Matahari Terbit

Hasna Lathifah Kusumawati
Chapter #1

Gerimis Malam

Yoga terus mengepulkan asap rokoknya, untuk menyelimuti matanya yang mulai bosan melihat pemandangan di depannya. Rambut merah panjang yang basah dan terurai dengan sangat buruk. Selagi menikmati kepulan asap rokok yang mulai menenggelamkan matanya, Yoga membayangkan rambut merah itu sepertinya cocok menjadi sabuk barunya. Namun, pasti itu akan menjadi sabuk terburuk yang pernah ia punya. Bagaimana bisa rambut merah basah itu terurai dengan sangat buruk, bahkan jangkrik di samping lutut Yoga pun tak mau melihat bentuknya.

Yoga memanggil si rambut merah untuk tidur di sampingnya, karena Yoga merasa mulai mengantuk lebih awal. “Vivi, kemarilah tidur di sampingku,” panggil Yoga dengan suaranya yang mulai hanyut dengan suasana gerimis malam itu. Namun, Vivi tak memenuhi panggilan Yoga. Ia hanya menggelengkan kepala tanpa membalikkan badan. Yoga mulai menguap dengan suaranya yang tidak merdu sama sekali. “Baiklah, kalau kau tak mau tidur di sampingku. Habiskan ini sisa rokokku, dibuang sayang,” ucap Yoga sembari meletakkan rokoknya.

Vivi mulai mendengar dengkuran Yoga yang sangat tidak enak didengarkan. Vivi pun membalikkan badan, mendekat pada Yoga dan mencium keningnya. Rokok itu mulai padam karena tetesan gerimis yang menyerangnya. Mereka membiarkan rokok itu kalah melawan gerimis. Ia selalu menikmati malam gerimis bersama Yoga dan selalu mengharapkan gerimis cepat datang selepas ia memanggil mereka. Malam semakin kelam dan gerimis itu mulai menenggelamkan suara dengkuran Yoga yang kadang menggelitiki lemak perut Vivi.

Vivi menatap langit dalam-dalam, berharap kejadian ini tak akan pernah pudar dan terulang terus setiap malam. Setiap tetesan gerimis yang jatuh pada wajahnya, seakan langit memberi kesempatan untuk ia menaiki tiap anak tangga menuju mereka. Vivi ingin menghantarkan setiap harapan yang masih kelabu untuk segera sampai ke kotak pos di langit sana.

"Mengapa kau masih terjaga?" bisik Yoga sembari menyeka wajah Vivi yang penuh bulir air. Ia selalu menyayangi Vivi setulus hatinya. Hati yang tak pernah tumbuh ketika matahari masih melekat pada langit mereka. Langit selalu memaksa Vivi untuk terus terjaga. Namun, ia belum menemukan jawaban atas misteri itu. Mungkin saja langit ingin membuatnya sadar. Ia sudah tenggelam terlalu dalam, yang tiada celah untuknya kembali ke permukaan.

"Apa yang kau pandangi dari langit gelap itu?" tanya Yoga yang terdengar memaksa Vivi untuk tidak membisu. Vivi masih saja terpaku dalam khayalannya yang kian membawa raganya terbang semakin ringan. Mungkin ia sulit kembali untuk sadar walau sekejap saja. Tiba-tiba terdengar suara tokek yang sangat kencang. Sekejap saja, Vivi langsung tersadar. Selepas tokek itu bernyanyi, langit pun tak mau kalah. Guntur menyambut kesadarannya dengan penuh suka cita.

"Bosankah kau pada bulan purnama dan bintang di atas sana?" celetuk Vivi untuk mengaburkan pandangan Yoga padanya.

"Entahlah, tapi rasanya sudah puluhan kali aku seperti mengalami kejadian ini," celetuknya dengan raut muka yang sangat kosong "tetapi aku tak bisa merasa asing, sepertinya ada yang salah denganku."

Malam selalu menjadi bagian favorit bagi para pengkhayal. Tak pernah luput dari setiap bualan yang menari-nari di awan. Ritual-ritual yang mereka lakukan tak akan pernah lepas dari laung penghuni langit. Vivi akan terus menjaga ritual gerimis ini, meski selalu terputar ulang kejadian yang sama. Sudah banyak percobaan yang ia lakukan, agar kejadian ini dapat berubah. Vivi sudah mencoba membayangkan hal-hal yang ia inginkan. Sudah mencoba memakai piama yang sesuai dengan tema yang ia inginkan, mencoba memakai make up ala-ala dan parfum yang berbeda-beda, memasang sprei yang berbeda-beda dan eksperimen lainnya. Akan tetapi, tak pernah ada yang berhasil, ia tetap saja memimpikan kejadian yang sama.

Geliat tangan Yoga tak pernah lepas dari rambutnya. Yoga sebenarnya menyukainya. Hanya saja, ia malu mengutarakannya atau mungkin ia cukup muak dengan rambut Vivi yang selalu sama. Lakon dan dialog mereka tak pernah berubah. Begitu juga dengan pernak pernik dalam sandiwara yang ada, selalu sama. Vivi mungkin dapat merasakan bosan dengan semuanya, tetapi ia sudah kehabisan akal dengan semuanya.

Lihat selengkapnya