“Pagi, Ayang.”
Bibirku ikut tersenyum merespons senyuman cerah Monika waktu ia menyapa barusan.
“Mau lanjut enggak?” guraunya sambil merebahkan diri padaku, “semalam kamu kok beda banget—”
“Hush, ah!” kusentuh pipinya pelan, “masih pagi, Mon—eh, eh! Kamu ngapain, kenapa naik ke badan aku? Ini aku jadi gak bisa bangun, Sayang.”
“Di-am!” Monika melotot. “Gak mau tahu pokoknya ayo lanjut, mumpung masih di sini ….”
Cek! Sepertinya kita perlu menggeser pembuka bab cerita ini ke beberapa saat lagi, mau tidak mau. Istriku sedang ada mau dan aku gak mungkin menolaknya, ‘kan?
Jadi, sehabis gelas air di rak dekat ranjang jatuh ke lantai sekian saat kemudian.
“Ayaaang ….”
“Apa lagi?” Aku menoleh. “Hari ini kita mau ke Tekoban, ayo siap-si—”
Monika memeluk erat diriku.
“Barang-barang di Tekoban pasti bakal naik juga,” ujarnya sembari menempelkan kening ke punggungku, hingga hangat napasnya kontras dengan rasa dingin hasil sentuhan kulit kami. “Aku benci tempat ini.”
‘Eh?’ batinku sebelum tanya, “kenapa tiba-tiba, Mon?”
“Aku mau main monopoli, tapi ngemonopolinya kamu,” lanjutnya, menempelkan tubuh kami. “Cuma ada kamu sama aku ….”
Kulepas dekapannya kemudian berbalik.
“Apa terjadi sesuatu?” tanyaku lagi sebelum mengusap lembut pipinya, “apa semalam—”
“Semalam kamu ngigau!” selanya sambil manyun dan memalingkan muka, “kamu bilang begini—ehem …, ‘Doll, Letta ….’”
Wajah Monika saat memeragakan diriku terlihat lucu, membuatku ingin tertawa.
“Jangan ketawa, Ayang!” sergahnya, “lihat, lenganku sampai merah kamu remas-remas tadi malam ….”
Lengan kirinya memang lebam, aku jadi merasa malu.
“Maaf, aku gak senga—”
“Enggak mau tahu! Pokoknya, hari ini kamu kudu jajanin aku sampai puas. Terus-terus, beliin lagi dua tas baru buat ganti dompet kemarin. Terus bla bla bla ….”
Ada setengah jam istriku menyemburkan semua daftar barang yang ingin ia beli hari ini, lengkap dengan lokasi sama nama tempat penjualnya. Gak perlu kusebut apa saja itu, ‘kan?
Intinya, pagi itu Monika memberondongku dengan banyak sekali nama barang bermerek. Titik.
***
“Ayang!”
Kueratkan pegangan tangan kami sembari menjaga Mon tetap dekat denganku.
“Ih, aku mau lihat area mantel sebelah sana.”
“Gak boleh.” Aku kukuh dengan pendirianku, tak ingin melepas Monika berkeliaran. “Kita cuma mau nyari mutiara sama batu sihir di Tekoban, ‘kan?” kataku, menggenggam tangan istriku itu kuat-kuat. “Pokoknya sampai tujuan utama selesai, kamu enggak boleh ke mana-mena dulu.”
Ia cemberut, tetapi juga tidak bisa berkutik.
“Kamu kudu janji bakal beliin aku jubah baru kalau gitu.”