BAB VII
Titah Eyang Sabrang untuk melakukan hubungan seks bebas dengan perempuan manapun setiap hari, rupaya menjadi bumbu sedap dan vitamin buat Kadir untuk tetap melakukan praktek ilmu hitam, sebab dengan melakukan itu maka ajian Pet Sekrepet yang dimilikinya semakin ampuh dan sakti. Sugesti dan kepercayaan itulah mendorong siap Kadir semakin menjadi untuk berselingkuh, meluapkan napsu libidonya dengan Sutinah. Apalagi hukum di Pandar belum terbentuk jelas sehingga sikap Kadir makin melanglang seenaknya sendiri. Faktor lainnya karena tidak ada seorang pun yang belum berani menegur tindakan asusilanya dan KDRT-yang kerap dilakukan terhadap istrinya. Keamanan Pandar Sukarjo sendiri meski keras dan tegas menjadi lumpuh di hadapan Kadir. Kenapa? Karena Kadir menjadikan Sutinah sebagai umpan untuk Sukarjo apabila mau menegur atau melarang Kadir apabila berbuat hal-hal yang berlawanan hukum. Kadir mengijinkan Sukarjo berbuat semaunya terhadap lekuk molek tubuh Sutinah, tapi dengan syarat ia dibebaskan apabila bersentuhan dengan perkara kriminal dan hukum. Sungguh ironi jika dipikir-pikir menggunakan akal sehat dan jiwa sehat, jika sedesa Pandar itu tidak ada yang berani melawan Kadir. Karena ditakut-takuti atau ketakukan lebih dahulu ancaman santetnya.
Sekali lagi dorongan Eyang Sabrang kepada Kadir untuk melakukan hubungan seks bebas sebagai syarat mengentalkan ilmunya membuat dirinya ketagihan.Hanya saja keduanya terhambat oleh tempat dan keadaan. Kadir pernah mengajak Sutinah bemalam di Hotel kecil-kecilan tapi Sutinah menolak karena tempatnya di luar kota, 3 jam dari Pandar. Akhirnya Kadir pun mengalah, dilampiaskannya hasratnya di perahu mangrak tua yang pernah ditemukan ada laki-laki setengah baya meninggal mengenaskan, mulutnya mengeluarkan darah, paku dan tanah kuburan. Sejak kejadian itu Sutinah sudah nggak mau lagi apabila diajak main sama Kadir di perahu tua, takut.
Pada suatu siang bolong ketika matahari sedang panas-panasnya, di saat hasrat cintanya meluap-luap, memuncak Kadir nekat membawa Sutinah pulang ke rumah istrinya. Kenekatannya itu tentu saja membuat istrinya tersinggung, marah.
“Sampeyan itu pulang bawa gendaan! Apa nggak malu sama tetangga samping kanan kiri!” bentak istrinya. Kadir pun cuek meski dibentak-bentak oleh istrinya juga anaknya yang ikut-ikutan. Sementara Sutinah yang berada di Kamar praktek ilmu hitam Kadir serius mendengarkannya.
“Ya, sudah. Jangan dihiraukan omongan tetangga!” bentak Kadir.
“Kok nggak dihiraukan bagaimana. Saya yang malu sama tetangga, Maaas!” teriak istrinya. Plak! Plak! Tiba-tiba tangan mentahnya menempeleng kepala istinya sangat kuat beberapa kali hingga mengerang kesakitan, menangis sejadinya.
“Asu, kamu. Kamu lebih belain gendaanmu dari pada aku, istrimu yang sah!” teriak keras istrinya. Kadir bukannya malah menenangkan raungan tangis istrinya tapi malah menendangnya jatuh. Pingganya terasa sakit, punggungnya membentur ke dinding tembok rumah.
“Aduh, ya Allah, sakit kulo. Kulo mboten kuat, Ya Allah kale garwo kulo niki. Empun terserah penjenengan, kulo nopo suami kulo ingkang pejah rumiyin.” (Ya Allah, sakit. Saya tidak kuat Ya Allah dengan suami saya ini. Sudahlah tersererah kamu, saya apa suami saya nanti yang mau mati duluan), rintih istrinya sambil mengerang memegang pinggangnya yang terasa memar. Wanita bertubuh mungil pendek itu menangis sesunggukan. Kepalanya diapit sama kedua ujung dengkulnya.
“Tutup mulutmu!” bentaknya lebih keras dari suara istrinya.
