SEKALIPUN masih gelita, namun udara pagi yang menembus celah-celah tenda di perkemahan Bulupitu sudah mulai terasa bagi tubuh. Berita tentang akan datangnya kembali matahari telah ramai diberitakan oleh serangga-serangga yang berada di luar perkemahan itu. Hingga jauh sebelum langit timur menyemburatkan warna jingga kemerah-merahan, para prajurit Hastinapura telah bangun dari tidur. Demikian pula dengan para senapati yang akan kembali melanjutkan perang Bharatayuda di padang Kurusetra. Mereka tidak hanya Prabu Doryudana, Prabu Salya, Patih Sengkuni, Adipati Karna, Resi Krepa, Boma Wikata, Wikata Boma, Burisrawa; namun pula Resi Dorna yang semalam telah dinobatkan sebagai senapati agung.
Di hamparan tanah lapang yang dikitari tenda-tenda di perkemahan Bulupitu, pasukan Hastinapura mulai mengatur barisan. Prajurit-prajurit pembawa panji-panji dan bendera-bendera yang mengenakan pakaian serba kuning seperti tanaman padi menjelang musim panen itu berbaris di sisi kanan paling tepi. Prajurit-prajurit bersenjata pedang dan tameng yang berseragam merah serupa lautan api itu berparis pada urutan ke dua dari sayap kanan. Prajurit-prajurit bersenjata tombak yang mengenakan seragam hijau lumut seperti bentangan samudera itu berbaris di urutan ke tiga dari sayap kanan. Prajurit-prajurit bersenjatakan panah yang mengenakan pakaian serba putih serupa barisan kuntul itu berbaris di urutan ke tiga dari sayap kiri. Prajurit-prajurit bersenjatakan senapan dan meriam yang berseragam warna hitam seperti bentangan awan itu berbaris di urutan ke dua dari sayap kiri. Sementara senapati-senapati pengamping yang mengendarai kuda atau gajah itu berbaris di sayap kiri.
Selagi pasukan Hastinapura telah siaga melaksanakan perintah dari sang senapati agung, Resi Dorna yang mengendarai kereta dengan ditarik empat kuda itu tampil di depan barisan. Kepada seluruh pasukan, Resi Dorna memberikan intruksi. “Tiada gelar perang yang dapat melumpuhkan pasukan Pandawa, selain gelar Cakrabyuha. Hanya dengan mengepung dari seluruh sisi, kita akan memenangkan peperangan. Selanjutnya kepada Ananda Adipati Karna, aku percayakan untuk memimpin pasukan dari sayap kanan. Kepada Ananda Bomawikata dan Ananda Wikataboma, aku percayakan untuk memimpin pasukan dari sayap kiri.”
“Perintah dari senapati agung, kami laksanakan.”
“Semoga tugas yang Ananda bertiga laksanakan mencapai hasilnya.” Resi Dorna sejenak terdiam. Menyapukan pandangannya ke seluruh pasukan. “Tanpa harus menunggu matahari terbit dari balik bukit, kita berangkat ke padang Kurusetra sesudah bende Kyai Tengarayuda ditabuh tiga kali.”
Tak lama kemudian, terdengarlah suara: “pung..., pung…, pung….” Bende Kyai Tengarayuda telah ditabuh tiga kali oleh salah seorang prajurit. Dengan semagat juang yang menggelora di dada, seluruh pasukan Hastinapura di bawah komando Resi Dorna meninggalkan perkemahan Bulupitu. Sepanjang jalan menuju Kurusetra, pasukan Hastinapura yang menggelora seperti ombak di lautan pasang itu membangunkan orang-orang yang masih tertidur lelap.
