Aku beberapa kali mencuri pandang pada arloji yang tersemat pada lengan kiriku. Tangan kananku sejak tadi menggenggam ponsel pintar berlogo buah setengah digigit. Beberapa kali mengedarkan pandangan ke arah pintu keberangkatan yang jaraknya tidak jauh dari tempatku duduk saat ini. Setelah hampir enam tahun tinggal di negara yang jauh dari tempat kelahiranku, aku memutuskan untuk kembali ke Indonesia setelah masa studiku selesai. Aku memberanikan diri untuk pulang ke negaraku sendiri.
Kemarin malam, aku sempat bertukar pesan dengan salah seorang teman di Indonesia. Kami membicarakan banyak hal, termasuk jadwal kepulanganku. Temanku yang juga berstatus sebagai dokter kejiwaan, dokterku. Benar, Maria adalah seorang psikiater yang dengan sukarela memberikan pengobatan gratis untukku tujuh tahun lalu. Aku masih ingat sekali, bagaimana hancurnya diriku setelah mengetahui laki-laki yang aku sukai meninggal dengan tragis di malam itu. Kami adalah teman satu angkatan saat kuliah dulu dan kami juga melanjutkan ke departemen yang sama untuk mendapatkan gelar dokter spesialis. Mungkin aku tidak pernah menarik di matanya, hingga sampai akhir hayatnya pun laki-laki itu tidak pernah mengetahui bahwa aku selalu menjadi perempuan yang mendukungnya di balik semua kerja kerasnya. Saat itu, aku bekerja di rumah sakit milik kepolisian dan dia bekerja di rumah sakit pendidikan tempat kami dahulu menimba ilmu kedokteran. Menurut junior-juniorku yang sedang kebagian stase forensik, dia adalah sosok tegas dan juga galak perihal pembelajaran. Aku hanya tersenyum mendengar keluhan-keluhan mereka. Ada yang dilempar keluar dari ruang autopsi karena tidak bisa menahan muntah. Seingatku pun, dahulu aku juga tidak bisa menahan rasa mual setelah kedatangan satu jenazah yang diduga sudah meninggal selama tujuh hari karena terbawa arus sungai.
Aku tersenyum tipis mengingat kenangan-kenanganku tujuh tahun lalu. Suatu hari aku mendapatkan notifikasi bahwa rumah sakit pendidikanku dahulu meminta kerja sama dengan rumah sakit kepolisian tempatku bekerja. Lantas aku dengan senang hati menerima tawaran tersebut. Aku diminta untuk mengisi acara pertemuan forensik dan memberikan sedikit kuliah umum di sana. Hari itu aku kembali bertemu dengan laki-laki yang selalu aku kagumi, dia adalah kepala departemen forensik di sana. Aku kembali bertemu Angkasa setelah sekian lama terpisah karena penempatan kerja yang berbeda. Aku memberanikan diri untuk menyapanya, saat itu Angkasa terlihat sedikit berbeda, ada perasaan tidak nyaman melihatnya. Angkasa terlihat lebih kurus dari terakhir aku bertemu dengannya, saat pertemuan ilmiah para dokter forensik di Semarang. Aku sempat bertanya kepadanya bagaimana rasanya menjadi seorang dokter dan juga kini menjadi pengajar di tempat mereka dulu mencari ilmu. Angkasa menjawabnya dengan ramah, dia tersenyum tipis dan tetap tegas, tidak galak seperti yang para koas katakan, mungkin karena aku temannya. Aku sempat merasa geer kalau-kalau saja Angkasa berbalik menyukaiku saat itu. Di sanalah kami sempat berbincang mengenai beberapa hal tentang pekerjaan dan juga kesibukannya. Angkasa bercerita kalau dia sedang mencari orang di balik penyebab kematian seorang wanita dan itu sudah berlangsung lebih dari setengah tahun. Kasus apa yang bisa membuat laki-laki itu bekerja sangat lama dan tak kunjung selesai. Dia sempat memberikan beberapa penjelasan kalau korbannya ini adalah seorang perempuan kuliahan yang meninggal karena di setubuhi oleh para komplotan laki-laki yang juga berkuliah di kampusnya. Aku sempat terkejut mendengar cerita tersebut, rasanya seperti tidak asing dan aku pernah membaca kasusnya. Mungkin hanya perasaanku saja, jadi saat itu aku menghiraukan perasaanku, yang penting saat itu adalah aku bisa berbincang dengan Angkasa sebanyak yang aku mau.
