Matahari Lembah Cawan

Sri Wintala Achmad
Chapter #2

DENDAM ARJUNA #2

FAJAR menyingsing. Di kaki langit timur, matahari serupa wajah dewa yang pasi. Bentangan langit pagi itu serupa kanvas kelabu. Udara terasa dingin bagi tubuh, sekalipun matahari memancarkan cahayanya. Pepohonan masih merunduk dalam gigil dengan daun-daun yang masih basah embun. Bunga-bunga di tamansari Tanjunganom berguguran sekalipun baru saja mekar.

Tak sebagaimana Siti Sendari yang tampak murung sesudah mendapat firasat buruk dari seekor gagak yang berkaok-kaok di atap kedaton Tanjunganom pada kemarin malam, kedua batur – Nyi Lambangsari dan Nyi Randanunut tetap ceria pagi itu. Sembari membersihkan tamansari, Nyi Lambangsari menyanyikan lagu dangdut yang sedang ngehit. Nyi Randanunut hanya menggoyang-goyangkan bokong-nya selama tembang itu dilantunkan.

Selagi lagu belum usai dinyanyikan oleh Nyi Lambangsari, muncullah Gareng beserta Bagong di depan pintu gerbang tamansari Tanjunganom. Melihat kedatangan Gareng – punakawan kesayangan Abimanyu, Nyi Lambangsari menyambutnya dengan hangat. Sehangat ketika Lambangsari menyambut suaminya sewaktu pulang kerja. Dari cara penyambutan itu, Nyi Randanunut semakin tahu bahwa Nyi Lambangsari menaruh hubungan asmara back street dengan Gareng. Sekalipun begitu, Nyi Randanunut tetap tutup mulut. Sebab Nyi Randanunut sendiri yang menjanda tujuh tahun sesudah suaminya menikah dengan ledhek pula menaruh hubungan gelap dengan Bagong. Abdi Pandawa yang hidupnya megap-megap, namun masih mampu menghidupi tiga isteri delapanbelas anak.

“Memangnya ada apa Kang Gareng datang ke Tanjunganom sepagi ini?” tanya Nyi Lambangsari sembari memegang erat tangan Gareng yang cekot. “Apakah ada sesuatu yang ingin diberikan padaku?”

“Ehm….” Gareng sejenak terdiam. Tak lama kemudian, Gareng membisikkan sederet kata ke telinga Nyi Lambangsari. “Kalau tak waktu malam aku datang ke Tanjunganom, berarti tak memberikan sesuatu padamu, darling!”

“Lantas?” Nyi Lambangsari sontak bertanya dengan nada lantang, hingga Bagong dan Nyi Randanunut cekikikan bersama. “Kalau kau tak memberikan sesuatu padaku, apa tujuan Kang Gareng datang ke Tanjunganom?”

“Kedatanganku dengan Bagong di Tanjunganom ingin menghadap Gusti Putri Siti Sendari. Karenanya, antarkan aku untuk menghadap Gusti Putri.”

“Sekarang?”

“Ya, sekarang. Masak tahun depan.”

“Jangan marah, Kang! Masak digituin marah.”

“Sudah! Sudah! Jangan bergurau!”

Tanpa memperhatikan Nyi Randanunut dan Bagong yang telah mojok berdua di bangku tamansari di bawah pohon jambu air, Nyi Lambangsari membawa Gareng menuju keputren. Menghadap Siti Sendari – puteri Prabu Kresna yang terlahir dari Sang Hyang Bathari Pertiwi, yang tengah duduk di ruangan depan keputren.

“Tuan Putri Siti Sendari, hamba menghaturkan sembah.” Nyi Lambangsari menghaturkan sembah dengan wajah setengah tertunduk. “Mohon ampun, tuan Putri. Hamba melapor, kalau Kang Gareng akan menghadap Gusti Putri untuk menyampaikan berita dari perkemahan Randu Watangan.”

“Aku persilakan….”

Nyi Lambangsari memohon diri. Tak sampai hitungan menit, Nyi Lambangsari kembali memasuki ruangan depan keputren itu bersama Gareng. Sesudah menghaturkan sembah bakti pada Siti Sendari, Gareng menyampaikan kabar dari Randu Watangan. “Ampun, Gusti Putri. Perkenankan hamba menyampaikan kabar dari Ramanda Gusti Putri – Prabu Kresna!”

