chloe. “Ini, satu buatmu dan satu lagi buat Jatayu.”
“Apa ini, Tuanku?”
“Masing-masing isinya satu miliar batu mana kelas tinggi sama satu mutiara naga.”
Jatayu dan Phoenik silih lirik.
“Itu jatah kalian,” kataku yang lekas menyambar toples keripik tadi lalu kembali berdiri, “pelanggan kita membayar lunas biaya kenaikan ranah nara kemarin, Jatayu denganku melihat bagaimana kanal mereka—kau takkan percaya, kecil menurut aliansi ternyata seratus kali Tanah Merah.”
“Tuanku—”