Matahari Lembah Cawan

Sri Wintala Achmad
Chapter #1

RANJABAN ABIMANYU #1

KURUSETRA yang semula seperti taman Eden tempat dimana Adam-Eva memadu kasih pada beribu-ribu tahun silam telah berubah serupa telaga berdarah. Bangkai-bangkai prajurit rucah yang hilang kepalanya, bocor perutnya, atau buntung kaki atau lengannya bercampur dengan bangkai kuda dan gajah. Berbaur dengan patahan tombak, busur, dan panah; rongsokan tameng, pedang, dan keris; serta selongsong-selongsong peluru.

Bharatayuda memasuki hari ke sebelas. Namun sudah sekian ribu prajurit rucah dan puluhan senapati perang dari kubu Korawa dan kubu Pandawa menjadi tumbal proyek politis Bathara Guru. Proyek yang disepakati oleh Lembaga Kadewatan, agar Bathara Guru tetap dikokohkan sebagai penggagas Kitab Jitabsara dan penentu Bharatayuda. Perang dimana keangkaramurkaan manusia bakal dilibas habis oleh kebajikan. Perang yang merupakan ambang binasanya kebajikan di muka bumi, manakala keangkaramurkaan punah bersama pemuja-pemujanya.

Ibarat dua warna hitam dan putih di dalam lingkaran zin-yang. Kebajikan dan keangkaramurkaan berhelat seiring denyut jantung dan hembusan napas. Perhelatan dalam warna kelabu yang tak ada kalah tak ada jawaranya. Hingga manusia tak dapat membedakan mana yang baik mana yang jahat, ketika kehidupan berputar menuju titik akhir. Sebagaimana titik awal yang tak seorang pun tahu kapan waktunya. Demikian pula para dewa tak mengetahui rahasia Tuhan. Termasuk di dalamnya, Bathara Guru. Dewa yang tinggal di jagad madya. Jagad di antara surga dan dunia.

Manusia memang tempat ketaktahuan atas rahasia kapan mula dan berakhirnya kehidupan. Ibarat anak wayang, manusia yang semula tinggal di dalam kotak pra kehidupan sekonyong-konyong tahu kalau keberadaannya telah ditampilkan oleh seorang dalang di kelir. Manusia tak pernah tahu kapan blencong dinyalakan. Kapan kayon bakal ditancapkan di tengah kelir oleh sang dalang sebagai lambang keparipurnaan cerita seusai tayungan.

Ketaktahuan tentang titik awal dan akhir kehidupan yang dirahasiakan Tuhan itu membuat Bathara Guru tak sungkan-sungkan bertanya pada Narada. Sebagai dewa yang lebih tua usianya, Narada pun hanya memberikan jawaban yang membuat Guru kecewa. “Wrekencong, wrekencong waru dhoyong. Kinclong-kinclong, sindhen ayu moblong-moblong. Kali Srayu kali Code, bocah ayu sapa sing duwe. He…, he…, he…. Mohon seribu ampun, Adi Guru. Bukankah yang mengetahui tentang kapan dimulainya dan kapan diakhirinya kehidupan ini hanyalah Gusti Kang Hamurbeng Dumadi? Dialah Sang Maha Dalang yang tengah menggerakan seluruh wayang pilihan di dalam lakon Bharatayuda ini.”

Sementara dari tepi padang Kurusetra, Bisma yang rebah tertopang ribuan panah yang menembus sekujur tubuhnya itu hanya tersenyum. Manakala kedua matanya menyaksikan Bathara Guru yang tampak kecewa di ara-ara mega atas jawaban Narada. Senyum Bisma semakin lepas, manakala Guru yang tak puas dengan jawaban Narada itu disarankan para dewa untuk bertanya pada dirinya. Seorang pertapa yang pengetahuannya melampaui para dewa.

“Tak mungkin aku bertanya pada Bisma.” Bathara Guru yang ilmu pengetahuannya masih dangkal itu kemudian menunjukkan kekuasaan, kegengsian, dan kejaimannya. “Aku ini seorang dewa. Masak bertanya pada Bisma yang hanya titah sawantah. Bagaimana kata dunia nanti?”