“Sampaikan kabar itu!”

“Harap diketahui! Bila Gus Abimanyu telah gugur di Kurusetra. Gugur di tangan Adipati Jayajatra dari Banakeling.”

Mendengar penuturan Gareng, Siti Sendari yang dikenal sebagai wanita berjiwa teguh itu teringat dengan sumpahnya di hadapan Abimanyu. Siti Sendari akan bela pati, bila Abimanyu gugur di medan laga. Tanpa sepatah kata, Siti Sendari meninggalkan ruangan itu. Memasuki ruang pribadinya. Sesudah mengenakan pakaian serba putih seperti seorang resi, Siti Sendari kembali ke ruangan semula. “Antarkan aku ke perkemahan Randuwatangan, Punakawan!”

Sebagai abdi negara yang setiap bulannya mendapatkan gaji, Gareng mengikuti perintah Siti Sendari. Terpaksa mengikis kepentingannya sendiri untuk berasyik mesum dengan Lambangsari. Tanpa disertai Bagong yang masih bermesraan dengan Nyi Randanunut di pojok tamansari, Gareng meninggalkan Tanjunganom. Mengantarkan Siti Sendari yang mendapatkan pengawalan ketat dari para prajurit itu menuju Perkemahan Randu Watangan.

***

Tak dikisahkan perjalanan Siti Sendari, Gareng, dan seluruh prajurit dari Kadipaten Tanjunganom ke Perkemahan Randuwatangan yang menyusuri tepian hutan Tikbrasara. Bergantilah kisah di kaki Gunung Setrakuru. Dimana Arjuna dan Bima tengah terperangkap semalam ke dalam telaga embel. Kedua senapati perang dari Amarta itu hanya terdiam dengan wajah tertunduk, namun matanya sesekali mengerling ke arah Gardapati dan Wresaya yang tampak pongan sesudah merasa jaya di tepian telaga embel.

“Arjuna! Bima!” Gardapati yang barusan berbincang dengan Wresaya itu berteriak lantang. “Apakah kalian sudah siap mampus hari ini?”

“Bagaimana aku harus menjawab pertanyaanmu, Gardapati?” ucap Bima dengan nada dingin. “Pertanyaan yang tak mutu akan menghasilkan jawaban tak mutu pula. Aku benci dengan pertanyaanmu itu.”

“Sombong sekali, kau Bima!” Gardapati meludahi wajah Bima. “Bagaimana pertanyaanku kau anggap tak mutu?”

“Ketahuilah, Gardapati!” sela Arjuna. “Pertanyaanmu dianggap tak mutu oleh Kanda Bima, karena siapapun manusia tak akan mampu mematikan manusia lain. Kalau toh mampu melakukan, maka raga manusia itu yang dimatikan. Sementara jiwanya tetap abadi. Karenanya, Gardapati. Bagi seorang yang mengetahui rahasia itu tak akan pernah takut menghadapi kematian. Bahkan orang itu akan merasa bahagia akan kematian raganya. Karena jiwanya akan singgah di surga abadi.”

“Jangan berlagak seorang pendeta, resi, atau kyai!” Wresaya yang semula diam sontak membentak. “Aku tahu kau seorang pertapa, Arjuna. Namun kau adalah orang terbodoh di dunia. Kalau jiwa dapat terbebas dari raga sesudah mengalami kematian, kenapa kau tak melakukan bunuh diri saja? Kenapa kau harus menungguku untuk menghabisimu?”

“Bunuhlah aku, bila kau bertekad untuk mendahului kehendak Tuhan!”

“Bukankah kau tak sedang menyindirku kalau membunuh seseorang adalah berdosa, karena mendahului kehendak Tuhan? Ingat, Arjuna! Di dalam Bharatayuda tak ada istilah orang membunuh berdosa dan orang yang dibunuh mendapat pahala dari Tuhan. Bukankah kau sendiri telah membunuh ribuan prajurit sekutu Hastinapura?”

“Aku membunuh pasukan Korawa atas nama kesatria yang harus membinasakan keangkaramurkaan di muka bumi.”

