Hari-hari di rumah kecil itu tidak pernah benar-benar sunyi. Pertengkaran kecil selalu menjadi bumbu yang mewarnai setiap sudut rumah. Kadang tentang kamar mandi yang terlalu lama dipakai, kadang tentang sikat gigi yang hilang entah ke mana, bahkan hal yang lebih remeh dari itu pun bisa menjadi alasan untuk saling berteriak.
Suara Oktaviani sering terdengar lebih dulu.
“Ali! Berapa lama sih kamu mandi? Aku udah telat ini!” serunya sambil menghentak pintu.
Dari dalam kamar mandi terdengar balasan khas Ferdinan, pendek namun keras, “Ya tunggu sebentar! Sabun aku jatuh!”
“Lah, kalau sabun jatuh kan tinggal ambil! Masa mandi sejam cuma gara-gara sabun!”
“Ya udah kamu mau aku mandi nggak bersih?!”
Suara mereka meninggi, naik turun seperti gelombang. Dan biasanya, sebelum suara itu semakin liar, muncullah suara yang paling dihormati di rumah itu.
“Sudah! Diam kalian berdua!” teriak Ibu dari ruang tengah. Suaranya tidak pernah perlu dua kali untuk membuat keduanya terdiam.
Namun hari itu berbeda. Karena setelah keluar dari kamar mandi dalam keadaan rambut masih basah, mereka kembali saling menyindir.
“Kamu kalau mandi jangan lama-lama dong. Dunia nggak bakal runtuh kalau kamu mandi lima menit,” kata Oktaviani.
Ferdinan menatapnya tajam. “Kalau kamu sabaran dikit dunia juga nggak bakal kiamat.”
Dan seperti biasa… mereka ribut lagi.
Sampai akhirnya Ibu masuk ke kamar dengan wajah kesal dan berkata lantang:
“Kalian itu pisah saja kalau dekat terus kerjaannya bertengkar dan saling memukul! Kalian nggak lelah?!”
Keduanya langsung berhenti. Tatapan Ibu bukan tatapan marah biasa. Ada capek yang menumpuk, ada sedih yang disembunyikan.
Melihat itu, Oktaviani mencoba mencairkan suasana.
“Ya sudah Bu… aku pergi saja cari kerja. Biar nggak bikin kesel Ali,” katanya dengan nada bercanda, tapi jelas-jelas ingin menenangkan hati ibunya.
Ali, tidak mau kalah, ikut menimpali sambil mengangkat dagunya.
“Kalau gitu aku ke luar negeri aja Bu. Biar nggak ada yang ngomel-ngomel tiap hari.”
Ibu mendengus. “Halah! Palsu!”
Keduanya kompak menjawab, “Apa pula yang palsu, Bu?”
Ibu menunjuk mereka dengan jari gemas.
“Kalian itu selalu ngomong hal yang palsu! Katanya mau pergi, mana ada! Baru sejam nggak ketemu aja kalian berdua kayak kehilangan arah.”
Oktaviani dan Ferdinan saling melirik, lalu tertawa bersamaan. Tawanya khas, tawa yang hanya muncul saat mereka menertawakan hal-hal sepele. Ibu paling suka melihat momen itu.
Ibu tersenyum, senyum yang membuat kerutan di wajahnya tampak lembut.
“Sudahlah, peluk dulu sini. Dari tadi bertengkar terus.”
Keduanya, tanpa protes, langsung mendekat dan memeluk Ibu. Hampir seperti refleks, seolah pelukan itu adalah tombol yang mengembalikan semuanya ke titik damai.
Itulah kekuatan Ibu: ia mampu melembutkan kerasnya hati, menurunkan tinggi ego, dan menyatukan dua jiwa keras kepala hanya dengan sentuhan dan nasihat lembut.
Namun meski begitu… kehidupan mereka tidak selalu seindah yang terlihat dari luar.
Di depan orang lain, mereka tampil dengan wajah yang sangat berbeda.
Di arisan keluarga, mereka terlihat seperti saudara paling harmonis.
“Wah, Oktaviani dan Ferdinan akrab sekali, ya,” ujar tetangga.
Oktaviani akan tersenyum sambil merangkul Ali, “Namanya juga saudara.”
Ali menambahkan dengan santai, “Kalau nggak akur, nanti Ibu marah.”
Padahal hanya beberapa jam sebelum acara itu, keduanya sempat saling menyindir soal baju siapa yang lebih kusut dan siapa yang membuat listrik turun.
Di mata orang lain, mereka tampak sangat peduli satu sama lain:
membukakan pintu mobil, menyuapkan makanan, saling memuji.
Padahal di rumah mereka bisa saling tunjuk-menunjuk sambil berkata: