Matahari Kelabu

Mohammad Sholihin
Chapter #5

Bab IV

BAB IV

 

Arafat adalah sosok laki-laki sekaligus ayah yang sabar di depan anaknya. Sesosok Ayah yang menduduki tempat perhatian dalam kehidupan keluarga. Ia bukan saja seorang figur dari sebuah keluarga, tetapi juga seorang pemimpin, pahlawan, teladan dalam banyak hal di mata istrinya terutama anaknya. Ayah itulah menjadi tiang utama yang memberikan dukungan, bimbingan, dan kasih sayang kepada keluarga. Arafat telah melabuhkan biduk cintanya genap 10 tahun dengan kekasihnya, Jamilah hingga kini dikaruniai seorang anak laki berusia 8 tahun, duduk di kelas 3 SD. Suka duka biduk rumah tangganya dibangun sejak mulai masih kontrak belum punya rumah hingga sampai bisa membangun rumah sendiri yang didahului dengan membeli tanah milik Pak Tumiran, tetangga sebelahnya, tiga rumah dari rumah kontraknya. Kata tetangganya, tanah kaplingan yang dibelinya itu termasuk murah sekali, karena tidak semua orang cocok dan berani membeli tanah kaplingan Pak Tumiran. Pasalnya tanah seluas 12 x 8 meter itu adalah bekas tanah Punden, bekas makam orang dianggap leluhur keramat oleh warga, penduduk masyarakat desa. Nuansa Punden di desa itu sangat mistik, keramat! Masyarakat desa justru menganggap tempat keramat itu sesuatu yang sangat dihormati dan dipuja. Punden sendiri berasal dari bahasa Jawa yang berarti tempat atau objek-objek pemujaan. Petilasan, tempat semula  masih ada berupa tetenger sebagai pengingat sesuatu bahwa di situlah dulunya pernah ada sebuah Punden yang kini sudah  dibongkar menjadi bangunan rumah milik Arafat-Jamilah persisnya sudah menjadi kamar yang ditempati anaknya Kahfi.

Saat awal membangun pondasi rumah, baik Jamilah maupun Arafat sudah diingatkan oleh sebagian warga setempat untuk tidak memindahkan tetenger Punden dari tempat asalnya. Peringatan kedua disampaikan oleh Pak RT yang sampai datang sendiri ke rumah. Seperti permintaan warga setempat, Pak RT-nya pun juga memohon hal yang sama.

Masalah tetenger itulah kemudian menjadi perdebatan Arafat-Jamilah tentang iya tidaknya jadi memindahhan tetenger sebelum membangun pondasi rumah. Perlu diketahui, Arafat sejak kecil dibesarkan oleh keluarga di lingkungan kolot tradisional, sebaliknya orang tua Jamilah  terutama ibunya mendidiknya dengan cara moderat berdasar Al Qur’an dan Sunnah rosul meski belum sepenuhnya dipahaminya. Terkecuali permasalahan mistik yang nyata-nyata telah dialaminya sendiri yang dilakukan oleh Kadir melalui ajian Pet Sekrepet yang didapatkannya dari ngalap berkah di petilasan Eyang Semar Gunung Arjuna. Pengalaman metafisiknya itu langsung dialaminya sendiri melalui mimpi tidur tengah malamnya sebanyak dua kali .

“Terus apa benda yang dianggap keramat itu dibiarkan saja ada di dalam rumah, Mas? Apa nggak mengganggu?” protes pelan Jamilah.

“Dari pada  nanti berakibat ada apa-apa  pada anak kita Kahfi, bagaimana?” balik Arafat menyerang. “Masalahnya bekas tetenger Punden itu desain gambarnya persis ada di dalam kamar anak kita, Jam!” Arafat mulai kelihatan kesal.

“Terus mau diapakan ? Semakin Mas Afat percaya, maka akan terus dihantui dan digoda oleh Jin musyrik.” Jamilah terus mengomel, pikiran Arafat masih risau. Dengan hati-hati ia akan mengajukan keinginannya tentang logam kuning emas seperti yang pernah diberikan oleh Kadir untuk penglaris pekerjaannya mencari ikan di laut. Selama ini Jamilah sengaja tidak diberitahui karena Arafat sudah berkeyakinan pasti istrinya akan menolaknya, tidak akan menyetujuinya. Benda logam kuning emas itu berjumlah 4 biji sesuai saran Kadir untuk dipasang atau ditanam di bagian setiap pojok badan perahu ikan.

