Betapa penyesalan itu selalu datang terlambat, disaat belum melihat, aku begitu mampu menjaga hati agar tidak menyakiti, meski terkadang aku begitu congkak dan sombong untuk menutupi kekurangan. Kadang aku berpikir, terlalu mahal yang aku tebus hanya demi bisa melihat dunia. Padahal saat ada Bimo, dia berperan sebagai mataku.
Oh Tuhan, kenapa hati ini selalu mengingatnya, seharusnya aku lebih mengingat-Mu, bagaimana aku bisa melupakannya Tuhan, dia yang mengajarkanku mengenal dan mengingat-Mu"
Susah aku menjawab pertanyaan ayah, ketika suatu pagi setelah aku pulang dari kampung Bimo, ayah menanyakan ketidakhadiran Bimo bersamaku,
"Aini, Bimo kemana? Kamu tidak pulang bersama dengan dia?
Aku diam seribu bahasa, aku cuma menjawab pertanyaan ayah dengan airmata, pertanyaan itu begitu menohok jantungku, menghakimi hatiku atas sebuah kesalahan.
"Kenapa disaat kamu sudah bisa melihat, justeru Bimo tidak mendamppingi kamu, kalian putus?
"Kok kamu jawab pertanyaan ayah dengan tangisan aini?
"Apa yang terjadi diantara kalian? Bimo itu lelaki pecinta sejati kalau ayah lihat"
Aku seperti menghadapi pukulan beruntun yang dilayangkan ayah, mulutku kelu untuk menjawabnya, aku cuma bisa menghambur kedalam pelukan ayah dan menangis sejadi-jadinya. Aku tidak sanggup mengatakannya pada ayah, ayah tidak tahu kalau Bimo sudah tiada.
"Bimo meninggalkanku selamanya ayah"
Tangisanku pecah dan tumpah didada ayah, cuma itu yang mampu aku ucapkan.
"Innalillahi waina ilaihi rojiun, kamu sudah ziarah ke makamnya?
"Sebetulnya ayah merahasiakan ini, hanya ayah dan dokter yang tahu"
"Sayangnya dokter tidak kasih tahu ayah kalau Bimonya sudah meninggal"
"Bimo adalah lelaki yang mau berkorban demi cintanya"