BAB II
Hubungan Arafat dengan anak buah dan awak perahunya itu seperti kerabat saudaranya sendiri, sekalipun dengan Kadir yang selalu menampak sikap tidak nyaman terhadap dirinya. Desakan dari Jamilah istrinya agar memecat Kadir pun tak kuasa dilakukan. Arafat berpikir dua kali jika memecatnya, bukannya tidak mampu menyelesaikan masalahnya tapi bisa-bisa menimbulkan masalah kedua terhadap ancaman rumah tangganya. Pernah ia akan melaporkan Kadir ke Aparat keamanan tapi niat itu diurungkan karena masukan Syakib bahwa tidak ada barang bukti menjadikan Kadir sebagai tersangka. Melakukan penganiayaan terhadap awak perahu pun tidak, tapi jika dilaporkannya atas sihir yang dapat menciderai orang lain termasuk Jamilah, itu juga tidak bisa dibuktikan faktanya.
Dalam kesibukannya sebagai nelayan ikan, Arafat sudah merasa nyaman karena sumber rejeki dari tangkapan ikan yang dijual ke TPI sudah lebih dari cukup sebai sumber mata pencahariannya. Ia bisa menyekolahkan Kahfi anaknya, membayar upah atau gajih awak perahunya dan sisanya sebagian ditabung sebagai simpanan manasuka di Koperasi UD Barokah. Kendalanya terjadi apabila Arafat tidak bisa ikut melaut karena sakit atau keperluan lainnya maka tidak ada yang bisa mengemudikan, karena semuanya belum ada yang bisa kecuali Syakib. Bagaimana dengan Kadir? Laki-laki itu belum bisa dipercaya sepenuhnya Arafat lebih-lebih Jamilah. Jika perahu tetap berjalan menangkap ikan dengan nakodanya Syakib atau pinjam tenanga temannya Arafat, hal itu dikarenakan terpaksa dari pada tidak ada sumber uang yang masuk dan dapur awak kapal yang rata-rata kehidupannya pas-pasan tidak mengepul. Biasanya jika perahu tidak beroperasi melaut, para awak perahu tidak segan-segan meminjam uang ke Jamilah lalu ia meminta bayarannya dikurangi karena membayar hutangnya. Apalagi Kadir, hutangnya mengalir terus tutup lubang gali lubang karena terlalu banyak untuk foya-foya dengan Sutinah, sampai istrinya pun tidak ikut merasakan bayarannya. Untungnya istrinya masih bisa makan sehari-hari dari leles ikan bersama ibu-ibu desa Pandar yang miskin. Mereka meleles ikan yang jatuh pada perahu-perahu yang berisi tangkapan ikan milik nelayan. Hasil lelesan ikan itu dibawa ke TPI untuk dijual dengan harga laku seadanya.
Para nelayan lainnya menilainya Kadir sangat berlaku zalim kepada istrinya. Ia zalim karena ia telah meletakkan sesuatu perkara bukan pada tempatnya. Uang hasil melautnya lebih banyak mengalir ke Sutinah dari pada ke istri dan anak angkatnya.
“Makanya saya mbalon saja sama Sutinah, barangkali nanti bisa punya anak kandung dari turunan saya,” katanya membanggakan aib bejatnya. Para nelayan dan awak perahu yang mendengarkannya dikira senang, padahal tidak. Mereka justru kasihan terhadap istrinya yang sehari-hari leles ikan dijual ke pasar ikan dan kadang terpaksa mburuh mengangkuti ikan di atas baskom dari perahu ke perahu lainnya kecuali perahu milik Arafat. Kadir merasa malu terhadap teman-temannya apabila istrinya leles ikan di perahu Arafat yang bersandar. Pernah suatu hari istrinya nekat leles ikan di Perahu Arafat lalu ketahuan Kadir, serta merta istrinya dibentak disuruh pulang.
“Hay, kenapa leles ikan di sini? Di tempat lain saja atau pulang kamu!” bentaknya seperti pada seekor anjing.
“Kenapa sih, Mas Kadir. Kamu malu ta? Wong Pak Arafat sendiri malah membolehkannya.” sanggah istinya. Para awak perahu Arafat yang mendengarnya tak bisa menghindar ikut melihatnya. Sementara Arafat tak tega melihatnya. Ia menyeret Kafi ke dalam agar tidak ikut memperhatikannya karena dianggap aib.
