[Kenapa murung, Host?]
“Jangan kura-kura dalam perahu kau, Chloe!”
[Apa itu, Host?]
“Pura-pura tidak tahu, Ilah ….” Aku menjuling menanggapi pengelola menaraku, dia tahu diriku baru saja keluar dari sarang macan dan masih tanya kenapa murung. Cek!
Siapa sangka. Diriku yang kerjanya mondar-mandir Puing Lalika—Tanah Merah sama gak banyak bergaul selama empat setengah tahun ini malah disalahpahami sebagai orang berprinsip dan fokus.
Padahal, berprinsip dari mananya.
Aku cuma introver ….
Ting! Chloe usil bertanya: [Apa Host akan menikah lagi?]
“Jangan kau ungkit-ungkit soal omongan si Monika tadi,” timpalku geram, “aku pusing.”
[Kenapa pusing, bukankah Host dan wanita di bank tadi sama-sama lajang?]
Aku mendelik baca pesannya.
“Ladang palamu,” kataku sambil manyun, “sudah kubilang aku punya dua istri.”
[Perempuan yang membatu kemarin?]
“Ya.” Ogah-ogahan aku meladeni sistem usil satu ini. “Bisa kita ganti ke topik lain—”
[Satu lagi yang mana, Host?]
“Aku tidak harus menjawabnya, ‘kan?”
[Harus.]
“Ogah!”
[Wanita berambut ular, ‘kah?]
“Sembarangan!” sergahku, “bukanlah, Ngaco. Istri keduaku sedang tertidur—sudah, ah! Jangan mengorek kehidupan pribadiku, sana urus kanal-kanal kita saja.”
[Aku sedang luang, Host.]
“Sejak kapan sistem sepertimu kenal kata luang, Chloe?”
[Jangan salah. Begini-begini diriku bisa belajar dan merancang emosi, Host.]
“Ya, ya ….” Aku makin malas meladeninya. “Kau memang cerdas. Sudah sana.”
[Terima saja lamaran Monika—]
“Berisiiik!” pekikku, sontak menarik mata orang-orang ke arahku.
Hingga diriku tetiba malu sendiri ….
***
Tok! Tok! Tok ….
“Siapaaa?”
Karena lama gak ada sahutan dan ketukan di pintu juga tidak kunjung berhenti, aku pun keluar dari selimut lalu berjalan menuju pintu. Kreak!
“Sia—”
“Selamat pagi, Calon Suamiku!”
“Mo-monika?” Mataku sempat terbelalak dan badanku mematung sekian detik sebelum diriku terdorong mundur satu langkah ke belakang. Aku kaget. Wanita yang terang-terangan menyatakan perasaan padaku kemarin lusa, entah bagaimana kini tengah berdiri di depan pintu rumahku. “Ke-kenapa kau ada di sini?”
“Bukakah seharusnya kau tanya bagaimana caraku menemukan rumahmu dulu, Ure?”
“I-itu—”
“Lihat!” Ia menunjukkan selembar kertas sambil semringah, sertifikat yang entah buat apa. “Aku menjual semua asetku di Puing Lalika dan pindah kemari—A! Jangan tanya kenapa kulakukan semua ini, karena alasannya sudah jelas supaya kita bisa sering ketemu ….”
Monika melirikku dari atas ke bawah lalu ke atas lagi.
“Wah, perut gendutmu makin kelihatan tanpa jubah sama jumsuit, ya.”