“Apakah kau tak sedang sombong di hadapanku? Apakah kau tak sedang mengatakan kalau Pandawa adalah sekelompok orang setengah dewa yang terbebas dari dosa? Bulset!” Wresaya meludahi wajah Arjuna yang kotor dengan air berlumpur di telaga embel. “Harap kau tahu, Arjuna! Pandawa itu sama tengiknya dengan Korawa. Katanya Pandawa simbol keluhuran yang ingin terbebas dari urusan dunia, tapi kenyataannya sama saja. Selain ingin meminta kembali Indraprasta, sesungguhnya Pandawa berniat menguasai bumi Hastinapura yang telah sekian lama di bawah cengkeraman Korawa melalui Bharatayuda.”

“Hanya mulutmu yang bau bangkai itu, yang bilang kalau Pandawa ingin menguasai bumi Hastinapura melalui Bharatayuda,” bantah Arjuna. “Sesungguhnya Pandawa hanya ingin meluruskan keadilan. Seharusnya telingamu tak tuli, matamu tak buta, kalau bumi Hastinapura warisan Ayahnda Pandu Dewanata pada Pandawa, Wresaya! Bukan warisan Wa Drestarastra yang telah mendapatkan bumi Gajah Oya itu pada Korawa.”

“Cukup!” bentak Bima pada Arjuna adiknya yang sangat dicintainya itu. “Tak perlu kau lanjutkan berdebat dengan orang tak waras itu.”

“Ya, Kanda.”

“Bagus.” Bima mengangkat wajahnya. Memandang tajam pada Wresaya dan Gardapati secara bergantian. “Wersaya dan kau Gardapati! Apa kemauanmu sekarang? Kalau kau ingin membunuhku yang sudah tak berdaya ini, bunuhlah! Memang ini sudah menjadi risiko bagi senapati perang. Kalau tak menang, ya kalah. Kalau tak hidup, ya mampus.”

“Benar, Bima. Kata-katamu lebih dapat aku terima ketimbang ocehan Arjuna!” ucap Wresaya. “Karenanya, Bima. Tengadahkan ke langit untuk mengaduh pada Bapa Angksa! Tundukkan ke bumi untuk mengaduh pada Ibu Pertiwi! Kau dan Arjuna akan segera mati di tanganku.”

“Tak perlu aku mengaduh pada langit dan bumi. Lakukan saja bila kau dan Gardapati mampu membunuhku!”

Sebagaimana Gardapati yang bermaksud menjambak rambut Arjuna, Wersaya pun bermaksud menyambar rambut Bima yang bergerai kumal bercampur lumpur. Namun sebelum tujuan Wersaya dan Gardapati tercapai, Bima lebih dahulu menangkap tangan kedua senapati Hastinapura itu. Menarik keduanya hingga terjerembab ke telaga embel. Dengan sigap, Bima yang menarik tubuh Arjuna dengan ajian Bandung Bandawasa itu meloncat ke daratan sembari kakinya membenamkan tubuh Gardapati dan Wersaya ke dasar telaga embel. Kedua senapati Hastinapura itu terkubur hidup-hidup ke dalam telaga maut di kaki Gunung Setrakuru.

Di tepian telaga embel, Bima dan Arjuna sejenak saling memandang tubuh mereka yang berlepotan lumpur. Karena tak tahan mencium bau tubuh yang tak sedap, mereka mencebur ke sungai yang tak jauh dari telaga itu. Manakala kembali ke daratan dengan tubuh dan pakaian basah kuyup, mereka menyaksikan Petruk yang berlarian dari kejauhan.

“Kenapa Tuan Arjuna dan Tuan Bima basah kuyup?” tanya Petruk sambil mengusap keringat yang berleleran di wajahnya. “Apakah tuan sekalian telah berhasil menaklukkan Wresaya dan Gardapati?”

“Sudahlah, Truk! Kau tak perlu tanya ini itu!” perintah Bima tegas. “Kenapa kau berlari-lari tampak tengah mencariku?”

“Maksud hamba mencari Tuan Bima dan Tuan Arjuna untuk memenuhi perintah dari Kangjeng Adipati Karna. Menyampaikan kabar, kalau Gus Abimanyu….” Petruk mengusap air mata yang meleleh di pipinya. “Kalau Gus Abimanyu….”

Lihat selengkapnya