“Hay! Kamu semua kenapa melihatku. Ini urusan rumah tanggaku. Mengerti?!” teriaknya kepada awak perahu Arafat sambil mengepalkan tinjunya.
“Kamu itu perempuan, nggak usah melawan. Tutup mulutmu! Pulang sana!” bentaknya kembali. Sebuah tamparan keras mendarat di kepala istrinya. Lalu ia menarik paksa lengan istrinya hingga terjatuh. Istrinya menangis.
“Kalau aku nggak boleh leles ikan begini, kasih aku uang untuk kebutuhan makanku sehari-hari. Jangan kamu larikan uang itu kepada sundel Sutinah saja!” Tangis istrinya makin meraung. Kadir makin muntab diejek istrinya, ia menendangnya hingga badannya terpental tertabrak perahu Arafat. Istrinya pingsan. Syakib yang mengetahuinya dari atas reflek turun dan menolong istri Kadir yang terlihat tak sadarkan diri.
“Sudah biarkan, Kib, nggak usah ditolong!” bentaknya.
“Jangan begitu, Mas Kadir. Ini kan istrimu sendiri. Kasihan, Dir.” elus Syakib meluluhkan emosinya. Di matanya, Syakib adalah teman lama yang sama-sama pernah belajar di Pondok tapi entah jalan hidupnya terutama sikap mentalnya jauh berbeda.
“Kamu masih ingat, kita adalah sama-sama murid Kyai Maslan di Pondok.” bisik Syakib memegang pundaknya tapi tangan Syakib dilepaskannya. Ia cuek menjauhi Syakib, meninggalkan istrinya begitu saja tanpa menolongnya. Setelah Kadir pergi Syakib memanggil-manggil Kafi yang ada di atas perahu. Kafi muncul setelah mendengar namanya diteriaki disusul sama Arafat. Melihat istri Kadir yang lunglai tak berdaya keduanya serta merta turun.
“Astagfirllah, kasihan Kib. Cepat ibunya kita bawa ke Puskesmas Pandar, ya.” perintah Arafat. Kafi pun membantunya menggotong tubuh perempuan bernasib malang itu ke atas mobil pick up milik Arafat.
“Maaf ya, Bu. Ibu saya bawa ke Puskesmas supaya segera ditangani sama dokter.” kata Syakib sambil menggotong tubuhnya. Perempuan itu baru saja siuman, mengagguk pelan tak berdaya, kepalanya perlahan menoleh ke arah Arafat.
“Pak Arafat, terima kasih ya Pak.” katanya pelan sambil mengangguk. Arafat pun membalas mengangguk. Para awak perahu Arafat yang lain ikut turun menyaksikannya.
“Hayo, hayo kembali. Kembali ke atas perahu melanjutkan pekerjaan.” perintah Arafat dengan suara halus, sopan. Mereka bertiga membawa Bu Kadir ke Puskesmas.
“Buyar! Buyar!” teriak Kafi dari dalam pick up. Pick up melaju kencang membawa istri Kadir. Arafat ikut mengantarkannya, mengikuti dari belakang pick up dengan motornya. Lalu kemana perginya Kadir sekarang? Ia pergi begitu saja setelah menyakiti, menendang istrinya. Ia pun sebenarnya masih punya tanggungan dan kewajiban bekerja menurunkan ikan dan waktunya tugas mencuci badan perahu dengan air tawar supaya bagian besi-besi perahu tidak cepat karatan. Tapi Arafat tidak memperdulikannya, bagi Arafat yang utama adalah melakukan pertolongan istrinya lebih dahulu biar sembuh dan kembali sehat.
“Pak Arafat, terima kasih Bapak sudah menolong saya membawanya ke Puskesmas.” Kata Istri Kadir setelah tiba di Puskesmas. Ibu nestapa itu kini bisa merasakan cukup enak badannya. Menurut dokter jaga Puskesmas yang merawatnya, hanya terdapat luka lecet kecil di pelipis kepalanya dan itu sudah dijahitnya. Punggungnya agak memar dan sedikit nyeri.
“Sudah saya kasih obat nyeri, kok Pak. Obatnya saya titipkan pak itu,” kata dokter Puskesmas sambil menunjuk ke Syakib.
