Sulur Mentari belum memecah kabut pagi di Kampung Ranah, Ketika Aini melepas putrinya pergi sekolah. Ini hari kedua, mereka ditinggal lelaki yang begitu bijaksana. Kehangatan Bandaro Sati, bagi Aini lebih hangat dari terpaan cahaya lembut sang surya.
“Ibu teringat ayah ya?” Rinai melihat kegelisahan yang disembunyikan sang ibu di balik senyum lebarnya, saat menerima salam dari buah hati.
“Ibu tidak akan pernah bisa melupakan ayahmu, Nak. Sama seperti kamu,” balas ibunya sembari mengelus wajah cantik sang anak.
“Kata ayah, kalau rindu kirimkan doa. Jangan ditangisi.”
“Ibu tidak menangis, Rinai. Ibu hanya terharu, melihatmu semakin dewasa.”
“Semakin dewasa dan membuat Ibu harus istighfar setiap jam?” Dia tertawa kecil, lalu menarik napas.
“Istighfarkan untuk menarik rejeki dan ampunan Allah?”
“Iya, sih! Hmm, tapi Ibu tidak boleh melamun, selama Rinai ke sekolah. Nanti dilarikan oleh penunggu sungai larangan.” Dia menakut-nakuti ibunya, seakan wanita yang melahirkannya itu berusia sama dengan dia.
“Sudahlah, sana berangkat. Nanti kamu terlambat dan berbaris di luar pagar.” Aini mengecup lembut ubun-ubun sang anak, sembari melangitkan doa.
“Assalammualaikum, Ibu Aini.”
“Waalaikumsalam, Rinai binti Bandaro Sati. Tetaplah jadi penyejuk pandangan ibu dan pelipur lara hati ibu.” Aini melambaikan tangan ke putrinya yang mulai menuruni anak tangga.
Di sebelah dinding rumah yang berbeda, Piah memperhatikan anak dan ibu itu dengan wajah masam. Dia memang sengaja mengulur waktu, sampai Rinai meninggalkan rumah, baru bertamu.
Sebab, anak itu serupa dengan ayahnya, sulit untuk ditaklukkan. Berbeda dengan Aini yang lembut dan nrimo. Jadi, kalau Rinai sudah tidak di rumah, dia lebih leluasa menekan iparnya.
Tangannya terkepal, lalu dia mendongak ke angkasa. Sebentar lagi, harta peninggalan kakaknya akan dia dapatkan. Aini harus hengkang!