MATAHARI YANG TAK TERBIT LAGI

Nengshuwartii
Chapter #3

PERTENGKARAN

“Jauh di Mata, Dekat di Hati"

Peribahasa yang menggambarkan cerita ini.

Jika pepatah mengatakan “jauh di mata dekat di hati”, maka hubungan antara Oktaviani dan adiknya, Ferdinan Ali, berjalan dengan cara yang jauh lebih unik dan rumit. Mereka ibarat dua kutub yang saling tarik-menarik: jauh rindu, dekat bertengkar. Seakan semesta tidak pernah memberi mereka kesempatan untuk benar-benar tenang saat bersama, namun juga tidak memberi mereka kekuatan untuk benar-benar berpisah.

Setiap hari selalu ada cerita.

Kadang mereka tertawa keras seperti sahabat masa kecil.

Tapi tidak sampai dua jam kemudian, suara tawa itu berubah menjadi adu argumen yang bahkan tetangganya sudah hafal ritmenya.

Semua dimulai dari hal-hal paling kecil, hal-hal yang mungkin tidak akan dipermasalahkan orang lain.

Sehari, Oktaviani marah karena adiknya lupa mencuci sendok waktu membersihkan piring.

Besoknya Ferdinan balik marah karena kakaknya lupa menjemur cucian dan hanya membiarkannya membusuk di mesin cuci.

Lusa mereka ribut lagi karena karpet lupa dipukul, rumah tidak dipel, atau karena suara televisi terlalu keras.

Pertengkaran itu seperti napas bagi mereka muncul, meledak, reda, lalu muncul lagi. Namun anehnya, tidak ada satu pun yang benar-benar sakit hati. Tidak ada dendam. Tidak ada diam-diam saling menjauh.

Begitulah cara mereka “berkomunikasi”.

Dan setiap kali suasana rumah mendadak memanas, suara ibunya akan selalu muncul, tajam namun penuh cinta.

“Kapan kalian ini dewasa? Terus saja bertengkar untuk hal yang tidak penting! Duduk, bicara baik-baik, dengarkan satu sama lain.”

Kalimat itu seperti mantra. Begitu ibunya berbicara, keduanya langsung duduk, diam, memelototi satu sama lain, lalu tanpa disadari mulai berdiskusi.

Tentu saja diskusi itu tidak bertahan lama.

Lima menit kemudian mereka adu argumen lagi.

Dan ibunya hanya bisa menghela napas panjang sambil memegangi kepala yang mulai pusing.

Namun di balik semua drama itu, ada satu hal yang sebenarnya tidak banyak diketahui orang:

Mereka bertengkar karena mereka terlalu peduli satu sama lain.

Dan itu membuat ikatan mereka semakin kuat, walaupun cara mereka menunjukkan kasih sayang sangat berbeda dari orang lain.

Dari luar, keluarga kecil itu tampak harmonis.

Para tetangga sering melihat Oktaviani dan Ferdinan saling membantu, bekerja sama, bercanda, atau membawakan belanjaan untuk ibu. Sering terlihat mereka tertawa bersama seperti tidak pernah ada masalah sedikit pun.

“Enak sekali ya punya anak yang akur seperti itu,” komentar beberapa tetangga.

Padahal, mereka tidak tahu betapa uniknya hubungan dua saudara itu.

Apa yang terlihat dari luar tidak pernah sama dengan apa yang benar-benar terjadi di dalam rumah.

Banyak saudara, ketika dewasa, mulai menjauh.

Jarang mengobrol, jarang menyapa, sibuk dengan hidup masing-masing.

Bahkan ada yang tinggal sekota tapi hanya bertemu setahun sekali.

Namun hal semacam itu mustahil terjadi pada dua saudara ini.

Mereka bisa bertengkar hebat, tapi tidak pernah bisa berhenti berkomunikasi.

Mereka bisa beradu argumen, tapi satu jam kemudian tetap makan bersama seolah tidak terjadi apa-apa.

Semua itu terjadi karena satu sosok yang selalu menjaga mereka tetap dekat:

Ibu.

Lihat selengkapnya