MATAHARI YANG TAK TERBIT LAGI

Nengshuwartii
Chapter #6

BERJUANG

Perjuangan ini tidak pernah benar-benar selesai. Ibu selalu bilang, “Jangan pernah menyerah, Nak. Kalau lelah, istirahatlah… bukan berhenti. Bukan lari.” Kalimat itu selalu menempel di kepalaku setiap kali kesulitan menghampiri, seperti suara lirih yang menyapu setiap sudut hati ketika aku mulai merasa rapuh.

Aku tumbuh dengan nasihat-nasihat sederhana yang keluar dari bibir ibu, namun pengaruhnya begitu besar sampai aku selalu teringat setiap kali hidup terasa menekan. Kata-katanya bukan hanya nasihat, itu adalah tiang yang menjaga diriku tetap tegak ketika keadaan ingin menjatuhkan.

Ibu selalu bilang, “Sejauh apa pun kamu berlari menjauhi masalah, dia akan mengejar kamu dalam bentuk yang berbeda. Hadapi. Biar Allah yang menyelesaikan.”

Aku selalu memikirkan kalimat itu. Dan benar, hidup bukan soal menang atau kalah. Bukan soal selesai atau tidak selesai. Hidup adalah tentang bagaimana kita tetap melangkah meski kaki terluka, tetap berusaha meski hati penuh beban. Ibu selalu bilang bahwa tugas manusia hanya berikhtiar, bukan menentukan hasil.

“Hasil itu punya Tuhan,” katanya.

Hidup kami dulu bukanlah kehidupan yang mudah. Bahkan untuk mengatakan cukup, kami sudah sangat bersyukur. Aku sering melihat ibu duduk di sudut dapur, wajahnya sembab karena lelah, namun senyum tak pernah absen di bibirnya. Seperti ada mata air kesabaran yang terus mengalir dari hatinya, tak pernah habis meski diperas oleh keadaan.

Ibu membesarkan kami seorang diri. Tak ada suami di sisinya. Tak ada pundak untuk bersandar. Tak ada bahu untuk berbagi beban. Satu-satunya kekuatan yang dia miliki hanyalah cintanya pada kami, cinta yang tidak pernah meminta balasan.

Dia bekerja siang dan malam. Kadang tidak makan agar kami bisa makan. Kadang berpura-pura kenyang agar kami tidak merasa bersalah. Kadang tersenyum padahal matanya memerah karena terlalu sering menangis dalam diam. Namun tidak sekalipun keluhan keluar dari mulutnya.

Aku tidak pernah mendengar ibu mengeluh, bahkan ketika seluruh hidupnya adalah perjuangan panjang yang tidak pernah ada jedanya.

Jika aku bertanya, “Bu maukah aku belikan sesuatu?”

Jawabannya selalu lembut, “Nggak usah, Nak. Ibu masih kenyang.”

Jika adikku bertanya, “Bu mau oleh-oleh? Aku pulang agak malam nanti."

Jawaban ibu selalu sama, disertai senyum yang membuat hati terasa hangat,

“Nggak usah, Nak… ibu nggak pengen apa-apa.”

Itu lah ibu. Tidak ingin merepotkan. Tidak ingin memberatkan.

Namun justru karena itulah dia terasa sangat berharga.

Setiap malam, sebelum tidur, aku sering melihat ibu mengangkat kedua tangannya. Membisikkan nama kami dalam doa. Mungkin itulah yang membuat hidup kami masih bertahan sampai sejauh ini, doa seorang ibu yang lebih kuat dari apapun yang dunia bisa berikan.

Dalam sujudnya, ibu memohon agar kami menjadi anak yang baik, anak yang sholeh dan sholehah, anak yang santun kepada orang yang lebih tua, anak yang tahu arah pulang ketika tersesat. Dalam sujudnya, ibu menitipkan seluruh harapan yang tidak bisa dia dapatkan dari hidupnya sendiri, agar kami yang melanjutkan.

Aku sering bertanya dalam hati, apakah Allah menghapus air mata ibu saat dia bersujud di malam yang sunyi? Apakah Allah menguatkan pundaknya ketika beban hidup terlalu berat? Aku yakin iya.

Lihat selengkapnya