Dara menghela napas panjang, matanya menerawang ke luar jendela. Hujan rintik-rintik membasahi kaca, seakan ikut merasakan kesepian yang menjalar dalam dirinya. Keputusan berhenti mengajar demi membangun rumah tangga baru memang sudah bulat, namun kenyataan hidup sebagai istri muda ternyata tak semulus yang ia bayangkan.
Anton, suaminya, sosok yang begitu ia idamkan, kini terasa asing. Kehadirannya yang dulu menjadi pelarian dari kesendirian, kini bagai bayang-bayang yang tak pernah lepas. Pertengkaran kecil yang kerap terjadi membuat rumah tangga mereka terasa rapuh, bagai kapal kecil yang terombang-ambing di tengah badai.
Dara merindukan keramaian kelas, riuh rendah suara anak-anak, dan kepuasan saat melihat mereka mengerti pelajaran yang ia sampaikan. Dulu, mengajar adalah dunianya. Namun kini, dunia itu terasa begitu jauh.
Suara ketukan pintu membuyarkan lamunannya. Dengan langkah gontai, Dara berjalan menuju pintu dan membukanya. Seketika, jantungnya berdebar kencang. Di ambang pintu, berdiri sosok yang tak pernah ia sangka akan ia temui di sini.
"Dara?" Suara itu, begitu familiar.
Dara mengerjap, berusaha mencerna apa yang baru saja dilihatnya. Di depannya berdiri Bagas, rekan kerjanya yang kini telah beralih profesi sebagai pemilik bimbingan belajar terkenal di daerah ini. Pria muda itu kini terlihat lebih dewasa, namun senyum manisnya masih sama seperti dulu.
"Bagas?" gumam Dara, tak percaya.
Bagas tersenyum canggung. "Maaf mengganggu, Bu Guru. Saya hanya ingin mengucapkan terima kasih atas semua yang sudah Ibu berikan."
Dara terdiam. Ia ingin sekali mengundang Bagas masuk, namun keraguan menghalanginya. Ia takut jika Anton melihatnya bersama Bagas, masalah baru akan muncul.
"Masuklah," ajak Dara akhirnya.
Bagas masuk dan mereka mengobrol sebentar. Bagas bercerita tentang kehidupannya setelah berhenti bekerja sebagai guru disekolah, tentang cita-citanya yang kini mulai terwujud. Dara mendengarkan dengan seksama, merasa sedikit lega karena kehadiran Bagas. Ia merasa berada ditempat yang ia rindukan walaupun hanya dari cerita Bagas.
Saat Bagas pamit, Dara merasa ada yang berbeda. Ia merasa nyaman saat bersama Bagas, seperti kembali ke masa lalu saat ia masih menjadi seorang guru.
Setelah Bagas pergi, Dara kembali duduk di sofa. Ia memikirkan pertemuannya dengan Bagas. Apakah ini pertanda? Apakah ia harus kembali mengajar? Atau mungkin, ia hanya sedang mencari pelarian belaka?
Dara tidak tahu jawabannya. Yang ia tahu, saat ini ia sangat membutuhkan teman bicara. Ia membutuhkan seseorang yang bisa mengerti perasaannya, Dara merasa dirinya tengah terpenjara di istana yang ia miliki saat ini. Napas Dara terasa begitu berat, ia terikat dengan tali yang ia sendiri tak lihat ada dimana. Dara membutuhkan bahu untuk bersandar, telinga untuk mendengarkan keluh kesah, bahkan sosok yang mau melindungi dirinya saat ini dari goncangan badai hidup.
Tok... Tok... Tok...
Dara terperanjat dari lamunannya, ia segera beranjak dari sofa cokelat di ruang tamu, ia tak menyangka kalau Tuhan akan mengabulkan permintaanya secepat kilat.
Ya Tuhan, aku baru saja meminta dan begitu cepat Kau kabulkan, ucap Dara dalam hati.
Dara tercekat. Bukan Bagas yang berdiri di ambang pintu, melainkan sosok yang paling ia hindari; Ibu Anton, atau yang akrab disapa Bu Kumala. Wajah wanita paruh baya itu menampakkan ekspresi yang sama seperti biasanya, penuh penolakan dan superioritas.