Matahari Kelabu

Mohammad Sholihin
Chapter #2

BAB I

BAB I

Setelah Kadir mengajak Sutinah berlayar bersama perahu besar milik Arafat, dorongan syahwatnya ingin berbuat mesum kembali dengan Sutinah sangat kuat, membuncah. Jika beberapa hari lalu sudah dilampiaskannya di atas perahu kini kemauannya untuk melampiaskannya kembali datang tapi terhalang oleh tempat dan keadaan. Keinginannya untuk selalu bersama Sutinah terus meradang. Dan Malam ini, di hari malam Minggu mereka berdua memintal janji sama Sutinah mau pergi ke Pasar Malam di luar Desa Pandar. Sutinah pun sudah siap menunggunya di Geladak Perahu tempat biasanya ia melakukan pertemuan dengan Kadir. Para Awak perahu biasa menyebut Geladak perahu dengan sebutan Dek,  sebuah platform yang biasanya dimanfaatkan oleh orang-orang di atas kapal atau perahu ikan untuk berjalan, sederhananya adalah seperti lantai pada perahu atau kapal. Dek inilah banyak memberikan peluang Kadir-Jamilah memadu kasih mengikat tali cinta hngga mengeluarkan lendir kenikmatan meski hanya dengan posisi berdiri dan digesek-gesekkan saja. Sebenarnya Sutinah agak jenuh menunggu Kadir. Di sebelahnya agak jauh darinya nampak sepasang muda-mudi mungkin dari penduduk Pandar sedang asyik berpacaran. Sutinah yang cukup lama menunggu kedatangan Kadir melihat atraksi muda-mudi itu seolah mengiming-imingi. Meski dalam gelap ia bisa melihat sorot mata keduanya saling menakar, merasakan buaian kemesraan. Sutinah hanya menelan ludah menahan keinginanya sedang pasangan yang ditunggu-tunggunya belum datang-datang.

Keterlambatan Kadir membuat Sutinah dongkol. Jam di tangannya telah menunjukkan pukul tujuh lewat lima puluh menit. Sutinah mulai terasa gelisah. Namun saat Sutinah mau menelepon Kadir, sebuah kendaraan cetol tahun Sembilan belas tujuhpuluh enaman tiba. Bola lampu depan motor tidak begitu nampak terang sinarnya meski sudah menyorot wajahnya.

“Halo, sayaaaaang,” sapa mesra Kadir. Sutinah tidak menjawabnya, mukanya baper mulutnya menyungut Kodok.

“Ayuk naik, biar nggak kemalaman nanti pulangnya,” perintah Kadir, Sutinah masih berdiri mematung tidak bergerak.

“Ayuuk, kok!” bentak Kadir, tangannya menonjok mesra perut Sutinah.

“Kok lama Mas Kadir menjemputnya? Sampai aku dimakan nyamuk semua badanku.” sungutnya

“Iya, maaf, sayangku.” katanya sambil menyubit pinggang mesra.

“Aakkh, sakit loh, Mas Kadir.” teriaknya lembut, genit.

“Masak sih. Sakit mana dengan digigit mulutnya.” tiba-tiba mulutnya nyosor ke mulut kekasihnya tapi setelah itu disingkirkan Sutinah.

“Dilihat anak itu lho, Mas.” katanya sambil menunjuk dua sejoli di keremangan malam di atas Geladak.

“Hmmm sejak kapan kamu pakai malu, Sut. Ayuk wes naik motor.” ajak Kadir, Sutinah menaiki jok motor cetol Kadir, mengalungkan kedua tangannya di perut kadir yang gemuk menggelambir. Mesin motor dibunyikan, keduanya berangkat menuju Pasar Malam. Sutinah mesra merangkul Kadir sambil cerita utara selatan, seolah membicarakan sesuatu yang tidak jelas arahnya dari pesisir Pandar ssampai ke pojok barat laut.

“Eh, Sut. Nanti sepulang dari Pasar Malam aku ingin melampiaskan hasrat lendirku lagi kepadamu.” kata Kadir.

“Mau memadukan hasrat kita di mana?” tanya Sutinah.

“Coba nanti kita di bilik Perahu Barokah, ya.”

“Lho, bukannya itu Perahunya, Pak Arafat.”

“Iya. Memangnya kenapa?” tanya balik Kadir.

