MATAHARI YANG TAK TERBIT LAGI

Nengshuwartii
Chapter #2

HUBUNGAN

Hubungan yang paling pekat di dunia ini, barangkali bukan cinta antar pasangan, bukan juga persahabatan yang terjalin bertahun-tahun, melainkan hubungan darah, hubungan yang mengikat seorang ibu dengan anaknya, seorang ayah dengan keturunannya. Itu adalah hubungan pertama yang dikenali manusia sejak mereka membuka mata untuk pertama kalinya, hubungan yang tidak bisa diputuskan oleh waktu, jarak, ataupun berbeda pendapat.

Namun ada satu hubungan lain yang lebih unik; yang sering kali terasa tidak bisa diukur dengan logika, tidak bisa disimpulkan hanya dari kata sayang atau benci. Sebuah hubungan yang rumit, yang kadang terasa manis namun juga sangat mudah melukai. Itulah hubungan tali persaudaraan.

Berbeda dengan cinta yang bisa datang dan pergi, berbeda dengan sahabat yang bisa terganti, hubungan saudara terasa seperti takdir, kita tidak memilihnya, tetapi harus menerimanya. Ada yang bilang hubungan saudara itu anugerah, tapi ada juga yang merasakan itu sebagai ujian. Di antara dua titik itu, biasanya seseorang akan terus belajar memahami apa artinya menjadi keluarga.

Oktaviani dan Ferdinan Ali adalah contoh nyata betapa uniknya hubungan persaudaraan itu. Dua saudara yang lahir dari rahim perempuan yang sama, dibesarkan oleh tangan yang sama, namun tumbuh menjadi dua pribadi yang sangat berbeda.

Oktaviani adalah kakak yang keras kepala namun berhati lembut, meski ia sendiri sering tidak menyadarinya. Prinsip hidupnya tegas, sikapnya lugas. Ia selalu terlihat kuat, seolah tidak pernah membutuhkan siapa pun.

Sedangkan Ferdinan Ali, adiknya, adalah laki-laki yang tidak kalah keras, tidak kalah teguh, dan tidak kalah sulit untuk dibujuk. Ia sering terlihat tenang, tapi sekali pendiriannya ditantang, tidak ada yang bisa mengubah pikirannya kecuali satu orang: Ibu.

Ibu…

Sosok perempuan yang menjadi pusat dari setiap langkah mereka. Satu-satunya yang mampu meredam badai kedua anaknya. Satu-satunya yang mampu membuat dua batu karang itu luluh, duduk berdampingan, dan saling tersenyum meski hatinya masih terasa panas.

Ada kalanya mereka berselisih paham. Ada kalanya suara mereka meninggi. Ada saat-saat ketika Oktaviani merasa adiknya tidak menghargai usahanya, dan ada kalanya Ferdinan merasa kakaknya terlalu ikut campur dalam hidupnya.

Namun setiap kali itu terjadi, ibu selalu muncul dengan senyum sabar dan kata-kata lembut yang rasanya bisa mereda apa pun.

“Kalian kakak beradik. Mau sejauh apa pun pergi, ujungnya kalian tetap pulang ke rumah yang sama. Jangan biarkan sakit hati menghancurkan apa yang Allah titipkan. Saudara adalah hadiah, bukan musuh.”

Kata-kata itu selalu berhasil.

Dan selama ibu masih ada, hubungan mereka walau penuh gelombang selalu kembali jernih.

Namun kehidupan selalu punya cara menguji. Selalu ada satu masa ketika seseorang dihadapkan pada kehilangan terbesar dalam hidupnya.

Hari ketika ibu pergi untuk selamanya, dunia Oktaviani dan Ferdinan runtuh. Tidak ada lagi suara yang mampu menengahi. Tidak ada lagi tangan yang merangkul keduanya sekaligus. Tidak ada lagi rumah yang terasa benar-benar pulang tanpa ibu di dalamnya.

Hari itu, bukan hanya tubuh ibu yang mereka kuburkan. Mereka juga mengubur seseorang yang selama ini menjadi jembatan di antara mereka.

Sejak saat itu, hubungan persaudaraan mereka diuji dengan cara yang paling menyakitkan.

Pada awalnya, semuanya masih berjalan baik.

Mereka saling menyapa, saling berbagi kabar, meski nada bicara sudah tidak selembut dulu. Mereka menyiapkan arisan keluarga, datang bersama-sama ke pengajian tahlil, tetap menjaga nama baik di mata keluarga besar, semua demi menghormati ibu.

Namun lambat laun, perubahan kecil mulai terlihat. Perubahan yang tidak disadari, tapi perlahan meretakkan hubungan mereka.

Oktaviani mulai merasa adiknya semakin menjauh.

Ferdinan mulai merasa kakaknya terlalu mendominasi.

Keduanya sama-sama rindu ibu, dan keduanya sama-sama kesepian, tapi tidak ada yang bisa menyampaikan itu.

Mereka masih saudara, tapi mulai kehilangan arah.

Karena sebagian besar hubungan persaudaraan bukan hancur karena perkelahian besar, tapi karena luka kecil yang dibiarkan membusuk.

Lihat selengkapnya