Matahari Kelabu

Mohammad Sholihin
Chapter #4

BAB III

BAB III

Peristiwa penganiayaan Kadir terhadap istrinya  sudah terdengar Jamilah. Cerita itu didapatkannya Jamilah langsung dari ibu-ibu saat  di Pasar Kecil belakang rumahnya.  Namanya juga ibu-ibu paling senang dengar gossip semacam itu apakagi kalau gosip yang belum tentu benar itu digosok-gosok sampai keluar asapnya hingga membara, berkembang ke mana-mana.

“Tapi ini bukan gosip lho, Jeng, tapi beneran, kenyataan!” kata ibu yang membeli sayur di Warung Sayur Pak Kusno.

Seorang Ibu lainnya yang membeli lauk tempe – tahu menimpalinya. “Saya juga dengarnya seperti itu. Kasihan lho istrinya sampai ditendang waktu di Perahunya Pak Arafat.” kata Bu Welas ikut menimpali.

“Masya Allah, sampai segitunya suaminya. Siapa namanya tadi?”

“Kadir!” jawab ibu-ibu bersamaan.

Seorang Ibu membawa kantung kresek putih besar selesai belanja mendekat, menimpali. “Ibu-ibu, hati-hati lho jangan ngerasani Pak Kadir terus, nanti disantet baru terasa, hehehehe.” guraunya tapi mimik wajahnya serius. Sebagian ibu yang lain tercenung dan berpikir.

“Lho, jadi orang itu main ilmu hitam juga, ya?” tanya seorang Ibu rmuka serius.

“Iya, saya dengar juga begitu.” timpal yang lain.

Dari jauh Jamilah memakai pakaian gamis sederhana namun kelihatan anggun dan cantik datang juga hendak belanja setelah mengantarkan anaknya Kahfi di Sekolah Dasar Negeri di Pandar.

“Assalamualaikum, ibu-ibu,” sapa Jamilah lembut, tersenyum.

“Waalaikumsalam,” jawab mereka .

“Nah, ini Bu Jamilah datang. Pasti punya kabar juga.” sahut seorang ibu membawa ayam potong yang baru saja dibelinya di Pasar Dalam.

“Kabar tentang apa, Ibu?” tanya Jamilah.

“Yaitu, Jeng tentang Pak Kadir yang sering memukuli istrinya.”

“Wah, saya justru baru dengar soal ini,” tampik Jamilah.

“Aakh, masak Ibu tidak dengar. Atau pura-pura nggak tahu?” sahut lainnya.

“Pak Kadir kan ikut di perahu ikannya Pak Arafat, Bu Jam?”

“Iya. Tapi soal KDRT itu saya baru dengar dari ibu-ibu.” paparnya. “Memang informasi ini dari mana?” tanya Jamilah.

“Ibu Welas, ini.” tunjuknya kea rah Bu Welas.

“Lho, kok saya yang jadi tertuduh?” elaknya.

“Lha, kan ibu pertama kali yang memberitahukannya?” guraunya.

“Ya, sudah nggak usah diperpanjang. Nanti bisa jadi besar masalahnya, menjadi sumber keributan,” kata Jamilah tersenyum sambil mau pamit belanja.

“Jeng, jeng, sebentar belum selesai.” kata bu Welas menahan lengan Jamilah.

“Lho, terus kapan saya belanjanya?” keluhnya.

“Paling juga belum tutup pasarnya. Ini lho, masih belum jam Sembilan,” katanya Bu Welas sambil melihat arloji di tangannya.

“Nanti bahan-bahan belanjaan yang mau saya beli keburu habis, ibu.”

“Eh, Jeng. Apa iya katanya Pak Kadir itu juga melakukan praktek ilmu hitam?” tanya Bu Welas. Seorang ibu lain menambahi.

“Memang apa ada warga atau penduduk Desa ini yang pernah jadi korbannya?”

“Nah, itu saya kurang tahu.” Elak Bu Welas.

“Kalau menurut Jeng Jamilah?” desak mereka hampir bersamaan.

“Ya, nanti Ibu-ibu tahu sendirilah. Saya tidak perlu menjelaskannya takutnya akan jadi fitnah bila berita itu tidak benar.” kata Jamilah sambil cepat-cepat ngeloyor pergi. Semua ibu-ibu yang bergerombol memanggil-manggilnya; Bu Jam, Jeng!

“Maaf, ibu-ibu. Maaf sekali. Saya harus cepat-cepat belanja takut keburu habis.” tangkal Jamilah masih berusaha ramah. Nampak dari mereka wajahnya berkerut ada pula mulutnya yang mencibir halus.

“Lha, belum tuntas ceritanya.”

“Ya sudah, kita pulang saja yuk!” seru Bu Welas. Tiba-tiba ia terkejut bukan kepalang, hatinya berdesir ketakutan. Dari kejauhan ia melihat Kadir sedang membawa ayam hitam semacam ayam Cemani. Jalannya ketebang-ketebeng karena badannya kegemukan, pendek. Bu Welas langsung memutar arah balik jalannya takut berpapasan.

“Bu Welas! Kok jalannya memutar?” tanya ibu-ibu.

“Sssst, ada Pak Kadir itu, di sana!” jawabnya sambil menunjuk dan menatap dimana Kadir berdiri. Kadir yang merasa ditatap balik menatapnya Ibu-ibu dengan tatapan melotot menakutkan. Laki-laki berwajah mirip owel merasa dirinya digunjing, dibuat bahan pembicaraan sebagai sarapan pagi di Pasar. Mereka langsung pergi berhamburan ketakutan, sampai ada belanjaannya yang tertinggal dan tergesa-gesa lalu kembali mengambilnya. Mereka bagai sisa tawon berterbangan keluar dari sarangnya mencari teman-temannya yang keluar duluan mencari sari madu di tanaman bunga. Jamilah melihat Ibu-ibu berhamburan  terpanah dan bertanya pada Bu Welas yang melewati dirinya.

“Ada apa, bu?” tanya Jamilah ingin tahu.

“Ada orang yang barusan kita bicarakan tadi.” bisik Bu Welas di telinga Jamilah.

“Mana orangnya?” Jamilah mencari-cari dimana sosok Kadir berada di antara kerumunan pembelanja.

“Tadi ada kok, mungkin sudah pulang.” bisik Bu Welas. “Sudahlah, kamu cepat masuk ke Pasar dalam.” saran Bu Welas. Jamilah pun menurutinya, dalam hati ia membenarkannya. Baru saja ia masuk di pintu Pasar dalam dilihatnya seorang gemuk pendek, perut menggelambir, siapa lagi kalau bukan Kadir. Ditangannya tertenteng ayam hitam yang siap digunakan untuk kegiatannya ritual. Laki-laki yang suka menzalimi orang lain itu nampak bercengkerama serius dengan penjual ayam.

“Saya mau tukar ayamnya yang lebih hitam warnanya!” pinta Kadir kepada penjual ayam, sedikit membentak.

“Kalau warnanya hitam-tam ada, tapi perempuan.” jawab penjual ayam.

“Tapi saya butuh ayam jantan bukan betina!” bentaknya.

“Memang untuk apa, cari yang jantan berwarna hitam?” tanyanya memberanikan diri. Kadir merasa tidak suka dengan pertanyaan penjual ayam tersebut karena dianggap pribadi. Tapi ia pun akhirnya juga mau menjawabnya.

“Untuk ritual!” mulut dan matanya membuat gerakan seolah menakutkan.

“Ritual, ritual apa, Pak?”

Lihat selengkapnya