“Iya, terima kasih, dokter.” jawab Arafat. Lalu dokter itu pergi melayani konsultasi pasien lainnya yang sudah menunggu di bilik kamar pemeriksaan. Bilik itu hanya ditutup tirai dari kain putih sederhana.
“Bu Kadir, nanti obatnya diminum ya,” pesan Arafat.
“Iya, Pak. Nanti biayanya saya cicil dari saya leles ikan, ya Pak.” Katanya menghiba. Tatapan matanya sayu. Kafi yang melihatnya pun terasa belas kasihan. Ia jadi ingat ibunya yang juga mencari nafkah dengan membuka usaha pracangan kecil-kecilan.
“Ibu nggak usah memikirkan semua biayanya. Habisnya juga tidak banyak.” kata Arafat sambil menggenggamkan lembaran uang 50 ribuan empat lembar ke tangan Bu Kadir.
“Lho, apa ini Pak,” kata Bu Kadir menatapnya.
“Untuk kebutuhan ibu makan, ya. Tapi nggak usah bilang Kadir dan jangan sampai ketahuan.” Pesan Arafat kembali. Syakib melihat kebaikan pekerti luhur Arafat jadi terenyuh apalagi melihat Bu Kadir yang kini tengah menangis melelehkan air mata merasakan keharuan kebaikan Arafat.
“Oalah, terima kasih banyak, Pak Arafat. Saya terus terang tidak bisa membalas kebaikan bapak. Tapi saya berdoa untuk Bapak beserta keluarga selalu dilimpahkan rejeki yang halal dan rumah tangganya bahagia.” Doanya.
“Aamiin.” kata Arafat diikuti Syakib dan Kafi. Bu Kadir menoleh ke Kafi, memegang tangannya kemudian memberikannya uang 2 lembar lima puluhan.
“Kafi, tolong uang 100 ribu ini kamu berikan ibumu, ya Nak. Minggu lalu saya punya hutang Ibumu,” Kafi terpengarah. Arafat memberikan isyarat agar diterimanya saja dan disampaikan ibunya.
“Baik, Bu Kadir. Nanti amanah ibu saya sampaikan kepada ibu saya,” kata Kafi.
“Biar saya lega kalau nanti mati tidak punya tanggungan hutang.” kata Bu Kadir. Syakib membenarkan omongan Bu Kadir, orang yang mati jangan sampai meninggalkan hutang kecuali keluarganya yang akan membayarnya, menggantikannya.
“Makanya kenapa Pak Modin setelah menguburkan mayat selalu menanyakan, apakah almarhum atau almarhumah masih meninggalkan hutang. Jika ada maka keluarga harus melunasinya. Kecuali orang menghutangi itu mengikhlaskan untuk tidak dibayar.” katanya. Syakib sedikit banyak paham betul tentang ajaran pengetahuan agama Islamkarena ia termasuk jamaah yang aktif menengarkan pengajian Kitab Riyadush Shalihin di Masjid serta sebagian telah didapatkannya saat dulu belajar di Pobdok. Diceritakan dari hadits riwayat Abu Umamah: "Barangsiapa berhutang dan berniat untuk melunasinya, maka Allah akan mengampuninya dan meridhainya dengan apa yang Allah kehendaki. Barangsiapa berutang dan tidak berniat melunasinya kemudian mati maka Allah akan menghukum di hari kiamat." Bunyi hadist tersebut. Arafat dan Kafi manggut-manggut mendengarkan.
Di antara buruh perahu anak buah Arafat yang alim dan istiqomah ibadahnya ialah Syakib. Tidak hanya itu, ia adalah laki-laki penyabar yang patut dicontoh oleh semua awak perahu Arafat. Bahkan ia pernah dengan sengaja ditendang Kadir ke laut saat menolong Kafi pun tidak membalas dendam, malah memaafkan Kadir asal ia mau bertobat untuk tidak melakukan kejahatannya kembali dan bertobat dari perbuatan zina bersama kiwir-kiwirnya Sutinah. Kadir diberitahu halus Syakib untuk kembali kepada istrinya dan anak angkatnya. Semula Kadir telah meresponnya dengan baik. Sehari dua hari ia tidak melakukan hubungan badan dengan Sutinah bahkan mau melakukan sholat setelah dituntun oleh Syakib. Istrinya pun merasakan senang melihat suaminya berubah dan mulai sadar. Namun Seminggu kemudian tingkah laku Kadir muncul kembali dan melakukan hal-hal sebagaimana dulu ia lakukan dengan kesombongannya. Syakib pun marah dan bersumpah pada Kadir, jika ia sampai melakukan kekerasan pada Arafat, melukai Jamilah melalui ilmu hitamnya maka Syakib akan bertindak menghadapi dan menyelesaikannya. Kadir pun tidak kalah sesumbar mengungguli serapah Syakib. Ia siap bertarung beradu fisik terutama kesaktian ilmu hitamnya melawan ilmu yang dimiliki Syakib. Syakib merasa geli, tertawa kalau dirinya dianggapnya punya ilmu. Karena ia tidak merasa memilikinya. Ia hanya mengamalkan beberapa amalan dari Kyainya mengaji di Pondok dulu untuk menekuni amalan bacaan-bacaan Surat dari Al Quran tertentu, konsisten membaca Surat Al Fatikah Al Ikhlas, Al Falaq dan An Nass.