“Ampun, Adi Guru.” Dewa kerdil Narada kembali berceloteh. “Kalau malu bertanya pada Bisma, sebaiknya Adi Guru bertanya pada Kakang Semar. Sekalipun secara lahir sebagai manusia biasa, namun batin Kakang Semar adalah dewa.”

Mendengar nama Semar disebut-sebut Narada, Bathara Guru yang beberapa puluh tahun silam pernah menjadi saingan politisnya dalam memperebutkan takhta kekuasaan Suralaya itu hanya menundukkan wajahnya ke bumi. Menyaksikan perang antara pasukan Korawa dan pasukan Pandawa yang kembali berkecamuk di Kurusetra. Di bawah komando Resi Dorna, pasukan Korawa tampak lebih unggul dari pasukan Pandawa. Bidikan panah Dorna mampu mematahkan busur Yudistira.

Yudistira geragapan dengan wajah pucat, manakala menyaksikan busurnya patah. Mengetahui busur Yudistira patah, pasukan Korawa yang mendapatkan dukungan seribu negara serempak bersorak galak. Sementara pasukan Pandawa yang mendapatkan dukungan Wirata, Dwarawati, Cempalareja, Pringgodani, Tanjunganom, dan beberapa negeri kecil lainnya hanya terdiam sembari menyembunyikan wajah yang menyiratkan rasa malu. Demikian pula Arjuna yang tanpa diketahui Yudistira kemudian membidikkan sebatang panah dengan busurnya. Sekali melesat, panah itu berubah menjadi ribuan panah. Sontak Kurusetra bagai hujan panah. Manakala ribuan panah Arjuna mendapatkan sambutan ribuan panah dari pasukan Korawa.

Dalam hati Bathara Guru tak senang kalau Arjuna kembali jaya di medan laga, seusai kemarin siang melumpuhkan Bisma dengan bertudung Srikandi. Kejayaan Arjuna hanya mengundang seluruh bidadari Suralaya untuk memberikan pujian dan salam ‘muah’ dari setangkup bibir sensual, sembari menaburkan bunga-bunga kemenangan dari langit. Bidadari-bidadari itu tak hanya Warsiki, Irimirin, Tunjungbiru, Wilutama, Gagarmayang, Lenglengmulat, dan Supraba; namun pula Uma permaisurinya. Itulah yang membuat Guru amat cemburu pada Arjuna!

“He…, he…, he…. Wrekencong, wrekencong, waru dhoyong. Bocah cilik jaluk gendhong? Lira-lire, Kali Code buthek banyune.” Narada yang mengetahui kalau wajah Bathara Guru menunjukkan ketaksukaannya pada Arjuna sontak unjuk bicara. “Adi Guru! Tampaknya Adi Guru tak suka dengan Arjuna? Aku tahu. Kalau Adi Guru cemburu dengan Arjuna. Bukankah begitu?”

Bathara Guru menggeleng. Namun dadanya terasa terbakar saat teringat Arjuna. Putera Pandu berparas Kamajaya yang telah menyelingkuhi Uma. Permaisurinya yang semula berwujud raksasa hingga berubah menjadi bidadari, seusai diruwat Sadewa pada tujuh hari sebelum Bharatayuda.

“Jangan mengelak, Adhi Guru! Akui saja, bila Adhi cemburu pada Arjuna! Sesungguhnya Adhi menghendaki Arjuna gugur dalam Bharatayuda. Namun kehendak Adhi yang dituliskan dalam Kitab Jitabsara itu ditolak oleh Eyang Pada Wenang. Eyang menghendaki Arjuna selalu jaya dalam Bharatayuda.”

“Sudahlah, Kakang! Bukan waktunya kita membahas panjang-lebar tentang Arjuna.” Bathara Guru mengalihkan topik pembicaraan. “Hari ini siapa senapati yang akan tewas atau jaya dalam Bharatayuda, Kakang?”