“Nggak enak kalau nanti sampai ketahuan orangnya. Bisa-bisa Mas Kadir nanti dipecat dari pekerjaannya.”

“Akkh, mana berani Pak Arafat memecatku, Sut. Buktinya kapan hari aku mengajakmu berlayar dengan perahunya dia diam saja.”

“Iya, tapi setelah itu kamu diingatkan, kan. Terutama aku yang muntah-muntah mengotori Perahunya.”

“Itu kejadian sudah lama, sudah berlalu.”

“Makanya, Mas Kadir jangan membuat ulah lagi. Nanti Pak Arafat menegurnya kembali, saya jadi tidak enak juga, Mas Kadir,”

“Gayamu, Sut. Tapi kamu suka juga kan, sama Arafat?” Sutinah diam. Dalam hatinya ia memang mennyintai tapi apalah daya jika kenyataannya bertepuk sebelah tangan, apalagi Arafat sudah mempunyai istri yang selalu ketst mengontrolnya. Tangan Sutinah merasa ada benda yang dipegangnya di pinggang Kadir.

“Mas Kadir, ini apa di pinggangmu?” tanya Sutinah sambil meraba-raba benda itu

“Itu senjata tajam yang saya bawa jika malam hari keluar rumah.” katanya menjelaskan.

“Okh, begitu.”

“Kamu kok belum menjawab pertanyaanku tadi, Sut?” tanya Kadir.

“Nggak tahulah,” jawab Sutinah tersipu. Mereka berdua telah sampai di Pasar Malam, suasanya ramai dihiasi gemerlap lampu warna-warni, berkedap-kedip menyilaukan mata. Irama musik Dangdut pun hingar melengkapi. Pasar malam ini  beroperasi pada malam hari menyajikan berbagai macam hiburan yang menyenangkan. Selain menyediakan makanan dan barang-barang kebutuhan rakyat desa di malam hari yang diperjualbelikan juga ada wahana permainanan favorit seperti Komidi Putar, Lempar Gelang, dan Ombak Banyu tersedia di sini. Kadir dan Sutinah nampak menikmatinya malam itu, bergandengan tangan, berlari kecil, tertawa cekakak-cekikik bagai anak SMA yang mengalami cinta remaja. Ternyata memang cinta tak mengenal usia ya? Tahi kucing pun rasa coklat, kata mendiang penyanyi Surabaya Gomblo.

“Mas Kadir! Ayuk kita naik Dermulen, yuk!” ajak Sutinah.

“Apa?! Aku nggak dengar.” Kadir tidak mendengar karena kerasnya musik. Dua Salon besar berdiri bertumpuk di samping permaian Lempar Gelang ditambah suara dua corong speaker yang bertengger di atas makin memekakkan telinga siapa saja yang datang di Pasar Malam.

“Dermulen.” Bisik Sutinah ke telinga Kadir sambil menunjuk Komidi Putar.

“Okh itu. Komidi Putar. Kok jadi Dermulen, hahahahhaha…” gelak Kadir.

“Dulu Mbah saya menyebutnya Dermulen, katanya dari bahasa Londo” Sutinah menjelaskan, lalu mereka menuju loket karcis, naik ke atas tapi masih menunggu antrian bersama para remaja, anak-anak bersama orang tuanya. Sepasang remaja laki perempuan melihatnya seksama. Sutinah pun balas melihatnya. Jidatnya berkerut seolah mengingat-ingat sesuatu di benaknya.

“Kenapa, Sut?” tanya Kadir merapatkan badannya yang tingginya sebahu Sutinah. Sutinah spontan mendekap Kadir, berbisik.

“Mbak itu yang tadi bermesraan sama pacarnya di Geladak.”

“Okh, iya.”

“Iya. Waktu saya menunggu lama Mas Kadir tadi.”

“Terus, kenapa?” tanya Kadir ingin tahu.

“Mereka berdua mesra banget.” Sutinah keki. Sementara perempuan remaja yang usinya belum dua puluh tahun itu merasa kalau digunjing.

“Kita berdua juga bisa seperti mereka?” Kadir menarik lebih dekat badan Sutinah, mendekap, melumati mulut Sutinah. Sutinah pun meladeninya lebih mesra, lebih gila seolah mengiming-iming balik perempuan remaja yang memperhatikan. Pacar lelakinya yang tinggi ganteng ikut tertarik memperhatikannya

“Ookh, Gendeng!” umpat pacar lakinya.

