“Hoi, Ure!”
Kulambaikan tanganku, membalas sapa dengan lambaian Minda dan teman-temannya.
“Kapan kau pulang?” tanyanya pas mendekat, “kali ini kau gak lupa bawa oleh-oleh buatku, ‘kan?”
“Bawa gak, ya?” godaku sambil memicing menanggapi mereka, “aku beli beberapa gulung kain tenun serat laba-laba kristal, kalau kalian mau minta saja ke Monika.”
“Serius?” Minda dan teman-temannya semringah. “Awas kalau kau bohong, aku bakal ke rumahmu nanti sore—eh, ya! Monika sudah memberitahumu soal para penantang dari Kanal Delapan Satu, ‘kan?”
“Soal mereka, apa ada kabar lain?”
Minda celingak-celinguk sebelum lanjut bicara.
“Kepala Desa mengirim Suen untuk mengantar mereka ke Ibu Kota Zoana, sekalian buat jadi mata-mata. Katanya, jika sebulan orang-orang itu tidak kembali regu pengintai lain akan dikirim kemari.”
“Soal serikat kanal yang dibilang istriku?”
“Aku tidak tahu, katanya mereka akan membahas soal itu setelah bertemu host.”
“Baiklah.” Aku paham. “Kirim pesanku ke semua orang. Kalian boleh bawa senjata di area kota sama jalan-jalan umum, terus jangan ada yang keluyuran ke luar zona penduduk sendirian selama status kita sama mereka belum jelas—minimal berkelompok dua-tiga orang sampai situasi siaga aku cabut.”
“Terus, soal orang-orang itu sama kelompok susulan mereka nanti?”
“Kita biarkan dulu,” tegasku, “selama mereka enggak cari atau bikin gara-gara, gak usah dipedulikan.”
“Oke.”
“Katamu mereka lagi ke Ibu Kota Zoana, ‘kan?”
“Apa kau mau ke sana?”
“Ya,” kataku yang lalu balik badan, “mereka ke sini buat ketemu sama host tower Tanah Merah, gak sopan kalau sampai aku enggak muncul terus nyapa sama sekali ….”
***
“Sudah, Ayang.”
Kukecup kening istriku. “Makasih, Sayang.”
“Aku penasaran, deh ….” Monika menatapku. “Vas di sana isinya apa?”
“Vas itu?” Aku menoleh ke vas keramik di pojok kamar pengantin kami.
Istriku mengangguk. “Iya. Aku kadang suka merinding sendiri pas ngelihat vas itu kalau kamu lagi gak ada, tahu, ih.”
Aku tersenyum.
“Terus, aku juga sering denger kayak ada suara perempuan di kamar kita. Cuma, tiap kali aku masuk buat meriksa ada siapa pasti udah gak ada siapa-siapa. Atau, kalau aku sengaja nguping di pintu suaranya malah tiba-tiba ngilang.”
“Kamu kecapekan kali,” ujarku sembari membelai rambut Monika, “bawaan anak kedu—”
“Hush, ah!” timpalnya yang langsung manyun, “pengennya sih, gitu. Cuma, kan aku gak bisa hamil lagi ….”
Kudekap Mon erat.
“Gak apa-a—”
“Kamu mah senang, da bisa dapat jatah tiap hari,” celetuk istriku, ia menjuling waktu kutatap. “Ya, ‘kan—udah ngaku aja!”
“Udah, ah!” balasku kemudian melepas pelukan dan mengecup keningnya sekali lagi, “aku berangkat ….”