“He…, he…, he…. Kenapa Adhi Guru melontarkan pertanyaan naïf padaku? Seharusnya Adhi sudah tahu. Bukankah yang mengarang Kitab Jitabsara adalah Adhi sendiri dengan mendapatkan koreksi dari Eyang Pada Wenang? Bukankah aku tak dilibatkan dalam proyek itu.”

“Sebagai pengarang Kitab Jitabsara, aku sendiri sudah lupa, Kakang. Tak mungkin kan, bila aku bertanya pada Kresna?”

“Kalau hanya ingin tahu siapa senapati yang akan mati atau jaya di Kurusetra hari ini, tanya saja pada Penyarikan. Bukankah Penyarikan yang menyimpan salinan Kitab Jitabsara?”

“Oh iya, Kakang. Aku ingat, kalau aku punya salinan Kitab Jitabsara.” Bathara Guru membuang pandangannya ke arah Penyarikan. Dewa berwajah mbranyak yang ditugaskan sebagai sekretaris pribadinya di Suralaya. “Penyarikan! Tolong ambilkan, salinan Kitab Jitabsara! Aku ingin membukanya kembali.”

Penyarikan bergegas beranjak dari tempat itu. Terbang menuju istana Suralaya. Memasuki ruangan arsip yang bersebelahan dengan ruang kerja Bathara Guru. Sesudah mendapatkan salinan Kitab Jitabsara, Penyarikan kembali menghadap Guru yang masih berbincang dengan Narada di ara-ara mega. “Ayahnda Manikmaya, salinan Jitabsara telah aku bawa.”

“Bagus. Buka Bab Sebelas! Siapa Senapati yang harus mati hari ini? Siapa Senapati yang harus jaya pada hari ini?”

Penyarikan membuka salinan Kitab Jitabsara Bab Sebelas dengan jari tengah tangan kanannya yang dibasahi dengan ludah. “Tak ada senapati dari kedua kubu yang mati atau jaya hari ini, Ayahnda Manikmaya. Hanya prajurit-prajurit rucah yang akan menjadi tumbal perang. Hanya prajurit-prajurit rucah yang akan menjadi stock pangan bagi sekawanan gagak liar dan segerombolan serigala lapar.”

“Hanya prajurit-prajurit rucah?” Wajah Bathara Guru tampak semuram langit berawan di musim hujan. Seusai mendesah, Bathara Guru melanjutkan perkataannya. “Kapan Abimanyu mati di medan laga, Penyarikan?”

“Maaf, Adhi Guru!” Narada menyela pembicaraan. “Hendaklah Adhi Guru tak menanyakan hal itu pada Penyarikan! Ingat rahasia Kitab Jitabsara hanya Adhi Guru, Eyang Pada Wenang, Penyarikan, dan Kresna. Bila Penyarikan melontarkan jawaban atas pertanyaan Adhi Guru, Bisma yang terus memperhatikan pembicaraan kita di bawah sana akan turut mengetahui rahasia isi Kitab Jitabsara”

“Benar apa yang dikatakan Wa Narada.” Penyarikan nimbrung dalam pembicaraan. “Sebaiknya salinan Kitab Jitabsara Ananda serahkan pada Ayahnda Manikmaya. Ayahnda akan dapat membacanya sendiri. Tanpa orang lain ikut mengetahui isinya.”

Bermuka masam, Bathara Guru menerima salinan Kitab Jitabsara. Tanpa membuka salinan Kitab Jitabsara; Bathara Guru meninggalkan Narada, Penyarikan, dan beberapa dewa lain – Bayu, Indra, Kanwa, Brama, Basuki, Yamadipati, Kuwera, dan Sambu. Karena senja mengisyarakan pada pasukan Korawa dan Pandawa untuk menghentikan Bharatayuda, Narada beserta dewa-dewa lain bergegas meninggalkan ara-ara mega. Pulang ke tempat singgahnya masing-masing.

