“Mereka sudah pergi?”
Aku menoleh ke Monika yang tiba-tiba saja telah berdiri tepat di sebelahku.
“Jangan cuma bengong, Ayang,” ucapnya, menyambar lengan kemudian menggandengku manja. “Ayo ke dalam, kita sudah selesai pura-puranya, ‘kan?”
“Pura-pura?”
“Iya, pura-pura.” Mon menatapku tiga detik agak lama, berbalik, lantas menuntunku ke dalam kedai. “Kita enggak lagi beneran buka restoran, ‘kan?”
Bagaimana aku menjelaskannya, ya?
Awalnya aku memang membeli warung makan ini buat alasan supaya bisa bicara sama orang-orang Kanal Delapan Satu, tetapi masa iya harus kujual lagi. Kan, sayang.
“Warung makan ini cuma penyamaran doang, ‘kan, Ayang?” Monika terus menatapku, seolah-olah sedang meminta penegasan untuk pernyataannya barusan. “Kita gak akan lanjut—”
“Sayang.” Kuraih dua tangannya, kukecup mesra, kemudian kuajak dia duduk. “Semisal kita lanjutin usaha kedai ini gimana, kamu mau gak?”
“Ahahaha!”
“Kok, malah ketawa. Aku nanya, loh, itu.”
“Maaf-maaf, kamu lucu, Ayang.”
‘Maksudnya lucu?’ batinku menatap Mon heran. “Aku enggak ngerti, memangnya kita enggak boleh kalau mau ngelanjutin warung makan ini, ya?”
“Ya, sebenarnya bisa-bisa aja, sih.” Monika berjalan ke tengah ruangan. “Kalau dilihat-lihat tempat ini juga lumayan, kok. Perabotan bagus, kamar banyak, terus ruangan pemilik sama toko misah.”
Aku semringah dengar testimoni barusan.
“Terus, Sayang, jadi kamu gak apa-a—”
“Eit!” Ia mengangkat tangan menghentikanku. “Meski aku bilang bagus, kamu harus ingat kalau kita punya rumah di Desa Vene yang juga kudu diurus, Ayang. Seminggu penuh, loh, kita di sini.”
“Ayolah,” rajukku, “ kita pindah sini saja.”
“Haha, mana bisa gitu, Ayang ….”
Monika menghampiriku lalu mencondongkan badan sambil mencekak pinggang, tepat di depan mukaku.
“Dengar, ya, Suamiku yang Imut. Kalau kita jadiin tempat ini bisnis, sih, gak apa-apa. Paling, empat hari di sini terus tiga hari di sana.
Atau, seminggu sekali—ah, sebulan, deh. Kita bisa kaya gitu. Intinya jangan ‘brek’ langsung pindah ke sini semua, lahan sama ternak-ternak kita di sana enggak akan keurus nanti, Ayang.”
“Kita gak bisa pindah ke sini blas, ya?”
“Bisa, kalau kamunya mau ngejual tanah sama rumah kita di Desa Vene. Cuma, aku gak mau. Di sana udah tenang, enggak berisik kaya di sini.”
“Bener, sih.” Aku setuju.
Rumah kami di Desa Vene memang kebilang damai. Toh, aku membuat aturan gak boleh ada rumah lain dalam radius setengah kilometer dari pagar luar rumahku pas masih jadi host.
Hanya saja. “Yakin, kamu gak mau pindah ke sini, Sayang?”
Aku tidak ingin menyerah.
“Aku, kan, gak ngelarang kamu buat ngelanjutin usaha warung makan ini, Ayang. Kenapa harus ikut pindah ke sini kalau kita bisa ngurus dua tempat sekaligus. Coba jelasin, kenapa?”
“Kalau kamu bilang gitu, sih, aku enggak bisa ngasih alasan apa-apa …,” akuku pasrah, “tadinya kupikir kita bisa pindah terus tinggal di sini biar rame.”
“Biar rame apa biar kamu gak kesepian tanpa aku?”
“Itu juga!”