Matahari Kelabu

Mohammad Sholihin
Chapter #9

BAB VIII

BAB VIII


Di suatu Subuh setelah melakukan sholat berjamaah, hati Jamilah merasa tenang setelah melihat kondisi Arafat semakin membaik. Sholat Arafat pun kini menjadi khusuk, dapat menenangkan jiwanya. Dan Kekhawatiran Jamilah akan kehilangan suaminya sirna. Arafat pun kini bisa mengevaluasi dirinya. Bahwa apa yang diperbuat Kadir selama ini memang betul-betul dilakukan secara keji dan gaib.

“Dari dulu Mas Arafat kalau dibilangi selalu menduganya fitnah, fitnah. Nah sekarang sudah tahu sendiri kan, siapa pelaku santet sebenarnya di desa sini.” paparnya.

“Iya, ya. Kok berani sekali ya ada orang bertindak keji melalui santet dan memberanikan diri dikoar-koarkan di depan orang banyak. Apa Kadir itu nggak takut kalau ada yang melaporkan polisi dan dipenjara karena tindakannya itu dianggap kriminal.” gumam Arafat.

“Orang itu belum kena apesnya, Mas. Belum kena batunya. Coba saja lihat nanti Allah pasti akan membalasnya entah dengan cara apa dan kapan kejadiannya, Wallahu A'lam Bishawab. Hanya Allah yang lebih mengetahui kebenaran sesungguhnya. Yaa, termasuk nasib kita dan Kahfi anak kita, Mas.” Jamilah memegang lembut tangan suaminya, Arafat pun melakukannya sama sambil mencium lembut kening istrinya.

Di luar matahari pagi menyembul lembut, Terdengar dari jauh terdengar suara butut motor Kafi meraung-raung menuju rumahnya. Di belakangnya Syakib duduk di boncengannya.

“Ini pagi-pagi sudah ke sini?” tanya Arafat.

“Iya, bukannya hari ini masih libur melautnya, Mas.” timpal jamilah.

“Okh masih libur, ya?” tanya Kafi.

“Iya. Kan Pak Arafat juga baru enakan badannya.” timpal Jamilah.

“Ya sudah, Mbak. Saya tak ngosek lantai bekas tumpahan ikan saja ya.” tawar Kafi.

“Saya mau nyortir ikan saja,” sahur Syakib.

“Tapi kalian sarapan dulu ya?” tawar Jamilah.

“Gampang, Mbak. Kerja dulu baru makan. Hehehehh,” seloroh Kafi.

“Anak ini saleh dan pintar,” puji Syakib.

“Pak Arafat, maaf mau tanya.” kata Kafi.

“Tanya apa?”

“Yang rencana mau cari logam kuning emas, jadikah?”

“Akh, biarlah, Fi. Nanti juga bisa hilang-hilang sendiri.” timpal Jamilah.

“Yakin, Mbak?”

“Kita serahkan semuanya pada Allah. Kita tawakkal, Mas.” hibur Jamilah.

“Terus kabar Pak Kadir sekarang di mana?”

“Entahlah Fi. Dia malu sekarang setelah jimat dan ajiannya lumpuh diserang balik sama Pak Syakib dan Ustadz Abdullah.”

“Kasihan, sekarang teman saya kerjanya luntang-lantung nggak ada yang menghiraukan.” Tambah Syakib.

“Eemm, kapok kamu.” Kafi geregetan. Semua tertawa melihat ekspresinya.

“Terus, si Sutinahnya ke mana?” tanya Jamilah.

“Nggak tahu Mbak, ia tiba-tiba hilang tanpa jejak.” Syakib menjelaskan

“Saya jadi ingat dulu mau menyeburkan saya di laut.”

“Okh ya, Fi?" tanya Jamilah.

“Gara-garanya itu nggak tak bolehin minum pakai gelasku karena mulutnya berbau arak.” katanya.

“Okh, ya ya. Saya tahu itu.” timpal Arafat.

“Wah, ini ceritanya jadi nguliti sisik-sisiknya Mas Kadir, ya.” sentil Syakib. Semuanya tertawa.

“Fi, mulai sekarang kamu harus lebih hati-hati jika ketemu Pak Kadir. Takutnya kamu kena dampaknya akibat peristiwa dari kami.” beritahu Jamilah.

“Iya, karena kamu dekat dengan Pak Arafat dan keluarga kami maka takutnya kamu jadi sasaran empuknya,” nasehat Arafat.

“Tapi saya kan nggak salah apa-apa dengannya, Mbak.” kata Kafi polos.

“Justru itu Mbak memberitahumu untuk jaga diri baik-baik agar tidak kena dampaknya karena kami,” kata Jamilah memperjelas. Arafat lalu memperingatkan Kafi saat dirinya diciderai Kadir di Perahu Ikan miliknya. Masalahnya hanya sepele saja, Kadir mau meminjam gelas milik Kafi untuk menuangkan minuman toak dari legen yang sudah diendapkan lama. Karena Kafi nggak mau ia tersinggung dan menampar Kafi.

Jamilah terpaku mendengar ceritanya: “Kok Mas Arafat nggak pernah cerita masalah ini kepada saya?” tanyanya.

“Ya, saya pikir itu kejadian biasa saja, dan Kadir memang suka main tangan sama siapapun.” kata Arafat.

“Iya benar, Mbak. Pak Syakib juga pernah dilawannya diajak duel.” kata Kafi menambahkan.

“Gara-gara apa, Fi?” tanya Jamilah.

“Itu minta ikan yang akan dibawa ke TPI,” beber Kafi.

“Bukannya setiap awak Perahu sudah dikasih jatah sendiri-sendiri setelah bongkar ikan?” tanya Jamilah. Arafat memperhatikan cerita Kafi.

“Ya gara-gara nggak dikasih ikan yang mau dibawa ke TPI itu Pak Kadir-nya ngedumel dan mengolok Pak syakib dibilang ngatok, ke Pak Arafat.” beber Kafi kembali.

“Jadi, Pak Kadir itu orangnya temperamen, Jam.” Sela Arafat. Kafi lalu melanjutkan ceritanya perihal amarah Kadir yang tidak dipinjami gelasnya.

Lihat selengkapnya