***

           

Purnama mengambang di langit resik. sinarnya memenuhi perkemahan Glagah Tinulu. Dimana di tenda utama; Srikandi, Trusta Jumena, dan Abimanyu tengah berbincang sambil mengevaluasi Bharatayuda pada hari ke sebelas. Sementara jauh di luar tenda; Gareng, Petruk, dan Bagong yang mengitari api unggun untuk mengusir hawa dingin musim bedhidhing itu membakar pohong.

Lain Srikandi, Trusta Jumena, dan Abimanyu; lain pula Gareng, Petruk, dan Bagong. Ketiga rakyat kecil yang mengabdi sebagai batur Pandawa itu tak pernah memikirkan pihak mana yang akan menang pihak mana yang akan kalah dalam Bharatayuda. Namun, mereka memikirkan dampak dari Bharatayuda yang mengakibatkan naiknya harga sandang dan pangan. Hingga mereka tak dapat makan teratur dan berpakaian layak. Akibatnya perut mereka yang melar bukan karena kenyang nasi, melainkan kenyang angin. Kalau toh malam itu mereka dapat makan pohong bakar bukan karena dibeli dengan gaji bulanan, namun karena mencuri di ladang tepian desa Karang Kadempel.

Sungguh selama Bharatayuda berlangsung, banyak pemimpin negara tak lagi memikirkan nasib rakyat yang menyerupai ikan-ikan laut terdampar di pantai, megap-megap serasa tercekik lehernya. Bila dibanding rakyat lain; nasib Gareng, Petruk, dan Bagong yang tengah menikmati pohong bakar itu masih dibilang lebih beruntung. Mereka masih dapat makan nasi jagung, sayur lodheh, lauk telor dadar; saat tanggal muda bersama isteri dan anak-anaknya.

Selagi Gareng, Petruk, dan Bagong berbincang; tampak sesosok bayangan hitam yang berkelebat dari balik rerimbun semak-semak. Melihat bayangan mencurigakan itu, Petruk sontak menarik pethel yang terselip di pinggangnya. Disertai Gareng dan Bagong, Petruk memburu bayangan itu.

Setiba di tepian Sungai Gangga, Petruk dapat menangkap bayangan hitam itu. Sebelum menebaskan pethel-nya ke leher bayangan hitam itu, Petruk tersentak, manakala menangkap wajah bayangan hitam yang dilumuri cahaya purnama itu. Dialah Karna, putera sulung Kunti yang semasih bayi dibuang di Sungai Aswa. Sebelum ditemukan dan diangkat sebagai putera Adirata, seorang kusir HHastinapurapura.

“Ampun, Kangjeng Adipati Karna. Hamba tak tahu kalau bayangan hitam yang hamba curigai adalah Kangjeng Adipati.”

“Tak mengapa, Truk.” Karna sekilas mendongakkan wajahnya untuk menyaksikan bulan yang hampir bertakhta di titik kulminasi langit. Tak seberapa lama, Karna mengalihkan pandangnya ke arah Petruk yang berdiri dengan tubuh gemetar di antara Gareng dan Bagong. “Jangan takut, Truk! Aku tak akan memarahimu. Sebaliknya aku bangga padamu. Karena sebagai abdi, kau merasa punya tanggung jawab yang sangat besar untuk menjaga keselamatan tuan-tuanmu. Keluarga Pandawa yang berada di Perkemahan Randu Watangan.”

“Terima kasih atas pujiannya, Kangjeng Adipati Karna.” Petruk klecam-klecem sambil matanya dikerlingkan ke saku Karna. “Tapi hamba akan sangat mengucapkan terima kasih, bila Kangjeng Adipati mau ngasih….”

“Uang? Begitu kan maksudmu?”

“Ehm….” Petruk salah tingkah. “Iya, Kangjeng. Maklum tanggal tua.”

“Aku akan mengasihmu uang, asal kau mau bekerja. Tapi, bukan sebagai pengemis. Sejak dulu, aku benci pengemis.”

