“Ayang, aku da—ah!”
Kulambaikan tanganku sambil tersenyum pada Mon yang baru saja tiba.
“A-ayang, i-ini beneran kamu?” tanyanya sembari pelan-pelan mendekat, “k-kamu Ure suamiku, ‘kan?”
Aku maklum. Aura macam asap yang menyelimuti diriku dan terus gonta-ganti warna ini memang sedang tidak karuan. Dia di luar kendaliku.
Sejak Chloe pindah ke dalam Kantong Hati Naga tadi malam, dua belas jantung naga yang bersemayam di dalamnya mendadak berdebar dan memancarkan aura tidak stabil.
“Ayang?”
“Kamu orang pertama yang gak lari pas lihat aku begini, Sayang,” ucapku balik duduk usai melambai pada Mon, “pelanggan-pelangganku—malah si Jatayu juga langsung kabur tadi.”
“Maafkan pelayanmu ini, Tuanku.”
“Seingatku tadi aku bilang pas selesai menjemput istriku sama mengantarkannya kemari kalian bukan lagi pelayanku, ‘kan?” timpalku melihat ke Jatayu, “sudah pergi sana, balik ke sarang kalian.”
“Setidaknya, Tuanku, biarkanlah diri—”
“Gak ada!” potongku lantas bangkit dan mengangkat tangan, “balik sana atau mau kukeplak?”
Swush! Jatayu dengan boneka-boneka lain langsung kabur tanpa ba-bi-bu. Meninggalkanku dan Monika di kedai yang kubeli sekembali dari Istana Pu Zoana minggu lalu.
“Ayang?”
“Kata Chloe, aku bakal balik normal tiga hari dua malam lagi …,” ucapku, coba menjelaskan situasi sembari menghibur diri. “Kamu temani aku di sini, ya?”
“Ayang ….” Monika meraih tanganku, menciumnya, kemudian tersenyum. “Iya, aku bakal temani.”
“Makasih ….” Aku ingin menangis.
Kalau saja istriku tidak langsung tanya pakai nada khasnya, “Kamu kenapa bisa kayak gini, sih, Ayang?”
“Aku.” Pertanyaan yang membuat sedihku langsung teralih dengan menceritakan seluruh kronologi mulai dari deklarasi kemerdekaan Tanah Merah minggu lalu, pengaturan menara, hingga transmisi Chloe sama luruhan kanalnya ke Kantong Hati Naga tadi malam. “Gitu.”
“Bentar.” Monika mengerling dan menjuling beberapa kali. “Jadi kamu bukan cuma host Tanah Merah, tapi masih ada beberapa kanal lain lagi?”
“Aku sudah bukan host, Sayang.”
“Maksudku sebelum ini.”
Aku mengangguk, mengaku pasrah.
“Astagaaa!” Reaksinya persis yang kubayangkan. “Sayang, kenapa kamu baru bilang sekarang ….”
Reaksi yang membuatku agak tersentak mundur juga sedikit merasa was-was.
Aku tidak ingin mengatakan seheboh apa Monika pas tahu diriku pernah jadi host banyak kanal. Terlebih, reaksi dia yang memberondongku dengan berbagai pertanyan setelahnya sangat-sangat sesuatu.
Jadi kita lewati saja sesi buka-bukaan rahasia ini, ya?
“Kalau aja kamu jujur sama aku,” gumamnya sambil menggelayut di meja, lelah sehabis mengintrogasiku seharian. “Aku gak suka. Ayang jahat.”
Melihat dirinya begitu, aku sama sekali gak bisa berkomentar.
“Terus ….” Ia lanjut memperbaiki posisi duduk buat menyangga dagu dan menatapku. “Ayang rencananya apa sekarang?”
“Gak ada,” jawabku lemas, “aku gak punya rencana apa-apa.”