Langit mulai merah, saat mentari beralih tempat ke bagian Barat. Bayangan pohon kelapa mulai condong ke arah Timur. Aini berhasil melupakan sedikit rasa sakit akibat kata-kata Piah, saat melihat sang anak dan dua temannya bermain tali di halaman.
Mereka silih berganti asyik melompati tali dari pinggang ke ketiak, terus kepala dan berakhir satu jengkal jari di atas puncak ubun-ubun.
Saat mata Rinai mengarah ke jendela, tempat dia berdiri menonton permainan tali yang mereka lakukan, jantungnya berdetak cepat.
Aini tersenyum getir, dia bingung bagaimana cara menyampaikan kepada Rinai kalau lusa mereka harus pulang ke Tanah Jawa setelah tadi bertengkar hebat dengan adik perempuan suaminya yang keras kepala. Rinai pasti menolak, karena sedari kecil dia belum pernah ke Jawa. Akan sulit baginya mencari teman baru, walau putrinya supel dan gampang berinteraksi dengan lingkungan yang baru.
Namun kendala bahasa dan adat yang berbeda, sudah pasti akan membuat Rinai kesulitan di awal kepindahan mereka ke kampung halaman neneknya.
Bahasa Jawa dan Minang, memiliki tingkat kesulitan yang lumayan tinggi, Rinai harus belajar otodidak untuk menguasai Bahasa nenek moyangnya. Sementara dia sebagai ibu? Tidak pula paham Bahasa Jawa.
Setelah mengumpal semua pikirannnya, Aini membuang napas. Lalu memanggil sang anak dengan suara lembut, “Rinai! Sudah sore, naik dulu. Mandi dan salat, setelah itu makan. Bukankah nanti kamu harus setor ayat dan ceramah kepada Ayek Malin?” Dia melongokan kepala dari jendela.
Rumah panggung yang mereka tempati, memiliki kolong setinggi tujuh puluh senti, jadi saat Aini menjulurkan kepala di jendela, Rinai harus mendongak agar bisa memberi senyum pada ibunya.
“Rinai!”
Mendengar panggilan kedua kalinya dari sang Ibu, Rinai mendongak lebih tinggi jendela. Senyumnya terbuka lebar lalu menyahut, “Sebentar, Bu. Sekali lompatan lagi.”
“Tapi ini sudah sore, Nak.”
“Iya, Bu. Satu kali saja!” Dia mengacungkan telunjuk ke ibunya.
Aini mengalah, napasnya diembuskan keluar dengan sangat berat.
Sementara Rinai, langsung mengambil ancang-ancang untuk melompati tali yang ditaruh di pundak dua kawannya. Tali karet terbentang seperti net bulu tangkis. Setelah mengais-ngais tanah seperti kuda, dia mulai menarik langkah untuk melompat.
Hap!
Rinai berhasil melampaui tali yang di rentang antara kepala Nada dan Bunga, tanpa menyentuhnya sama sekali.
Kedua temannya terperangah. Tetapi mereka sadar, Rinai kalau melompat tinggi seperti anak kucing, karena dia rajin latihan silat dengan ayek Malin di surau mereka.
“Aku menang! Nanti malam, kalian harus memijit kakiku setelah latihan tari piring.”
“Loh, kok jadi pakai denda?”
“Bukan denda, tapi sebagai bayaran untuk pemenang.”
“Ish, Rinai ga adil. Sebelum main tadi, kita tidak membuat peraturan kan?” Bunga menatap kesal.
Rinai tertawa. “Kalau kamu keberatan, aku tidak akan memaksa kok.”
Nada ikut tertawa melihat Rinai mengusili Bunga.
Mereka bertiga satu kelas dan saat ini sama-sama berada di kelas lima, di SD Negeri Ekor Datar. Usia mereka beda-beda tipis, tua-tua telur ayam, begitu kata Ayek Malin. Tetapi yang paling besar ukuran badannya adalah Rinai, karena ibu dan ayahnya memang berdegap.
Bandaro Sati tinggi, Aini juga tidak mengalami stunting saat kecil. Mereka sepadan, sehingga melahirkan anak yang memiliki bebet dan bobot lumayan bagus.