“Pak Syakib ada apa? Sepertinya memikirkan sesuatu.” terawang Arafat.
“Tidak ada apa-apa. Nanti akan saya ceritakan kepadamu, Fat,” jelasnya.
“Sekarang juga nggak apa-apa, Pak. Dari pada saya penasaran.” sanggah Arafat.
“Apakah saya boleh mengetahuinya, Pak Syakib?” Kafi ikutan penasaran.
“Memang ada apa, Pak Syakib?” tanya Bu Kadir pula.
“Dalam kehidupan di dunia ini, pastilah ada kebaikan dan kebatilan.” papar Syakib memulai bercerita. ”Sebelumnya saya berpesan pada Kafi lebih dahulu.” lanjut Syakib.
“Pesan apa, Pak Syakib?” tanya Kafi memandang Syakib.
“Kafi, banyak-banyaklah kamu melakukan kebaikan seperti kebaikan yang telah dilakukan oleh Pak Arafat, Nak. Dan yakinlah kebaikan yang telah kita lakukan itu akan berdampak baik pula untuk diri kita sendiri, keluarga dan lingkungan.” katanya serius seolah memberi makna pesan yang dalam.
“Iya, Pak Syakib. Pak Arafat sudah saya anggap seperti Ayah saya sendiri, karena saya juga sudah tidak punya Ayah. Saya sekarang sudah bisa bantu-bantu ibu dan membayar sekolah adek saya Sekolah si SD setelah mendapatkan bayaran ikut melaut di perahu ikan, Pak Arafat.” katanya lirih. Arafat yang mendengarnya tersenyum dan menepuk-nepuk pundak Kafi. Sebaliknya Arafat juga menganggap anak seusia remaja itu seperti anaknya sendiri atau sebagai kakak asuhnya Kahfi anaknya.
“Hal itu sudah menjadi kewajiban orang yang punya rejeki, Fi. Harus dibagi kepada siapa yang sangat membutuhkannya,” kata Arafat rendah hati.
“Iya betul. Jika punya uang jangan dibuat foya-foya seperti Pak Kadir itu.” kata Bu Kadir menyela, air matanya meleleh.
“Sudah ya bu, ibu ikhlaskan saja dan berdoa yang terbaik supaya Pak Kadir cepat bertobat kembali.” Syakib menghiburnya.
“Saya kira orang itu tidak bisa insyaf selama gendaannya si Sutinah itu mati atau pergi dari Desa Pandar.” Umpat Bu Kadir kesal. Matanya menerawang jauh, guratan kebenciannya nampak tersembul di bawah matanya yang mulai agak kabur. Syakib manggut-manggut mengerti perasaan perempuan yang kenyang disakiti bertahun-tahun oleh suaminya.
“Sabar, ya Bu.” kata Arafat sambil menepuk pelahan lengannya.
“Suamiku itu juga masih suka praktek sihir, dukun, Pak. Saya selalu disuruh beli ayam hitam di pasar kalau besoknya ada pasien yang sudah janjian datang ke rumah mau minta tolong.” katanya.
“Astagfirllah hal adzim. Itu termasuk syirik Ibu, dosa besar. Allah tidak akan mengampuninya sebelum orang itu bertobat dahulu,” kata Syakib menjelaskan.
“Akkh, suami saya itu masak mengerti dengan hal-hal yang berbau agama. Dia itu tahunya hanya melakukan kesenangan-kesenangan semata menuruti napsu bejatnya.” celotehnya.