“Wong edan! Loro-lorone, edan!” umpat pacar perempuan sambil menyilangkan telunjuk jarinya ditempelkan dikeningnya. Mereka berdua naik ke ranjang besi Komidi Putar yang arahnya memutar ke atas. Pasangan remaja itu terus memperhatikan Sutinah-Kadir yang tiba gilirannya akan menaiki berikutnya. Tatapan ketidaksukaannya seolah menantang Kadir sampai Kadir-Sutinah sudah siap di ranjang besi. Kadir merasa tersinggung tidak mau kalah menatapnya tajam.

“Hay, kenapa kamu lihat terus?!” bentak Kadir melongok ke atas ke ranjang Komidi Putar pasangan remaja. Keduanya tidak menggubrisnya tapi yang lelakinya mukanya bersungut-sungut mengejek menirukan gerakan Gorilla. Kadir yang melihatnya tersinggung, ia memberi isyarat untuk turun mau dibogem tapi pacar lelakinya semakin menggila menghinanya, mulutnya nyengar-nyengir.

“Jancok! Asu, kamu!” bentaknya kasar.

“Sudah, sudah, Mas. Jangan diteruskan.” pinta Sutinah menenangkan.

“Anak itu kurang ajar, Sut! Harus dikasih pelajaran. Mentang-mentang dia ganteng saya, jelek.” katanya sambil mengeluarkan belati tajam diselipkan di pinggangnya. Kilatan belatinya memantulkan cahaya diterpa lampu warna-warni Pasar Malam. Belati kecil mirip rencong senjata khas suku Aceh itu bersarung kulit lembu. Melihat Kadir mengeluarkan belati, mata pacar perempuannya terbelalak takut.

“Mas Arya, orangnya mengeluarkan senjata tajam.” bisik mulutnya gemetar.

“Akh, nggak usah takut, sayang.” jawabnya.

“Kalau Mas Arya dibunuh beneran, bagaimana nanti,” mulutnya gereweli. Perasannya mulai gelisah.

“Paling juga gertakan, Say,” jawabnya enteng. Komidi Putar berjalan setelah mesin dinyalakan petugas. Mula-mula berjalan pelan lalu agak keras, keras.

“Awas, awakmu, yo! Tak tunggu di bawah turunmu nanti!” ancam Kadir serius sambil mengacungkan belatinya, saat Komidi Putar akan mulai berjalan. Pacar perempuannya semakin takut. Wajahnya gelisah. Ia yang mengira Kadir hanya menggertak ternyata terlihat serius apalagi saat mengacungkan belati mengkilat.

“Nanti, setelah turun kita lapor Keamanan.” kata Arya menenangkan pacarnya. Keduanya kini sama-sama merasakan tidak tenang. Berawal naik Komidi Putar ingin senang-senang berubah menjadi cemas-cemas. Berbeda sekali dengan kondisi Kadir-Sutinah yang merasa bebas enjoy, berkasih-kasihan, dunia bagai milik berdua meski Kadir masih menanam kesumat dengan kedua remaja.

“Sut, boleh kan jika aku membunuh lelaki pacarnya.” tanyanya ringan seolah tidak ada beban. Sutinah kaget mendengar Kadir mengucapkan kata membunuh pertama kali meski sudah bergaul setahun lebih. Komidi Putar masih berjalan ke atas, jari-jari 2 m mula-mula diputar searah jarum jam dengan kecepatan sudut 0,5π rad/s selama 20 sekon. Kemudian, komidi putar diputar berlawanan arah jarum jam selama 30 sekon dengan kecepatan sudut 0,4π rad/s.

“Mas Kadir serius akan membunuhnya?” tanya Sutinah sungguh-sungguh.

“Lihat saja nanti dan buktikan omonganku.” Ancamnya.

“Nggak usah macam-macamlah, lebih baik kita kelon saja berpelukan erat sampai menjelang pagi.” kata Sutinah mesra, ndusel ke lengan dan pinggang Kadir.

“Heemm.” Kadir menciumi pipi Sutinah. Komodi Putar masih aktif bekerja seiring dengan permainan Ombak Banyu di sebelahnya.

Sutinah menatap Kadir lembut.