Bagaimana, nanti sebelum buat pondasi kita tanami logam kuning emas, Jam?” pinta Arafat hati-hati. Jamilah terpengarah kaget.

“Apa, Mas Afat? Logam kuning emas? Dari mana Mas Afat percaya kalau benda logam emas itu bisa  membantu kita?” tanyanya curiga. Cukup lama Arafat menjawabnya. Hatinya ragu.

“Mas! Ditanya kok diam saja?” desaknya. Meski agak berat akhirnya jawaban itu keluar juga dari mulutnya.

“Kadir,” suaranya pelan.

“Apa? Mas Kadir? Yang benar, Mas?!” sedikit berteriak.

“Ya, benar, Jam.”

“Sejak kapan Mas Afat mendapatkan informasi itu darinya?” desaknya

“Sebenarnya sudah lama, Jam. Cuma aku sengaja tidak memberitahumu, takutnya kamu tidak percaya.” Jelasnya.

“Mas Afat, Mas Afat. Kan sudah pernah saya katakan, nggak usah pakai benda-benda mistik itu, syirik.” tegas Jamilah. “Lagi pula mana buktinya kalau benda-benda dari dukun itu ampuh dan mendapatkan berkah?!” protesnya keras.

“Jam, kamu ingatkan? Kita dulu nggak punya apa-apa sekarang rejeki kita berlimpah dari melaut dengan perahu ikan.” Arafat melakukan pembelaan.

“Terus apa hubungannya?” tangkalmya.

“Jam. Mas Kadir itu pula yang menyarankan menanam logam kuning emas di pojok-pojok perahu ikan kita.” paparnya.

“Haaakh!” mulutnya menganga.

“Iya, Jam.”

Jamilah manggut-manggut. “Sekarang saya akhirnya jadi mengerti. Kenapa Mas Afat berat banget kalau saya suruh memecat Mas Kadir.” ungkit Jamilah.

“Yaa, kan nggak enak, Jam. Dia itu sudah membantu kita, memberikan jasa kepada kemajuan Perahu Barokah.”

Jamilah mendekati Arafat, membisikkan kalimat di telinga Arafat “Mas Afat. Saya beritahu ya. Yang memberi kemajuan itu bukan Mas Kadir. Yang memberi rejeki itu bukan Mas Kadir, Mas Afat. Tapi Allah!” suaranya keras.

“Terus bagaimana, Jam. Ini kan sudah terjadi lama.”

“Mas Afat. Pokoknya saya nggak mau dengan nama orang itu lagi.” Rengeknya. Isak tangisnya mulai terdengar.

“Jam,” Arafat lebih mendekat, mendekap, mengelus punggung Jamilah.

“ Lepaskan! Lepaskan!” Jamilah menjauihinya. “Kamu lebih percaya sama Kadir dari pada aku sendiri, istrimu!” teriaknya.

“Jangan keras-keras. Nanti terdengar sama tetangga.”

“Biar, Semua ini gara-gara Mas Afat!”

“Kok, semuanya disalahkan ke saya.”

“Memang, iya!”

“Sudahlah, Jam. Kita sekarang menyelesaikan persoalan tetenger Punden itu sebelum rumah kita dibangun.” Jelasnya.

 “Kita harus tawakkal, Mas. Harus banyak. Apapun yang terjadi nanti kita serahkan semuanya pada Allah. Jangan percaya pada Kadir lagi. Jangan percaya pada   hal-hal seperti itu lagi. Bisa syirik nanti, dosa besar.” Ceracau istrinya.

“Iya. Jika tidak boleh dengan ajiannya Mas Kadir lagi, lalu apa kamu siap menghadapinya?”

“Kok kamu, kamu. Bukan aku saja yang menghadapinya, Mas. Ya kita, kita berdua. Mas Arafat. Kita kan suami istri harus saling mendukung, sama-sama membuat kekuatan untuk menghadapi hal-hal yang tidak diinginkan dari kelakuan Mas Kadir.” kata Jamilah memberondong. Arafat hanya diam dan termenung. Ia ingat betul saatitu, tepatnya lima tahun lalu ketika Kadir memberikan dan mengajari mantra pesugihan yang didahului dengan menjalankan proses ritual mistis untuk menambah kekayaan harta dan uang yang diperolehnya dari pekerjaannya mencari ikan di laut.