“Mas, gini saja.” kata istrinya terbata-bata masih dengan suara isak tangisnya. “Kalau sampeyan lebih berat sama Sutinah ketimbang denganku, ceraikan saja, aku. Kamu sudah tidak sayang dan peduli dengan aku dan anakmu, tidak apa-apa. Ceraikan aku sekarang juga. Ceraikan Mas Kadir!” tangisnya meledak. Agak lama kemudian dengan wajah seperti diberangus arang api Kadir spontan masuk ke dalam menuju Kamar praktek perdukunannya yang di dalamnya ada Sutinah. Wanita itu memang sengaja disembunyikan secara terang-terangan oleh Kadir di kamar itu. Ia lalu menyeret Sutinah keluar dan mengajaknya entah kemana. Istrinya membuang muka, membelakangi Sutinah ketika berjalan di depannya. Ketika sudah berada di luar rumah, para tetangganya saling melihat dan memperhatikan langkah Kadir yang sedang menggelendeng Sutinah. Merasa diperhatikan tetangganya dengan pandangan sinis Kadir menghentikan langkahnya dan menoleh ke arah tetangganya.
“Heee, nyaopo Sampeyan melihat saya semua?!” bentaknya di depan tetangganya yang duduk-duduk di teras rumahnya masing-masing. Para tetangga semua pun pada blingsatan sambil menundukkan kepala dengan perasaan takut tapi juga jengkel.
“Bangsat semua! Tatapan kalian semuanya mengejekku!” teriaknya. Lalu kembali mengajak Sutinah melanjutkan berjalan. Beberapa tetangganya pada memonyongkan mulutnya saat Kadir dan Sutinah pergi. Di antara mereka ada yang mengumpat, mengolok, mengejek.
“Dasar laki-laki sudah nggak punya rasa mau sama sekali. Bawa gendaan kok di rumah.” gerutu tetanggannya.
“Lha, iya. Padahal sudah jelas ada istrinya di rumah, apa nggak malah sakit hati istrinya.” tambah gerutuan yang lain. Sebagian ibu-ibu yang kelihatan berkumpul bersepakat hendak ke rumah Kadir menemui istrinya yang sedang pilu hatinya. Mereka datang menemui dan akan menghibur istri Kadir.
“Bu, Bu Kadir. Bu Kadir!” seru ibu-ibu tetangganya saat masuk ke dalam rumah. Sejurus kemudian terdengar seperti suara benda logam beradu terpelantingan jatuh. Tatapan benda logam yang cukup keras itu membuat ibu-ibu tetangga pada makin penasaran. Mereka mencari sumber suara benda itu.
“Bu, Bu Kadir!” panggilnya kembali. Lalu mereka mendengar suara menangis. Suara tangisan itu datang dari arah kamar tempat praktek ilmu hitam Kadir. Di kamar yang penuh dupa, sesajen dan benda-benda ilmu hitam itu didapatinya Bu Kadir menangis memberisak sambil ditemani anak perempuan satu-satunya.
“Sabar ya, Bu Kadir, sabar.” kata mereka perlahan sambil menggosok-gosok punggungnya.
“Semua adalah ujian dari Allah, Bu.” kata mereka.
“Saya sudah tidak tahan lagi, Bu menderita seperti ini. Saya mau mati saja rasanya!” teriak istri Kadir. Tangisnya meledak disusul oleh tangis anaknya. Ibu-ibu tetangganya pun tak kuasa ikut pula terisak menangis, merangkulnya. Beberapa perangkat ilmu hitam di kamar berukuran tiga kali tiga nampak berantankan dan beberapa ada yang sudah pecah akibat luapan emosional istri Kadir. Semua ibu-ibu tetangganya hadir membesarkan semangat, menghibur hati istri Kadir yang remuk bagaikan serpihan beling-beling periuk yang rata terlindas roda kendaraan.
Remuknya hati istri Kadir itu sama remuknya dengan hati Jamilah terhadap 2 laki-laki yang ternyata telah bersekutu menyimpan rahasia. Arafat dan Kadir. Arafat dipandang istrnya sebagai laki-laki lemah tidak mempunyai prinsip terutama perihal aqidahnya byang belum kuat. Perjanjian penanaman pesugihan di perahunya itu membuat pikirannya bermacam-macam. Karena seperti yang ia dengar sendiri bahwa seseorang yang melakukan ritual pesugihan pasti ada perjanjian antara yang minta pesugihan dengan jin atau perantara melalui orang telah membukakan jalan kesuksesan. Ketakutannya Jamilah sungguh sangat mendasar apabila permintaan yang diinginkan oleh jin atau si perantara itu meminta dirinya, anaknya atau suaminya, Arafat sebagai tumbal, jiwa yang dikorbankan.
“Mas Afat, apa benar saat melakukan penanaman ritual penanaman logam kuning emas itu tidak ada perjanjian atau permintaan macam-macam dari Mas Kadir?” tanya Jamilah siang hari. Ia menyuguhkan alpokat di gelas jumbo kesukaan suaminya yang sudah dihalusi, dilumat halus oleh Jamilah Hari Kamis ini Arafat libur melaut bersama timnya karena ada bagian mesin perahunya rusak dan segera diperbaiki. Arafat akan meminta tolong Syakib untuk memanggil tukang service mesin perahu.