“Mas Kadir, aku merasa tenang dan damai bila di sampingmu. Desahan separuh napasmu terasa melekat di hatiku,” kata Sutinah puitis.

“Masak, sih. Jangan-jangan apa karena kamu menginginkan uangku saja. Iya, kan?” sergahnya.

“Tapi aku kan jelek, badanku gemuk pendek. Masih nggantengan Arafat,” goda Kadir.

“Kok Mas Kadir menyinggung Arafat. Di sini kita kan berdua memadu kasih, merendah impian kita.”

“Tapi kamu kan pernah bilang kalau Mas Arafat ganteng dan baik hati.” tatap Kadir.

“Nggak, Mas Kadir. Justru malam ini aku tunjukkan kepada seluruh dunia bahwa aku benar-benar menyintaimu.” Di atas awan terlihat mulai kelabu. Fenomena langit malam semula cerah berubah menjadi gelap pertanda hujan akan turun.

“Tapi, Sut. Andaikan kamu menginginkan Arafat pun tak masalah. Bukankah menyintai setiap laki-laki sesaat dengan imbalan uang itu kan pekerjaanmu. Jadi, kamu tidak perlu semata-mata mengharapkan uang dariku.” Jamilah menarik napas berat. Dipikirannya omongan Kadir baru saja itu ada benarnya. Jeglek! Komidi Putar berhenti durasinya mutarnya habis. Mata Kadir spontan melihat ke arah sepasang remaja yang posisinya kini pindah ke bawah. Sebaliknya mata mereka juga menatap ke atas. Mereka bergegas pergi setelah melepas sabuk tempat duduk. Pacar perempuannya hampir terjatuh saat menuruni anak tangga tergesa-gesa. Mata Kadir tak lepas mengawasi ke mana arah perginya. Di atas kilat berseliweran merenda-renda.

“Mas Kadir, sudah! Nggak usah dilanjut. Nanti habis ini mau kelon apa mau bertengkar.” kata Sutinah menggoda.

“Dua-duanya.” Kadir tersenyum tipis, kecut. Di atas gerimis mulai turun. Angin malam melekat, berpadu angin pesisir laut Pandar bersekutu mau merencanakan menyingkirkan hujan tapi terlambat sudah turun. Kadir melepas jaketnya dan menyuruh Sutinah agar dipakai menutupi kepalanya.

“Pakai Jaketku untuk menutupi kepalamu, Sut. Hujannya malam ini sepertinya lumayan deras.” kata Kadir. Kadir menggandeng Sutinah setengah menyeret menuju tempat parkir motor.

“Ke mana perginya anak tadi, ya?” tanya Kadir.

“Sudah, nggak usah dihiraukan. Anaknya sudah jauh pergi.” Sutinah kembali mengalungkan kedua tangannya di perut Kadir saat sudah di belakang punggung.

“Kita mau lanjut jalan apa nanti berteduh di Supermarket?” tanya Kadir.

“Terserah!”

“Tadi katanya mau ke Perahunya Pak Arafat.”

“Hemmm, ya sudahlah cepat jalan. Mumpung belum begitu deras.” ajak Sutinah. Mesin motor berbunyi setelah di stater. Mereka berdua menggelinding di bawah hujan.

“Nanti kalau sampai ketemu sepasang anak tadi, tak cegat dia.” ancam Kadir.

“Masih memikirkah anak itu tadi. Ini lho hujan.”

“Siapa tahu nanti ketemu di jalan.” Ternyata hujan tidak redah tapi makin deras.

“Hati-hati lho, Mas. Jalannya licin. Nggak usah ngebut.” Sutinah memperingatkan.

“Iya, sayang. Kamu yang rapet memelukku biar aku kamu nggak kedinginan.”

“Nanti juga kamu saya peluk erat-erat sampai di bili perahu hingga cahaya pagi muncul.” Goda Sutinah menyeringai.

“Hemmmmm….” Kadir terbuai, seakan sudah membayangkan bahwa ia yakin nanti akan masuk berteduh di Perahu Ikan milik Arafat. Di perjalanan menuju Perahu Barokah milik Arafat ia digenjret oleh motor seseorang yang berboncengan hingga mengenai mukanya.