Satu minggu kemudian aku mendapatkan kabar mengejutkan, ada sebuah pesan yang dikirimkan oleh seorang rekan forensik di grup perkumpulan profesi. Dokter Angkasa Utama mengalami kecelakaan di jalan tol, dia meninggal di tempat setelah di tabrak oleh sahabatnya. Ponselku terjatuh begitu saja, malam itu aku baru selesai melakukan pemeriksaan pada pasien death on arrival di IGD yang diduga meninggal tidak wajar. Tetapi, malam itu juga kembali mendapatkan hal mengejutkan perihal kejadian yang menimpa Angkasa. Aku bergeming, terpaku setelah membaca pesan-pesan yang masuk ke dalam ponselku. Rasanya duniaku tiba-tiba saja runtuh, dia adalah laki-laki yang selalu menjadi alasan kuatku dalam menjalani hidup. Angkasa juga menjadi salah satu alasanku untuk menjadi dokter forensik, hingga sampai sekarang aku bisa menjadi seseorang yang selalu diperlakukan dengan baik, meski aku tidak pernah diperlakukan dengan baik oleh orang tuaku. Kabar kematian Angkasa benar-benar membuatku terpuruk, malam itu aku datang ke tempat kejadian dengan kepolisian. Aku sendiri yang mengeluarkan surat kematian wajar, sebab aku tidak menemukan ketidakwajaran pada kematiannya. Di malam itu juga, aku duduk tersandar di samping jenazah Angkasa, memandangi laki-laki yang sudah tertutup kain putih setelah dilakukan autopsi. Sambil menunggu staf lain untuk melakukan pemulasaran pada Angkasa, aku memberanikan diri untuk kembali melakukan pemeriksaan pada barang bawaan yang ada dengannya. Aku menemukan beberapa foto dan juga potongan artikel dari koran lama. Aku membacanya dengan hati-hati dan juga beberapa kali memandangi foto-foto di tanganku. Aku kenal sekali dengan seseorang yang ada di foto itu, perempuan itu adalah Arawinda, dia kekasih Angkasa yang telah lama meninggal. Seingatku, Arawinda adalah korban dari pemerkosaan oleh anak-anak yang berada di jurusan hukum saat itu. Beritanya sangat besar, karena orang tua Arawinda sempat melaporkan kejadian tersebut ke kepolisan dan menyeret para laki-laki itu ke pengadilan, namun sebesar apa pun usaha mereka tetap tidak akan bisa memasukkan para pelaku ke penjara. Mereka semua adalah anak-anak dari petinggi kampus dan juga pemerintahan. Aku ingat, Angkasa sempat tidak berkuliah beberapa saat karena mengalami trauma akan hal itu, mamanya adalah seorang dokter psikiater yang juga menjabat di Kementerian. Angkasa diberikan terapi dan kembali seperti seseorang yang baru dilahirkan kembali, bahkan Angkasa tidak bisa mengingat sosok Arawinda kembali. Seingatku dulu, kami dilarang untuk mengatakan hal-hal yang berkaitan dengan Arawinda dan kasus yang menimpa Arawinda pun perlahan-lahan menghilang setelah kembalinya Angkasa saat itu.
Aku sempat membaca sebuah berkas yang ada bersamaan dengan barang bukti, malam itu aku kembali terdiam mendapati fakta bahwa kasus yang pernah diceritakan Angkasa satu minggu sebelum kematiannya adalah kasus Arawinda yang sudah lama tenggelam dari publik. Aku menutup mulutku mencoba meredam tangisanku setelah membaca fakta lain di bagian paling bawah laporan kasusnya. Selama ini aku hanya mengagumi Angkasa secara diam-diam, aku tahu persis bagaimana hubungan Angkasa dan Arawinda saat itu dan aku hanya tahu kalau Arawinda meninggal karena pemerkosaan, tidak kusangka bait terakhir itu benar-benar mengguncangku. Arawinda dinyatakan meninggal setelah tertabrak oleh sebuah mobil yang melintas di jalan tol, Arawinda yang mencoba kabur dari sekapan para laki-laki tidak beradab itu membuka paksa pintu bagian belakang dari Jeep yang menculiknya, tidak tahu mendapat kekuatan dari mana, namun Arawinda berhasil membukanya dan melompat begitu saja. Sebuah mobil yang melintas cepat malam itu tidak sempat menghindari tubuh Arawinda yang baru saja mendarat ke atas aspal. Pada halaman selanjutnya aku melihat sebuah artikel berita yang memuat sebuah foto dari mobil yang menabrak Arawinda malam itu, lagi-lagi aku dibuatnya terkejut. Tangisanku malam itu tidak berhenti meski aku berusaha menahannya. Aku baru saja mengetahui fakta yang ditutupi oleh orang-orang yang hebat itu, berpuluh tahun lalu sampai pada akhirnya Angkasa kembali membuka kasus yang ditutupi itu. Bahwa Angkasalah yang menabrak kekasihnya, malam di mana Arawinda mencoba melarikan diri dan Angkasa yang mencoba mengejar mobil pelaku.