Ada satu hal yang aku hargai dari Bimo, selain budi baiknya sama aku selama kami bersama, Bimo sangat menghargai aku sebagai perempuan, dia tidak pernah melecehkan aku. Saat kami dirumah cuma berdua, tidak ada keinginannya memanfaakan kesempatan untuk mencium aku atau pun sejenisnya.
Bagi Bimo, kesempatan seperti itu adalah ujian keimanan bagi dia. Justeru itu tantangan terbesar baginya sebagai seorang laki-laki. Padahal, sebagai wanita dewasa aku juga ingin merasakan bagaimana sentuhan seorang lelaki, kadang aku berpikir, jangan-jangan Bimo tergolong manusia yang tidak memiliki nafsu.
Tapi penjelasan Bimo tentang itu sangat melegakan hati, alasannya sangat masuk akal;
"Aini, mas ini lelaki normal yang punya nafsu"
"Tapi kalau mas gagal mengendalikan nafsu, maka kedepan, hubungan kita akan rusak karena itu"
"Mas sedang menjalankan, amanah ayah kamu, yang sedang tidak dirumah, jadi mas wajib menjaga kehormatan kamu"
Betapa senangnya hatiku mendengar penjelasan Bimo, karena dugaanku salah. Bimo seperti mendengar apa yang aku katakan didalam hati. Aku jadi berpikir, jangan-jangan Bimo bukan cuma berpikir cara para sufi, tapi Bimo sendiri sudah menjadi seorang sufi.
Sepanjang waktu kami dirumah, Bimo hanya mengajarkanku tentang banyak hal. Dia menginginkan aku berpikir seperti Rabi'ah Al Adawiyah, seorang penyair wanita sufi yang sangat dia kagumi. Aku dikasih referensi bacaan buku tentang Jalaluddin Rumi dan Rabi'ah Al Adawiyah, agar aku memahami pemikiran kedua penyair sufi tersebut.
Aku juga pernah mendengar nasehat lain, ketika kamu dituntut oleh seorang lelaki untuk menjadi orang lain, itu tandanya dia tidak bisa menerima kekuranganmu. Nasehat ini juga tidak sepenuhnya benar, juga tidak salah, asal difahami dengan benar tujuan penyampaiannya.
Aku juga tidak menganggap Bimo sedang mendikte aku agar seperti yang diinginkannya, yang aku fahami dia mengajarkan aku untuk lebih mengenal Tuhan dengan pendalaman spiritual, bukan cuma sekadar kenal Tuhan tapi tidak dapat merasakan keberadaannya.