BAB V
Seperti yang dikatakan Ibunya sendiri, kemampuannya melihat hal gaib sebatas yang ia mampu, hanya mengira-ngira dan tidak sebesar kemampuan mistik dan supranatural yang dimiliki oleh Kadir hingga mempunyai ajian Pet Sekrepet! Namun sebenarnya supranatural itu bisa saja dimiliki semua orang bila sudah ada hubungan dengan peran kehidupan. Jadi sekali lagi setiap orang bisa melakukannya asalkan orang tersebut intens melakukan komunikasi dengan Sang Pencipta
Sementara Arafat-Jamilah merasa keletihan, menahan ngantuk beratnya setelah cancut taliwanda berperang melawan mistik, serangan gaib yang menyerang rumahnya dan anaknya sehingga membuat Jamilah beramsumsi siapa lagi kalau tidak Kadir yang melakukannya. Karena jauh sebelumnya orang itu pernah mengancamnya langsung di depan matanya. Dalam hati Jamilah ingin saja menyampaikan kepada Ibunya, bahwa yang melakukannya adalah si Kadir, lelaki pendek gempal yang tidak lain adalah anak buah perahu ikan suaminya sendiri. Namun hal itu urung disampaikannya kepada Ibunya, ditahannya rapat-rapat karena ingin melindungi nama baik suaminya di depan Ibu mertuanya. Antara geram, kesal beraduk menyatu dibungkus rasa cinta dan kesabaran. Sebab cinta sejati jika tidak dibarengi keyakinan dan kesabaran, bagaimanapun kelak cinta itu akan sirna.
“Jam! Aku tidur di kamar Kahfi, ya?” pinta Arafat.
“Iya, Mas.” jawab Jamilah dari kamarnya yang sedang bercengekerama dengan Ibunya. Sebelumnya Bu Hindun ijin masuk kamar Jamilah hendak melakukan tabayyun terkait kejadian yang baru berlangsung. Kenapa ada serangan ilmu hitam di rumahnya sampai menyerang anaknya? Apakah ia atau menantunya yang mempunyai salah terhadap tetangganya atau orang lain? Pikirannya berkecamuk menendang-nendang!
“Sepertinya ada sesuatu yang kamu sembunyikan tentang suamimu.” bisik Bu Hindun dari kamar sebelah. Arafat yang mendengarnya samar-samar tertarik ingin mendengarkan. Ia berdiri berjalan menempelkan telinganya di dinding, menguping pembicaraan Jamilah dan Ibunya. Jamilah menghela napas panjang.
“Begitulah, Ibu.” desahnya.
“Katakan, apa sesungguhnya yang telah terjadi pada keluargamu, Jam. Sampaikan sejelasnyanya mumpung Ibu ada di sini dan mungkin bisa membantumu.” desak ibunya.
Kembali Jamilah menarik napas. Sebuah napas berat yang diganduli masalah mistikisme terpampang lebar, nyata.
“Mas Arafat itu ternyata percaya sekali dengan benda-benda yang menurutnya mendatangkan berkah.” bisiknya amat perlahan. Arafat yang mendengar makin medekatkan kupingnya di dinding kamar.
“Benda apa itu, Jam?” tanya Bu Hindun ingin tahu.
“Nggak tahu, Bu. Saya sendiri belum pernah melihatnya. Katanya seperti logam berlapis emas, apa gitu.” beritahunya.
“Dari mana suamimu mendapatkan benda itu?”
“Dari temannya,”
“Apa dia….. dukun?” tanya Ibunya penasaran.
“Bisa juga dikatakan seperti itu. Masih anak buah perahu Mas Arafat semdiri, Bu.”
“Masya Allah, astaghfirllah. Itu syirik, dosa besar, Jam.” Bu Hindun berdiri.
“Ibu mau ke mana?” tanya Jamilah.
