Pagi itu, rumah kecil mereka terasa hiruk-pikuk seperti biasa. Matahari baru saja menyelinap lewat jendela dapur ketika suara Ibu memanggil dari ruang tengah.
“Oktaviani, cabe di dapur habis ya?”
Oktaviani yang sedang menggulung rambutnya menjawab cepat, “Iya Bu, tadi pagi udah aku cari. Habis semua.”
Ibu mengangguk, lalu menoleh ke putranya yang sedang bersandar di sofa.
“Fer, ke pasar dulu ya. Beli cabe, minyak, sama bumbu dapur. Tolong Ibu beliin.”
Ferdinan langsung duduk tegap. “Iya Bu. Sekarang?”
“Iya sekarang. Nanti Ibu bisa masak.”
Tanpa banyak tanya, ia langsung berdiri, mengambil kunci motor, dan berangkat. Oktaviani tersenyum kecil. Dia tahu betul, adiknya tidak pernah menolak bila ibunya meminta. Tidak peduli sesibuk apa, selelah apa, semarah apa, jawaban Ferdinan selalu sama:
“Iya Bu.”
Siang harinya, giliran Oktaviani yang sibuk. Ia sedang mencuci baju ketika mendadak sabun cuci habis. Yang membuatnya kesal, bajunya sudah terlanjur basah oleh air rendaman.
“Duh… sabunnya habis, lagi!” gerutunya.
Ia mencoba memeras air dari baju namun malah memercik kemana-mana. Dengan pasrah ia memanggil ibunya.
“Bu… sabun cucinya habis banget ini. Mau kuperas juga percuma. Aduh… gimana ya…”
Ibu menatap baju-baju basah itu dan langsung paham situasinya.
“Fer!” panggil Ibu dari dapur.
Tak sampai lima detik, Ferdinan muncul.
“Iya Bu?”
“Beli sabun cuci ya ke toko Cici. Sekalian sabun mandi, tinggal sedikit.”
“Iya Bu.”
Ia tidak bertanya kenapa. Tidak menuntut alasan. Tidak mengeluh. Tidak melihat jam. Tidak bilang nanti.
Karena baginya, jika Ibu yang meminta, maka:
"Iya" adalah jawaban paling cepat.
Ketika Ferdinan keluar, Oktaviani mengusap wajahnya sendiri.
“Maaf ya Bu… merepotkan kalau begini.”
Ibu hanya menepuk bahunya pelan.
“Namanya rumah, Nak. Semua saling bantu. Kakak butuh, adik bantu. Adik butuh, kakak bantu. Ibu butuh, kalian berdua bantu. Begitulah rumah berjalan.”
Kata-kata itu sederhana, tapi menghangatkan dada.
Sore hari, suasana berubah lebih santai.
Oktaviani duduk di lantai sambil memainkan jari-jarinya. Ia mendekat kepada ibunya sambil berkata manja, seperti anak kecil.
“Bu… kayaknya enak deh makan seblak. Boleh minta dipesenin… eh, dimintain tolong beliin?”
Ibu menatap putrinya sambil mengernyit manja.
“Kamu itu… kalau makanan pedas sedikit, langsung mules. Tapi ya sudah lah. Jangan yang super pedas ya.”
“Iya Bu… janji.”
Ibu memanggil Ferdinan yang sedang memperbaiki kipas angin.
“Fer, tolong beliin seblak buat kakakmu.”
Ferdinan mengangguk. “Iya Bu.”
Bahkan untuk urusan sesederhana seblak pun ia mengiyakan tanpa protes.
Oktaviani memandang adiknya yang bersiap pergi sambil memakai sandal.
“Fer, makasih ya,” ucapnya pelan, tulus.
Ferdinan menoleh. “Iya.”
Cuma itu. Tapi cukup untuk menunjukkan ia tidak keberatan, meski lelah.
Dan Ibu melihat semua itu, ketulusan kecil, pengorbanan kecil dan hatinya penuh syukur.
Ada satu kejadian yang membekas dalam ingatan mereka selamanya.