“Perjanjian apa, Jam? Nggak ada permintaan apa-apa?” jawab Arafat. Istrinya memandangnya lama.
“Benar ya Mas. Orang itu, Mas Kadir nggak minta syarat apa-apa saat penanaman ritual benda itu di Perahu kita?” tatapan Jamilah lebih tajam.
“Nggak, Jam.” elak suaminya sambil makan Alpukat tanpa air, terapi agar gula darah di dalam tubuhnyanya tidak tinggi.
“Mas nggak bohong sama saya?” desaknya.
“Nggak, tapi….” Arafat ragu.
“Tapi apa, Mas. Sampaikan sejujurnya meskipun terasa pahit sekali. Ini demi untuk keselamatan keluarga, kita semua!” Nadanya agak tinggi. Emosinya mulai tumbuh.
“Sebelumnya Mas Kadir menawarin pesugihan yang lebih besar, yang mendatangkan kekayaan lebih besar juga tapi saya tolak.” Arafat mulai membuka tirainya.
“Apa itu?” desak Jamilah.
“Tumbal.”
“Apa itu yang memakai syarat dengan mengorbankan anggota keluarga, kan?”
Arafat mengangguk lemah.
“Itulah yang aku khawatirkan, Mas. Jangan sampai hal itu terjadi pada keluarga kita. Seperti pesan ibu, ayuk kita segera buang logam kuning emas itu di perahumu!” bentaknya.
“Lho jangan sekarang, Jam.” Pinta Arafar sedikit menghiba.
“Kenapa tidak sekarang? Kamu nggak mau kalau logam itu dibuang. Takut nggak lancar kamu mencari ikan di laut? Mas, percayalah semua rejeki itu semua Allah yang mengaturmya. Kalau sampai pakai media, ritual supaya laris itu berarti Maf Afat belum yakin adanya Allah.” Serang Jamilah.
“Tapi perahunya kan lagi rusak, Jam. Biar diperbaiki sama Pak Syakib lebih dulu.”
“Ah, alasan! Nggak ada hubungannya. Ngomong saja kalau Mas Afat masih berat mau menyingkirkan benda syirik itu?” mata Jamilah sembab. Arafat hanya diam.
“Aku nanti akan minta tolong Mas Syakib dan Kafi untuk mencarinya.” Ancamnya.
“Lho?”
“Lah lho, lah lho, kenapa? Sampeyan justru ikut nanti membantu mencarinya dimana benda itu diletakkan.”
“Aku sudah lupa, Jam. Atau nanti tak tanya Mas Kadir dulu.”
“Mas Kadir, lagi! Sudah, nggak usah disebut-sebut nama orang itu. Orang itulah yang menjadi sumber kekacauan rumah tangga kita. Mas Arafat nggak terasa kan dengan perbuatan sihirnya Mas Kadir?”
“Terasa, apa Jam?” baliknya bertanya. Emosinya amarahnya mulai naik.
“Kalau Mas Arafat itu selalu terlalu nurut sama Mas Kadir!” bentaknya.
“Diam, sudah!” matanya merah. Hampir saja gelas di atas meja itu jatuh karena tersenggol lengannya. Ia lalu pergi masuk ke kamar meninggalkan istrinya. Jamilah membuntutinya. Arafat membentangkan badannya kekarnya di atas ranjang kasur, matanya menerawang ke atas.
“Aku mau menjemput Kahfi di Sekolahnya!” teriaknya memberitahu. Arafat diam tak menjawab.
“Sekalian mau bilangi Syakib dan Kafi untuk membuang logam brengsek itu!”
“Karepmu!” teraiknya tak berekspresif. Jamilah pergi mau menjemput Kahfi dengan berjalan kaki menuju Sekolah anaknya. Tak disangka dari seberang jalan ia melihat Kafi dengan motor buntutnya, diteriakinya:
“Kafi! Kafi!”
Kafi yang mendengarnya tola-tole mencari sumber suara, Jamilah menepukkan kedua tangannya, melambaikan tangannya kea rah Kafi. Kafi akhirnya menemukan suara orang yang memanggilnya. Ia menyeberang jalan hati-hati menghampiri.
“Kafi, tolong sampaikan sama Pak Syakib ya, nanti malam setelah Isya’an kita mau cari logam emas yang ditanam di perahu sama Mas Kadir dan Mas Arafat,” beritahunya setengah berbisik.
“Baik, Mbak. Kapan hari sudah disampaikan sama Pak Syakib.” Kafi memberitahu.
“Syukurlah,”
“Malah Pak Abdullah Kepala Keamanan sini mau siap membantunya, Mbak.”
“Alhamdulillah. Ya sudah saya mau jemput Kafi dulu di Sekolahnya.” pamit Jamilah.