“Jancuk. Asu!” umpatnya berteriak. Ia lalu mengejar motor tersebut sekencang-kencangnya meski lari motornya Kadir tidak sebanding dengan lari motornya . Hujan mulai redah, sisa-sisanya menetes dari helm ke celananya. Di perempatan lampu merah jalan besar cukup sepi, hanya terlihat satu dua motor dan sebuah mobil, terlihat motor yang menggenjret Kadir berhenti di pinggir jalan. Kadir perlahan mengikutinya lalu menghimpit motor itu sambil melihat siapa pengemudinya. Di sela temaram lampu jalan mercuri 400 watt Kadir nampak mengenalinya, kebetulan orang menggenjretnya tidak pakai helm. Di belakangnya seorang perempuan remaja pesaing romantik Sutinah melihatnya ketakutan sambil menggigil kedinginan.

“Sut, benar ya. Itu Mbak yang ngece kamu tadi?” tanya Kadir kepada Sutinah juga menggigil kedinginan. Sutinah menoleh ke sebelah. Ia menunduk takut. Wajahnya bersembunyi di balik jaket hitam.

“Iya, Mas Kadir. Tapi sudahlah, ayuk kita lanjut jalan!” perintah Sutinah. Kadir bukannya menyetater motor cetolnya tapi malah turun. Ia secepat kilat mengambil belati dari pinggangnya. Jrep! Jrep! Dua tusukan belatinya dihunuskan ke punggung lelaki muda, darah segar mengucur bersama mengalirnya sisa air hujan dari jaketnya. Motornya oleng lalu ambruk. Pacar perempuannya berteriak-teriak minta tolong, berlari menyeberangi jalan ketakutan. Karena jalannya lengang tak seorang pun meresponnya. CCTV pun belum ada. Dua pengendara motor dan satu mobil yang berhenti malah meninggalkan perempatan setelah melihat yang melakukannya adalah preman sekaligus dukun ilmu hitam. Jadi benarkah image Kadir selama ini adalah sesosok laki-laki pendek gempal-tukang santet yang ditakuti di Pandar dan sekitarnya? Dari atas boncengan motor Sutinah marah sekaligus bingung.

“Ayuk Mas Kadir kita lari, sebelum ketahuan polisi!” ajaknya gugup.

Kadir menanggapinya santai. “Aman!” lalu menggeblas lari sekencangnya menuju Perahu Ikan.

“Mas Kadir! Bagaimana kalau dicari sama Polisi Pandar?” tanya Sutinah risau di perjalanan.

“Tenang saja, Sut. Selama tidak ada saksi dan ada yang melaporka.” timpalnya.

Deru motornya mengernyit tiba di Pesisir Pandar yang dipenuhi Perahu Ikan milik usaha warga Pandar. Beberapa perahu itu sedang bersandar dengan bendera warna-warni. Di atas kilat menyambar-nyambar, sesekali ditimpal suara guruh menggelegar. Dengan senter HP-nya ia menerangi jalan sambil mengendap-endap mencari nama Perahu Barokah milik Arafat. Di dalam bilik beberapa perahu ikan itu kadang jika malam hari ada yang menunggu karena kadang masih ada beberapa ikan di mini kontainer yang belum sempat dilarikan ke TPI karena perolehan ikannya datangnya sore atau malam hari.

“Siapa itu?!” seorang Penjaga Perahu Ikan dari perahu lain berteriak. Ia keluar menyenteri tiap-tiap perahu bersandar di sekeliling. Arafat-Sutinah reflek berhenti agar tidak menimbulkan suara langkah kaki dan gesekan, dicurigai. Setelah penjaga perahu kembali masuk ke bilik ia melanjutkan berjalan sampai di Perahu Barokah. Mula-mula Kadir yang naik duluan, mengecek apakah ada orang yang menjaga di bilik perahu. Kadir hapal, hanya Syakiblah yang dipercaya Arafat menjaga perahunya. Tapi malam ini kadir ingat, Perahu Barokah libur Seminggu setelah melaut, perahu kosong tidak ada penjaga karena tidak ada ikan.

“Aman. Ayuk naik, Sut!” perintah Kadir. Sutinah naik tangga, tangan kananya mengulur minta tolong disambut Kadir agar tidak jatuh. Di luar suara Guruh saling timpuk kadang berirama seperti kelereng. Dulu saat masa kecil ada ucapan mitos, ”itu suara kelereng Malaikat lagi main sama temannya, katanya. Ah, ada-ada saja!

Lihat selengkapnya