“Saya mau ingatkan langsung sama Arafat, suamimu!” Jamilah menahannya, ia perlahan memegang pundak Ibunya dan membimbingnya duduk kembali. Sementara Arafat yang mendengarnya seketika itu menuju tempat tidur anaknya kembali, merebahkan badannya pura-pura tidur memejamkan matanya hingga akhirnya benar-benar tertidur.
“Biar saya nanti yang menyampaikan sendiri ke Mas Arafat,”
“Benar ya, sampaikan sungguh-sungguh. Bahwa benda-benda klenik atau percaya pada barang antik itu bisa merusak aqidah dan kepercayaan iman kita. Allah sangat tersinggung dan marah sekali jika ada hambanya mempersekutukan, membandingkan, menyamakannya dengan benda apapun. Allah itu maha besar di atas segala-galanya.” ceramah Hindun panjang.
“iya, Bu, Terima kasih atas nasehatnya.”
“Jam! Kamu harus menyingkirkan benda keramat itu dari suamimu jika rejekimu ingin halal dan berkah.” Nasehatnya.
Bu Hindun masih gelisah, ia bertanya kembali ke Jamilah. “Sekarang benda itu ada di mana?” tanyanya.
“Katanya ada di sekitar perahunya.” Bu Hindun mengangguk paham.
“Kenapa, Bu?” tanya Jamilah bimbang.
“Kalau ada benda di taruh di tempat kerjanya, bisa jadi benda itu dibuat untuk penglaris, Jam.” terang Bu Hindun.
“Iya, Bu benar. Kata Mas Arafat semacam ajian untuk pesugihan.” Jamilah menandaskan
Agak lama kemudian terdengar suara dengkur Arafat. Ia memang selalu mengorok kalau setiap tidur sehingga membuat Jamilah yang sehari-hari tidur bersamanya terasa terganggu. Dengkur ngorok tidurnya Arafat itu menandakan rasa lelah Arafat setelah melakukan berjibaku mengusir jin bersama istrinya dan Ibunya. Ia pun belum tahu secara pasti, apakah sihir yang telah berlalu itu adalah ulah kiriman dari Kadir? Dalam hatinya ia menduga, saat anaknya seolah melihat orang besar nongkrong di atap rumah yang katanya kenal dirinya itu adalah Eyang Semar. Sungguh Arafat kini seperti menggenggam bara api di tangannya. Ia serba kesulitan karena api pemberian Kadir itu sudah terlanjur membara menjadi prahara di dalam rumah tangganya.
Sementara ngorok Arafat makin terdengar hebat, soal ngorok inilah banyak orang sering menyepelekan kondisi ini,bahwa ngorok itu berdampak mengganggu keluarganya hingga menjadi sulit tidur saat bersebelahan dengan Jamilah. Dan meski saat ini suara ngoroknya dari sebelah tapi suaranya kencang dan deras sangat mengganggu tidur Jamilah. Ngoroknya seperti suara gergaji yang sedang memotong kayu besi. Ia menutupi telinganya dengan bantal agar tidak bising dan tidur nyaman. Sedang Ibunya berbaring di sebelahnya melihatnya tersenyum melihat tingkah anaknya. Namun dibalik senyum kecut Ibunya masih ada tersimpan kekhawatiran mendalam soal keselamatan anaknya dari gangguan jin dan guna-guna.
