“Rinai itu hujan gerimis. Abak dan Ibu memberimu nama Rinai. Karena kamu lahir di saat hujan turun. Kamu tahu? Hujan itu merupakan Rahmat Tuhan yang luar biasa. Bahkan, salah satu waktu yang mustajab untuk mengetuk pintu langit adalah dengan berdoa di saat hujan turun. Begitu kaji yang kami terima di surau.
Jadi ...
Kamu tidak usah malu diejek karena nama kamu Rinai, kan Rinai itu hujan yang tidak deras. Tetapi tetesannya bisa menyejukkan alam, serta memberi kesuburan untuk semua tumbuhan.
Pernah dengar lagu Rinai pambasuah luko? Ibu dan Abak berharap kamu bisa membahagiakan orang banyak, dan bermanfaat untuk mereka. Tapi jangan mau dimanfaatkan!”
Kata-kata sang ibu terngiang di telinga, ketika kokok ayam Jantan membangunkan tidurnya yang hanya sejenak.
Dari pukul satu dini hari, Rinai tertidur di tikar pandan ruang tengah yang berlantai papan. Jadi suara ayam tentu terdengar jelas ke lubang telinga, karena si jago itu menetap di bawah kolong rumah mereka.
“Bu?”
“Mandi, langsung sholat!”
Ibunya ternyata sudah bersiap untuk sholat subuh.
Rinai tidak membantah, dia bangkit perlahan, walau dunia terasa berputar karena kantuk masih menyerang. Kalau saja ayahnya masih hidup, lelaki itu tidak akan membiarkan anaknya tidur larut malam. Apa pun alasannya.
Sehabis membasuh badannya, kantuk yang mendera perlahan hilang, walau Rinai masih seperti perahu yang berlayar di saat air pasang.
“Rin. Nanti siang, ibu ada keperluan ke kota. Kamu jangan tinggalkan rumah sepulang sekolah.”
Ibunya memberi amanat, sebelum membaca Al-Quran selepas subuh.
“Baik, Bu!”
Salah satu kebiasaan yang ditinggalkan Bandaro Sati untuk anak dan istrinya, tentu bangun sebellum subuh, mandi, sholat, mengaji dan sedekah subuh, walau hanya seribu rupiah. Hal itu masih diteruskan oleh Aini, walau suaminya sudah tidak ada.
Sajadah dia lipat, lalu melangkah ke kamarnya yang terasa sangat sepi sepeninggal Bandaro. Aini mengambil dompet kain yang sudah sobek di beberapa bagian. Mengeluarkan seluruh isinya ke atas kasur.
Wanita itu menarik napas. Nyeri rasa hati, karena sampai hari ini dia belum bisa mencari uang untuk biaya hidup dengan Rinai. Sementara uang peninggalan Bandaro, semakin menipis.
Setelah sejenak termangu, dia mengambil uang kertas pecahan dua ribu yang sudah lisut, lalu memasukkan ke dalam toples kecil wadah sedekah subuh keluarganya. Toples itu biasanya dibuka sekali sebulan, lalu diserahkan ke yang membutuhkan.
Sedangkan sekarang?
Dia dan Rinai, mungkin sudah masuk ke dalam hasnaf penerima sedekah. Janda dan anak yatim.
Mata Aini terasa panas. Dia menggigit bibir mengalihkan perih yang menghunjam jiwa dan raga.
Tidak.
Dia tidak boleh lemah. Apa pun yang terjadi, dia yakin karena Allah melihat kemampuannya menerima ujian hidup. Dengan tangan bergetar, Aini memasukkan uang tersebut ke dalam toples, lalu memandangi isinya yang sudah banyak.
“Allah. Jauhkan godaan setan dari pikiranku,” mohonnya sambil memejamkan mata.
Uang dalam toples mungkin sudah lumayan untuk ongkos pulang ke Jawa, jadi dia tidak perlu menjual cincin dan gelang peninggalan suaminya. Karena dulu rencana mereka, perhiasan itu untuk biaya sekolah Rinai.
Dari ambang pintu, putri tungga babeleng, atau semata wayangnya memperhatikan dengan perasaan nelangsa.
Gadis itu perlahan masuk dan duduk di ranjang ibunya.
“Uang ibu sudah habis ya?” tanyanya pelan, “makanya ibu mau pergi ke kota?” lanjutnya dengan wajah sendu.
“Kamu tidak perlu memikirkan uang untuk biaya hidup kita, Rin.”
“Terus kalau bukan mau mencari uang, untuk apa Ibu pergi ke kota?”
Wanita itu menarik napas, lalu tersenyum.
“Kan kita mau pulang ke Jawa.”
“Bu ….” Rinai mengela napas, karena masih belum bisa menerima keputusan yang dia buat ibunya.