‘Mato Lalok, Hati Batanggang.’
Mata Rinai memang terpejam, tapi hatinya begadang.
Dia gelisah di tempat tidur. Awalnya bantal guling dipeluk, lalu beralih ke kepala, lalu terbang ke lantai. Selimut yang tadi digunakan menutupi badan, sekarang jadi jendela yang dikibarkan untuk menghalau nyamuk.
Dia berharap ibunya melihat kondisinya, tapi tentu tidak mungkin.
Ibu dan ayahnya terlalu keras mendidik anak, kalau dia ngambek, harus meminta maaf dan memperbaiki kesalahan. Bukan menemui putri mereka dan membujuk dengan berbagai hadiah.
Rinai tahu dia yang salah.
Tetapi untuk maaf dan menemui ibunya ke kamar beliau?
Aih, berat sekali rasanya melakukan itu, karena dia menganggap, kesalahan yang dilakukan berasal dari perbuatan Piah. Tidak murni berasal dari diri sendiri.
Rinai perlahan duduk, lalu mengangkat tangan. “Allah, tidurkanlah aku … tidurkan aku ….”
Rinai kembali merebahkan kepala di bantal. Baru saja matanya dipejamkan, kodok sudah berdendang di sawah yang terletak di belakang rumahnya. Mungkin karena hujan sederap tadi membuat kodok itu kurang puas dan kembali memanggil hujan dengan nyanyiannya yang khas.
Hampir setengah jam Rinai termenung, matanya yang sudah terasa perih, masih enggan berteman kantuk. Dia memutar-mutar posisi tidurnya, berguling kiri, berguling ke kanan seperti goreng pisang di dalam wajan. Sementara waktu sudah berada di tengah pergantian malam. Hal itu baru disadari Rinai setelah jam dinding di kamarnya berdentang dua belas kali.
Ajakan ibunya untuk pulang ke Jawa membuat hatinya resah, terbayang meninggalkan kedua sahabatnya Bunga dan Nada. Teman bermain dan bacakak ( berkelahi), teman mencari belalang ketika panen tiba, bacakak ketika memanjat batang mangga yang buahnya baru belajar mengkal. Serta kebiasaan memancing belut saat musim tanam tiba.
Bayangan itu berebut masuk ke dalam ruang mata. Dia Kembali berdiri, mencari pancing belut yang disangkutkan di kertas kado yang melapisi dinding kamarnya. Jari-jari yang lentik membelai benang atom yang menjadi tali kail.
Dia duduk di lantai, memejamkan mata sembari tetap mengelus benang yang menjuntai dari dinding. Mendengar kodok sahut-sahutan, ingatannya melayang jauh ke dua bulan yang lalu.
Rinai pergi ke sawah untuk memancing belut, karena ibu hanya membuat sambal terong.