Matahari Kelabu
Karya: Okin Lazuardi
PROLOG
Matahari pagi baru sebatas titik pusar, warnanya kuning langsat menyinari laut. Cipratan warnanya menyorot sayup hangat di pesisir Pandar menyemai asa dan gairah penduduknya. Di sisi matahari itu ada seutas cahaya yang tidak mau adaptasi dengan sumber cahaya pusat. Warnanya beda, kuning pucat bersemburat kelabu. Sungguh menjadi lukisan alam yang indah dan dasyat, sangat perlu digumamkan dengan mulut; Subhanallah bagi manusia berakal, bersyukur. Orang-orang pesisir Pandar menyambut ria anugerah matahari pagi. Beberapa anak balita nelayan berkejar-kejaran bersama temannya sambil suaranya bergemirik membentuk kalimat tidak jelas. Riuh suaranya ditimpuk suara cicit burung pesisir, Cikalang Kecil dan Dara Laut Kecil.
Dari jarak tak jauh terlihat bayangan perahu ikan berukuran besar bersama para nelayan dan awak perahunya baru datang dari melaut dengan tangkapan ikannya. Mereka hilir lalang sibuk menarik tali perahu dan mengikatnya di pasak beton. Sebagian ada yang mengangkat Waring dan menggulungnya. Sebagian lagi ada yang menurunkan ikan tangkapannya dari ember-ember kecil yang diusung dari dalam perahu besar nelayan. Wajahnya ceria karena telah mendapatkan tangkapan ikan lumayan banyak. Keletihan tubuhnya selama sepuluh hari di tengah laut terbayarkan.
Kehidupan nelayan di Desa itu merupakan kehidupan yang keras, mereka harus banting tulang untuk dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Mereka harus memiliki kekuatan fisik yang tak kenal lelah, tak kenal menyerah. Otot-ototnya besar, kuat seperti kawat, tumbuh alami tanpa mengikuti program training khusus di Pusat Kebugaran sehingga tenaganya menjadi andalan di masyarakat apabila ada kegiatan kerja bakti terutama soal angkat mengangkat. Kulitnya legam akibat seringnya ditimpa sengatan matahari siang di tengah laut meski semula kulitnya kuning langsat seperti Arafat, pemilik perahu penangkap ikan yang baru datang. Arafat menamai perahu penangkap ikannya bernama ‘Barokah’ artinya keberkahan yang memberikan rezeki sesuai harapannya, berharap usahanya memberi berkah pada diri sendiri juga keluarganya. “Agar sehari-hari ia mencari rejeki – bekerja menangkap ikan dengan lancar, selamat, berkah.” ungkap Arafat kepada istrinya menjelang tidur malam setelah ditanyai kenapa bernama Barokah, Karena menurut Jamilah istrinya, nama Barokah adalah nama umum yang dipakai oleh penjual makanan maupun penjual material dan peralatan bangunan. Namun Istrinya akhirnya menyetujui mengikuti kemauan Arafat.
Sementara burung-burung Cikalang Kecil dan Dara Laut Kecil berseliweran di atas perahu Barokah yang baru disandarkan. Burung-burung itu bergembira mencuri ikan-ikan yang jatuh dari ember-ember yang diangkut buruh awak perahu. Pencurian ikan itu dilakukan secara agresif oleh burung-burung hingga tidak sedikit kepalanya menjadi korban terpatuk oleh teman-temannya. Cara unik para burung berkompetisi menggondol ikan dilakukan secara acrobat; tubuh melesat terbang sambil mengeluarkan suaranya riuh berdendang riang di atas perahu. Ohoy, ternyata selain burung Cikalang Kecil dan Dara Laut Kecil, ada pula burung Camar bentuk tubuhnya menyerupai Jalak Bali tapi agak besar, berwarnah putih abu-abu, ujung paruh melengkung ke bawab seperti paruh bebek yang habitatnya memang lebih banyak berada di laut. Burung Camar dan nelayan ikan merupakan satu kehidupan yang tak terpisahkan, seperti sahabat alam yang membentuk pemandangan harmonis yang tidak pernah dilupakan hinga menjadi inspirasi syair lagu ‘Burung Camar’ karya Iwan Abdurachman yang dinyanyikan oleh penyanyi terkenal Vina Panduwinata di tahun 1985-an.
Dari atas perahu terlihat ada wanita tinggi cantik, kulit sawo matang, berwajah mirip blesteran Timur Tengah meski tidak ada turunan, berjalan agak cepat sambil pandangannya tak lepas menatap perahu Barokah milik suaminya. Matanya mengamati satu persatu kuli nelayan yang telah ikut berlayar bersama. Ia lalu naik ke perahu dan masuk ke dalam bilik mencari Arafat. Karena yang dicarinya tidak ada, ia keluar dan bertanya kepada salah satu kuli nelayan.
"Kafi, mana, mana Pak Arafat?" tanya Jamilah kepada salah satu kuli nelayan paling muda, usianya remaja tidak lulus Sekolah tingkat SLTA. Nama remaja itu mirip nama anak Jamilah, Kahfi. Bedanya Kahfi anak Jamilah memakai huruf ‘h’ di tengah dan usianya masih setingkat Sekolah Dasar kelas 3.
"Ada Mbak, sepertinya di dalam perahu, Mbak Jam," jawab Kafi.
"Nggak ada, Mas Kafi," jawab Jamilah. Kafi turun spontan menuji ke bilik perahu ikut mengecek di dalam. Agak lama ia keluar dengan alis wajah mengernyit.
"Iya, tidak ada. Lha terus ke mana Pak Arafat, ya?" kata Kafi. Ia menghampiri temannya Taufan, sesama kuli penangkap ikan.
“Kak Taufan, Pak Arafat kemana, ya?” tanyanya.
“Di dalam apa nggak ada, Fi?” tanya balik Taufan