Sesampai di pertigaan jalan di tepi padang Kurusetra, pasukan Hastinapura memecah menjadi tiga pasukan. Pasukan di bawah komando Adipati Karna bergerak ke arah kanan. Pasukan di bawah kepemimpinan Bomawikata dan Wikataboma bergerak ke arah kiri. Sementara pasukan yang dipimpin Resi Dorna sendiri bergerak lurus menuju padang Kurusetra. Dalam sekejap, pertempuan sengit antara pasukan Korawa dan pasukan Pandawa di bawah komando Trustajumena tak dapat dihindari lagi. Pedang berbenturan dengan pedang. Tombak berbenturan dengan tombak. Panah-panah yang terlepas dari gendewa bersiutan. Peluru-peluru melesat dari moncong senapan. Merian-meriam meledak. Hanya dalam hitungan detik, ribuan prajurit dari kedua pasukan telah berkaparan menjadi tumbal perang.
Menyaksikan tewasnya ribuan prajurit rucah dari pasukan Pandawa dan gugurnya Prabu Drupada, wajah Resi Dorna yang berdiri tegap di atas kereta tampak berbinar. Namun hatinya belum merasa lega, kalau belum menaklukkan pasukan Pandawa. Hari itu, Resi Dorna bersumpah: “Lebih baik mati, bila gelar perang Cakrabyuha tak mampu menggulung bendera Pandawa!”
***
Matahari garang yang bertakhta di atas ubun kepala itu serupa Resi Dorna yang tampak pongah di atas kereta, sesudah hampir menguasai pasukan Pandawa. Sesudah gelar perang Cakrabyuha yang diterapkan Resi Dorna itu telah membinasakan beribu-ribu prajurit rucah musuh. Pemandangan di Kurusetra yang sangat mengenaskan itu membuat Prabu Kresna berpikir keras untuk dapat menghancurkan gelar perang Cakrabyuha.
Selagi berpikir di tepi padang Kurusetra, Prabu Kresna yang didampingi Gareng, Petruk, dan Bagong itu dihadap Bima dan Setyaki yang sudah tak sanggup lagi menghadapi senapati pengapit kiwa dari Hastinapura – Boma Wikata dan Wikata Boma. Saudara kembar yang dinobatkan Resi Dorna sebagai senapati karena memiliki kesaktian pilih tanding.
“Kanda Kresna, aku mohon petunjuk,” pinta Bima sesudah menggeram sekeras guntur. “Bagaimana cara membinasakan Bowa Wikata dan Wikata Boma? Keduanya sakti mandraguna. Bila Boma Wikata aku bunuh, maka akan hidup kembali sesudah Wikata Boma melompati mayat saudara kembarnya itu.”
“Aku juga tak sanggup menghadapi Wikata Boma dan Boma Wikata, Kanda Prabu Kresna.” Setyaki nimbrung dalam pembicaraan. “Aku kira senapati kembar dari Hastinapura itu memiliki ilmu iblis.”
“Sudahlah, Bima dan Setyaki! Sekarang yang perlu kalian lakukan bukan mengalahkan Boma Wikata dan Wikata Boma. Karena kedua senapati pengapit itu dimaksudkan oleh Resi Dorna untuk memecah perhatian kalian atas gelar Cakrabyuha yang semakin lama semakin mendesak pasukan Pandawa.”
“Lantas…. Apa yang harus aku lakukan?” tanya Bima.
“Bunuh saja gajah Istitama tunggangan Wikata Boma!”
“Perintahmu sangat aneh. Tak masuk akal!”
“Jangan banyak kata! Lakukan saja perintahku, bila kau tak menginginkan bendera pasukan Pandawa digulung oleh Resi Dorna hari ini!”
“Baiklah!” Bima kembali menggeram. “Perintahmu akan aku laksanakan.”
Selepas Bima, Prabu Kresna memerintahkan Setyaki untuk menyingkirkan Aswatama dari medan perang. Tanpa berpikir jauh, Setyaki kembali memasuki Kurusetra. Sesudah menemukan Aswatama yang baru saja menghabisi lima prajurit rucah Pandawa, Setyaki menantangnya dari gigir kuda. Karena terbakar nafsu amarahnya, Aswatama meladeni krida kesatria dari Garbaruci itu. Teringat pesan yang disampaikan Prabu Kresna, Setyaki segera menggunakan gelar perang mundur. Aswatama pun memburu Setyaki hingga memasuki hutan Tikbrasara.