“Pekerjaan apa yang harus hamba laksanakan?”

“Kembalilah ke perkemahan Glagah Tinulu. Sampaikan pesanku pada Abimanyu. Malam ini, Eyang Bisma ingin menyampaikan kabar penting kepada keponakanku itu.”

“Perintah Kangjeng Adipati akan hamba laksanakan. Tapi….”

“Bekerjalah dulu! Upah akan datang dengan sendirinya, bila tugas sudah dilaksanakan.”

“DP, Tuan?”

“Apa itu DP?”

“Perskot, Kangjeng Adipati.” Gareng menjelaskan dengan gaya seorang guide pada seorang wisman. “Istilah lain, uang muka.”

“Oh…. Uang muka?”

“Benar, Kangjeng.”

“Sayang! Aku tak bawa uang.”

“Kalau tak bawa uang, keris atau baju bekas juga tak apa Kangjeng Adipati.” Bagong yang semula diam turut nimbrung dalam pembicaraan. “Maklum! Petruk sedang membutuhkan banyak uang untuk melunasi biaya sekolah anak-anaknya.”

“Sudah! Sudah! Kok makin nglantur!” Karna mengeluarkan tiga lembar uang ratusan ribu untuk diberikan kepada Petruk, Gareng, dan Bagong. “Terimalah ini! Segeralah kembali kalian ke Glagah Tinulu! Mumpung belum tengah malam.”

Beserta Gareng dan Bagong, Petruk meniti jalanan berumput yang diterangi cahaya purnama. Menuju perkemahan Glagah Tinulu. Setiba di tujuan, Petruk menyampaikan amanat Karna pada Abimanyu. Mendengar penuturan Petruk, Abimanyu meminta pamit pada Srikandi dan Trusna Jumena. Menemui Bisma yang berada di antara alam kematian dan kehidupan di tepian padang Kurusetra. Alam dimana setiap manusia yang berlaga di medan perang niscaya mengalaminya. Sekalipun hanya beberapa saat saja.

***

Seolah tak memperhatikan bau ribuan bangkai di padang Kurusetra yang semakin menyengat hingga merangsang setiap orang ingin muntah, serangga-serangga terus mengidungkan doa selepas tengah malam. Tanpa berpihak pada kubu Korawa atau kubu Pandawa, purnama yang dikitari ribuan bebintang itu memancarkan sinarnya ke belahan bumi.

Dengan indera ke enam yang masih melampaui tajamnya ujung keris, pedang, panah, atau tombak; Bisma merasakan kehadiran Abimanyu. Lelaki duapuluh tahunan yang baru saja menikah dengan Siti Sendari seusai Utari hamil muda. Lelaki yang didamba-dambakan siang-malam untuk menjadi raja HHastinapurapura, bila Bharatayuda dimenangkan Pandawa.

“Sembah bakti dari Cicitnda pada Eyang Buyut Bisma.”

“Aku terima sembahmu, Abimanyu.” Bisma mengelus-elus rambut Abimanyu yang berikal panjang kehitam-hitaman sampai ke pinggang. “Abimanyu, putera Arjuna yang berjiwa sentosa….”

“Ya, Eyang Buyut.”

“Apakah kau sudah siap mati?”

“Apa maksud Eyang Buyut dengan pertanyaan itu?”

“Tak ada maksud apapun, selain bertanya semata.”

“Bagi Cicitnda, kematian adalah sejatinya kehidupan. Sebaliknya kehidupan di dunia sejatinya kematian. Roh yang terkubur dalam raga. Sebagaimana siap hidup, Cicitnda pun siap mati.”

“Bagus!” Bisma lega saat mendengar penuturuan tulus dari Abimanyu. “Tapi, cicitku. Andaikan kau mati di Bharatayuda, apakah kau tak takut mengecewakan impian pepundhen-mu, Pandawa? Bukankah mereka mendambakanmu sebagai calon raja HHastinapurapura, andaikan Pandawa berhasil memenangkan Bharatayuda?”

Lihat selengkapnya