Asal mula Arafat memperoleh pesugihan itu ketika dirinya mengeluh kalau pekerjaannya mencari ikan di laut sepi. Maklum ia sendiri terbilang sebagai nelayan baru setelah membeli perahu ikan besar milik Pak Haji Salihin. Ceritanya itu disampaikan saat ia minum-minum kopi di warung kopi Mak Waroh Pesisir Pandar. Seseorang bertanya kepadanya.

“Banyak ikan banyak hari ini, Cak?” tanya seorang nelayan.

“Sepi, Cak. Akhir-akhir ini tambah sepi perolehan ikannya.” jawabnya.

“Ya, mungkin angin laut sedang kencang-kencangnya, Mas.” Timpal Matasan yang biasa nyangruk di Mak Waroh.

“Sekarang bulan apa memangnya?” tanya nelayan yang lain.

“Akhir Agustus mau masuk September, Mas.” jawab Matasan.

“Kenapa memang, Mas. Apa ada pengaruhnya dengan bulan-bulan tertentu untuk menjaring ikan di laut?” tanya Arafat ingin tahu.

“Iya. Jadi pada bulan setelah Agustus ini adalah sepinya ikan muncul di laut. Musim ini ikan akan menjadi pemangsa bahkan ada yang sampai memakan sesama jenis ikan juga.” kata nelayan menjelaskan.

“Sebaiknya pada bulan berapa yang baik untuk melaut, Mas?” tanya Arafat kembali.

“Nah, musim seperti inilah waktu yang tepat untuk menjaring ikan di laut. Pokoknya  antara Bulan Februari sampai Bulan Agustus.” kata nelayan menerangkan. Mak Waroh yang sedang sibuk nggulai kopi ikut menimpali.

“Walaaah, kok repot-repot. Kasihkan Kadir saja sudah beres.” katanya sedikit berseloroh. Arafat tertarik dan bertanya.

“Maksudnya beres bagaimana.Mak Waroh?” tanya Arafat serius.

“Kadir itu kan punya ajian logam kuning emas, Pak Arafat.” kata Mas Waroh.

“Nah itu, Cak. Barangkali jodoh menggunakan ajian itu.” timpal nelayan.

“Logam kuning emas itu kasiatnya apa?” tanya Arafat setengah berbisik.

“Untuk pesugihan atau penglaris. Supaya kamu nanti rejekimu lancar mencari ikan di laut.” jawabnya berbisik ke telinga Arafat. Arafat menggangguk pelan.

“Coba saja, mungkin cocok, jodoh buat Mas Afat,” katanya menyeringai.

“Apa sampeyan juga sudah melakukannya?” tanya Arafat.

“Ya, sudah.”

“Terus, hasilnya bagaimana?” Arafat makin tertarik.

“Ya, lumayan. Eh, nanti ya kalau ketemu Mas Kadir saya sampaikan.” Katanya, menepuk pundak Arafat.

“Baik, Mas. Terima kasih.”

Keesokan harinya, tanpa sepengetahuan Jamilah, Arafat mengadakan pertemuan dengan Kadir di tempat  perahu ikannya selepas jam dua belas dini hari, Sabtu Kliwon. Angin laut dingin kencang menusuk pori-pori. Di langit, rembulan pucat digoresi tipis mendung. Untungnya Arafat sudah menyelimuti tubuhnya dengan jaket parasit. Mereka berdua sudah di atas perahu.

“Jadi, nanti kita akan melakukan ritualnya, dimana Mas Kadir?” tanya Arafat.

“Di dalam. Nanti logam kuning emas ini kamu tanam di setiap pojok perahumu setelah aku masuki mantera di logamnya.” kata Kadir.

“Yakin nanti bisa laris mencari ikannya, ya Mas?”

“Nggak usah khawatir. Aku jamin.” kata Kadir meyakinkan. Lalu Kadir memerintahkan Arafat untuk membuka baju dan celananya sebelum melakukan ritual.

“Wah pakai buka baju ya? tapi nggak telanjang, kan?” katanya tersenyum.

Lihat selengkapnya