Kali ini, Aini benar-benar merasa terbuang, bahkan sangat terhina.
Bagaimana tidak terhina? Baru empat puluh hari kematian suaminya yang Bernama Datuak Bandaro Sati, Piah, adik iparnya berniat mengusir Aini dan anaknya yang bernama Rinai dari rumah yang selama ini mereka huni. Pengusiran itu memang tidak secara langsung, tapi dengan kata-kata kiasan.
Namun menurut Aini, itu lebih menyakitkan dibandingkan dengan bicara langsung dan kasar atau dipukul Piah dengan gagang sapu. Sebab, lidah manusia memang lebih tajam dari belati karena bisa melukai jiwa orang lain.
Pagi tadi, setelah putrinya pergi sekolah, Piah menemuinya dengan wajah sinis. Bahkan perempuan itu tak segan-segan berbicara dengan nada tinggi padanya dari ambang pintu. “Uni tau kan, kalau Uda Bandaro sudah meninggal?”
Aini tentu tidak tau harus menjawab apa karena Piah sendiri tahu, kakaknya sudah meninggal. Perempuan itu ikut mengantar Bandaro ke peristirahatan terakhirnya beberapa hari yang lalu. Bahkan Piah saampai pingsan saat tubuh kakak lelakinya perlahan ditimbun dengan tanah.
Karena Aini diam saja, Piah semakin meradang. “Uni tidak tuli, kan?”
“Sebenarnya ada apa, Piah? Kenapa kamu tiba-tiba datang dan bertanya seperti itu?”
“Uni seharusnya tahu, di mana Uni tinggal sekarang!” balasnya ketus, lalu dia meninggalkan Aini begitu saja, tanpa penjelasan.
Aini tentu saja syok, karena pertanyaan Piah, berhubungan dengan rumah yang dia tempati selama ini. Jangan-jangan kalimat tanya yang dia lemparkan dengan nada ketus, cara dia menyuruh mereka angkat kaki?
Aini memejamkan mata, berharap apa yang dia pikirkan, tidak sama dengan yang ada di pikiran Piah. Walau dari dulu, adik Bandaro itu tidak menyukainya. tapi tidak mungkin secepat ini Piah mengambil rumah yang dia tempati.
Allah.