Mathematics, Law??? Forensic

Tera
Chapter #2

2.

Akhirnya setelah lebih kurang tujuh jam lamanya penerbangan, aku pun bisa menghirup udara penuh polusi Jakarta, ditambah dengan satu jam mengantre di bagian imigrasi dan dua jamnya lagi aku masih harus mengurus beberapa barang bawaanku. Aku hampir di tahan karena membawa beberapa oleh-oleh yang bagi pihak imigrasi itu adalah barang mewah. Aku sempat bertanya-tanya bagian mananya yang mewah? Sementara aku hanya membawa makanan ringan khas Nagano yaitu pai apel dan beberapa suvenir, seperti sarung tangan yang aku pesan langsung di pengrajin yang ada di Nagano. Aneh, apakah proses imigrasi memang serumit ini? Padahal akukan Warga Negara Indonesia. Kalau ditotal aku menghabiskan waktu selama lebih kurang sepuluh jam hanya untuk menghirup udara yang terlewat bersih ini.

            Butuh waktu sekitar satu jam dari bandara ke tempat tinggalku yang baru, itu pun kalau perjalanannya lancar, mengingat hari ini pekan libur pasti banyak orang-orang Jakarta yang akan bepergian ataupun sebaliknya. Sejujurnya, aku masih ragu akan keputusanku saat ini, apakah benar dengan aku kembali ke Indonesia luka yang tidak berhasil aku sembuhkan di negara lain itu akan sembuh? Atau akan bertambah besar? Aku melihat orang-orang yang datang berbarengan denganku tadi, mereka sama-sama pergi ke luar negeri untuk belajar sepertiku, ketika pulang pun tujuannya sama. Hanya saja bedanya aku tidak disambut oleh siapa pun. Jujur saja, aku kesepian di setiap harinya, orang tuaku berada jauh di luar pulau Jawa, teman-temanku sibuk dengan keluarga dan karirnya masing-masing. Percintaan? Seperti yang sudah aku ceritakan, aku ditinggal pergi oleh orang yang aku sukai, tragisnya orang tersebut tidak pernah tahu kalau aku sudah menyukainya sejak lama.

            Saat pertama kali bergabung di Laboratorium Matematika Kedokteran di salah satu Universitas Negeri yang ada di Nagano, aku pernah mencoba membuat sebuah rumus yang diturunkan berdasarkan analisis kompleks dari interaksi sosial. Aku menamainya Fungsi Kesepian (FK). Setelah mengamati lingkungan baruku di sana, ternyata tidak hanya aku yang merasa dunia sangat sepi dan gelap. Dengan adanya rumus Fungsi Kesepian itu aku dapat melakukan pengukuran yang berkorelasi dengan tingkat kesepian individu. Semakin rendah nilai FK, maka tingkat kesepian yang dirasakannya semakin tinggi. Rumus ini semacam cermin yang menggambarkan kondisiku dan juga orang yang merasakan hal yang sama. Aku kembali mengingat bagaimana rumusnya:

  Sempat beberapa kali terbesit di benakku, apakah rumus ini memungkinkan untuk diterapkan pada orang-orang di seluruh dunia? Apakah kesepian yang aku rasakan ini akan menjadi suatu pola umum di masyarakat, ataukah polanya sudah berjalan sejak lama?

            Setelah menilik kembali, aku menyadari kalau nilai dari Fungsi Kesepianku adalah yang tertinggi dari semua sampel yang aku ambil. Selama bergabung di Laboratorium itu, aku pernah membayangkan bagaimana kalau di dunia ini terdapat sebuah Lembaga yang mengesahkan Pasal Kesepian, di mana semua orang yang menyebabkan individu lainnya kesepian akan dianggap sebagai pelanggaran hukum. Pernah aku merenung di depan balkon kamarku, aku seharusnya bisa melakukan sesuatu untuk mengubah dinamika sosial di sekitarku. Daripada hanya mengukur tingkat kesepian, kenapa aku tidak mencoba untuk menciptakan kehidupan sosial yang lebih baik. Terkadang aku merasa tergelitik dengan imajinasi liarku sendiri, sangat tidak cocok.

“Mbak, kita sudah sampai.”

Bapak-bapak yang kutaksir berusia di pertengahan abad itu menyadarkanku dari bayangan-bayangan rumus matematika yang dibenci banyak orang. Pepohonan hijau tampak memenuhi lapangan luas di depan sana, terlihat sangat asri. Sayangnya ini adalah pemakaman mewah yang harganya melebihi harga sewa apartemenku selama satu tahun.

“Tunggu sebentar, ya, Pak?” tanyaku pada bapak pengemudi taksi yang aku tumpangi mau menungguku menengok seseorang di sini.

Setelah memastikan bahwa si Bapak tidak keberatan, aku meraih bunga tabur yang sempat aku beli selama di perjalanan tadi. Aku memasang kacamata hitam yang aku bawa sejak tadi, matahari hari ini sangat terik, cukup untuk membuat kulit wajahku berbeda warna. Terakhir kali aku menginjakkan kakiku di sini adalah tujuh tahun lalu, satu hari setelah aku menyatakan Angkasa meninggal dalam keadaan wajar. Jantungku berdegup sangat kencang, aliran darahku ikut terpacu. Menengok kembali kejadian bertahun-tahun lalu, sebenarnya aku tidak ikut dalam prosesi pemakaman Angkasa. Aku hanya datang ke sini dan berdiri jauh dari makamnya, terasa seperti tidak pantas untuk menghadiri pemakamannya saat itu. Entah apa yang aku pikirkan saat itu, yang aku ingat aku hanya terus-terusan menangis sampai kepalaku berdenyut sakit.

Segera aku menaburkan kelopak mawar yang aku beli, bercampur dengan jenis bunga-bunga lain. Wangi dari bunga mawar merah itu mendominasi sekeliling. Tidak heran dengan keadaan makam Angkasa yang sangat rapi itu, aku merasakan aliran uang yang sangat kuat untuk membayar perawatan makamnya. Aku duduk di samping makamnya, memejamkan mata dan merapalkan beberapa doa untuk laki-laki yang aku harap sudah tenang di alamnya sana. Lama aku terdiam sembari berdoa dengan serius, ada suara-suara berisik yang mengusikku. Seperti suara kaki yang menginjak-injak rerumputan kering, aku membuka mata berniat ingin memergoki si pembuat suara yang sudah mengusik aku berdoa.

“Lo siapa?” todongnya langsung setelah melihat aku membuka mata dan memandangnya. Ada seorang laki-laki yang tidak aku kenali berdiri di sisi lain dari makam Angkasa. Laki-laki dengan kaos putih yang di luarnya dipasangi sejenis kardigan hitam, celananya hitam, rambutnya hitam, bola matanya pun hitam. Gaya rambutnya sangat kekinian, seperti artis-artis Korea zaman sekarang.

Aku lantas mengerutkan dahiku sesaat setelah dia menodongku dengan pertanyaan “siapa”nya itu. Bukankah seharusnya aku yang bertanya seperti itu?

“Kamu yang siapa, ganggu orang berdoa aja!” ketusku.

Lihat selengkapnya