“Rin, jangan marah ya,” pinta Bunga, ketika mereka sudah dalam kelas dan duduk di kursi masing-masing.
“Marah kenapa?” Rinai keheranan. Dia malah berterima kasih, Bunga menggantikan tugasnya.
“Aku akan meminta mama membelikan kamu sepatu baru. Sepatu itu sudah tidak mungkin dipakai lagi.” Mata Bunga menatap kaki sahabatnya.
Rinai tersenyum, lantas menggeleng. Dia tidak mau memberatkan orang tua Bunga terus, karena sudah banyak bantuan yang dia terima mulai dari saat ayahnya meninggal.
“Tak usah, nanti aku jahit.”
Bunga menarik napas panjang, mengisyaratkan kalau dia mengerti keberatan Rinai. Meskipun sekarang dia anak yatim, tapi sahabatnya itu tidak akan pernah mau menerima belas kasihan orang lain begitu saja.
Setelah sejenak diam, Bunga teringat sesuatu, dia mengode Nada untuk memberi tahu Rinai kalau nanti siang ada acara di rumahnya.
Nada menggeleng, karena lebih baik tuan rumah yang mengundang.
Bunga menggigit bibir. Kalau dia yang mengajak, Rinai pasti tidak akan mau. Soalnya tadi dia mungkin sudah membuat anak itu tersinggung, karena berniat membelikan sahabatnya sepatu baru.
Melihat kecanggungan yang terjadi di depan matanya, Nada mau tidak mau harus menjadi penengah agar mereka Kembali harmonis. Sebab, jika dari pagi perasaan mereka sudah rusak, Pelajaran tidak akan bisa ditangkap dengan baik.
“Rin, nanti siang, kita main ke rumah Bunga ya.” Nada berbisik.
“Ngapain, aku harus bantu ibu mengurus rumah, memasak dan nyuci. Kasian ibu!” elaknya.
“Setelah tugas kamu selesai,” balas Bunga dengan wajah penuh harap.
“Iya, tapi ngapain?”
“Belajar memasak. Ibu ada acara nanti malam, jadi beliau mau membuat kue kering. Kamu mau bantu kami kan? Sekalian belajar membuat kue.”
Rinai menunduk. Sebenarnya memasak memang hobinya. Mungkin dengan ikut membuat kue dengan mama Bunga, dia bisa belajar banyak. Nanti dia bisa membantu ibunya mencari uang.
“Hmm. Baiklah.” Rinai tersenyum.
Jawaban sahabatnya membuat mata Bunga berbinar.
Hingga jam pelajaran pertama berakhir, ketiga anak itu sudah lengket lagi seperti biasanya. Bahkan Bunga yang memang dermawan, mengajak kedua temannya untuk makan ke kantin.
“Jadi ceritanya kamu nyogok kami gitu?” Rinai tersenyum menggoda sahabatnya.
“Ya, enggak. Kalau tanpa kalian, aku berasa jadi manusia satu-satunya di muka bumi ini.” Bunga mengangkat kedua alisnya.
“Ga papalah, kan bagus. Jadi kamu bisa melakukan apa saja semaumu.” Nada ikutan meledek.
“Sendiri itu sempit, kalau rame-rame lapang. Sama kayak karet gelang yang sering kita gunakan bergantian untuk mengikat rambut.” Bunga asal jawab.