Ya, bagaimanapun Bu Hindun sudah mulai kepikiran terhadap keluarganya apabila nanti ia kembali pulang ke Surabaya meninggalkan anaknya, cucunya dan juga Arafat menantunya walau ia sendiri terasa mengkal, sedih lihat ulahnya seperti yang disampaikan cerita Jamilah sebelum tidur. Terkait teror santet ini Jamilah sendiri sudah pasrah apabila ditinggal ibunya kembali ke Surabaya. Ia pasrah apabila ada kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi pada dirinya dan keluarganya, yaitu datangnya sihir yang dilakukan oleh Kadir. Ia sudah tawakal, melakukan persiapan seperti para dalam pasukan perang berikut senjatanya untuk mengusir jin kiriman Kadir dengan cara seperti yang telah diajarkan oleh Ibunya. Dan satu lagi ibunya juga berpesan tadi, ibunya mengatakan:
“Jangan lupa setiap hendak mau tidur selalu mensucikan diri terlebih dahulu dengan berwudhu dan menyiapkan benda yang paling tidak disukai Jin, menaruh Al Quran dan penebah di sebelah pembaringannya.” kata Ibunya. Menurut Ibunya, Al Quran itu tidak hanya ditaruh saja, tapi dibaca untuk mengantarkan tidurnya, terutama membaca Surat Al Baqarah ayat terakhir yang memiliki arti tentang kedasyatan seseorang dalam mengantisipasi, mengusir Jin atau Setan apabila mengganggu di dalam rumah.
“Jadi kamu sudah benar-benar yakin dan siap ya, jika Ibu nanti kembali ke Surabaya?” tanya Bu Hindun.
“In Syaa Allah, bu.” Jawab Jamilah pelan.
“Buguslah kalau begitu. Serahkan seluruh jiwa dan perasaanmu yang was-was itu hanya kepada Allah dan bukan pada yang lainnya.” kata Ibunya tegas, suara napasnya agak berat.
“Iya Bu, Ibu tidak usah resah, tidak usah khawatir. Bismillah dengan doa yang Ibu ajarkan tadi semoga Allah akan melindungi kami, Kahfi dan Ayahnya,” katanya.
“Ya, semoga Allah selalu melindungimu, menjagamu di saat kamu lengah apalagi tidur,” harap ibunya.
Mereka berdua akhirnya tidur terlelap. Seisi rumah terlelap, meski suara irisan gergaji dari ngorok Arafat masih beraktifitas hingga membuat Kahfi anaknya terganggu, terbangun oleh suara dengkur ngorok Ayahnya. Melihat mulut Arafat terbuka menganga itu lalu ditutupnya dengan bantal. Sungguh kehangatan buaian tidurnya masih panjang bersambung-sambung meski sudah terdengar kokok ayam, semua penghuni rumah belum ada yang bangun hingga menjelang adzan Subuh. Suara tarhim sudah berlalu hilang digantikan oleh suara puji-pujian sambil menunggu dimulainya sholat Subuh berjamaah. Ya, mungkin karena kecapekan hingga jam tidurnya berlalu panjang hingga melewati adzan Subuh. Kahfi bangun masuk ke kamar Ibunya dan membangunkannya. Ibunya yang dibangunkan kaget geragaban.
“Okh, Kahfi. Kamu sudah bangun, Nak?” tanya Ibunya.
“Sudah. Ngoroknya Ayah keras sekali seperti suara Kereta Api. Muka Ayah Kahfi tutupi pakai bantal” kata Kahfi polos. Jamilah tersenyum lalu masuk ke kamar sebelah membangunkan suaminya. Arafat bangun geragapan.
“Kahfi mana, Kahfi?” tanyanya cemas setelah melihat disampingnya anaknya nggak ada.
“Ada disebalah. Dia habis membangunkanku,” Ia lalu memanggil anaknya, setelah Kahfi datang didekapnya hangat.
“Suaranya Ayah keras sekali.” kata Kahfi kembali. Arafat tersenyum sambil menciumi anaknya. Ia mengerti bahwa yang dimaksud anaknya adalah suara ngoroknya yang mengganggu tidurnya. Jamilah lalu mengajak Arafat sholat subuh berjamaah. Arafat mengiyakannya meski matanya masih terasa sepet, mengantuk berat. Dilihatnya Ibunya sudah sholat duluan di ruang tengah. Setelah melakukan sholat Subuh berjamaah, Bu Hindun membisiki kuping Jamilah setelah Arafat pergi meninggalkannya lebih dulu.
“Jangan lupa, nanti segera cari dan temukan ajian penglaris punya Arafat di Perahu.”