Rinai sengaja berkurung saja di dalam rumah sepulang sekolah, karena tidak mau Piah memarahinya setelah tadi anaknya dipukul oleh Bunga di sekolah.
Kendatipun bukan dia pelakunya, Madun sudah pasti akan menjadikannya kambing hitam. Sementara ibunya sudah mewanti-wanti agar tidak membuat masalah dengan sepupunya yang manja itu.
Beruntung sekali, Piah tidak di rumah siang itu. Mungkinkah dia mengikuti ibunya ke kota? Pikir Rinai sambil mengawasi rumah Madun dari celah dinding.
Piah pasti ingin tahu tujuan ibunya ke kota, karena semenjak ayahnya meninggal banyak sekali yang diinginkan perempuan culas itu dari mereka.
Rinai sampai tidak makan karena menahan rasa tidak nyaman. Meskipun di bawah tudung saji sudah tersedia belut goreng balado dan sayur pucuk ubi. Mungkin tadi ibunya menangkap belut peliharaan ayahnya yang ada dalam baskom besar, karena sudah tidak ada lagi bahan makanan di rumah.
Rinai mengela napas.
Karena lelah dan cemas melanda, dia ketiduran hingga terdengar ibunya memanggil dari pintu dengan suara cemas.
“Rin! Rinai, kamu sudah pulang kan, Nak? Kamu ada di dalam kan?”
Rinai mengerjapkan mata, lalu bergegas membuka pintu.
“Kenapa kamu berkurung di rumah? Kenapa tidak main saja di rumah Bunga atau Nada sampai ibu pulang?” Ibunya menatap iba.
“Rinai capek, Bu. Makanya langsung pulang.”
Hal pertama yang dilakukan ibunya saat masuk ke dalam rumah, melihat isi tudung saji. Dia menarik napas, lalu menatap tajam wajah anaknya.
“Kamu belum makan?”
“Belum, Bu. Ibu belum makan juga kan?” tanyanya pelan.
Ibunya menarik napas lagi, kali ini terasa lebih berat. “Ibu sudah makan sate tadi di kota. Makanlah, sebentar lagi Ashar. Bukannya hari ini kamu belajar belajar irama dengan ayek Malin?”
Wanita itu memang sudah tahu kegiatan anaknya setiap hari, kalau Rabu sore dia latihan mengaji berirama untuk MTQ.
“Rinai malas, Bu.”
“Kok, malas?”
“Kata Ibu kita mau pindah ke Jawa. Jadi untuk apa dilanjutkan lagi belajar ngajinya?”
“Untuk akhiratmu dan untuk menerangi kubur abakmu.” Ibunya meninggalkan meja makan begitu saja, karena kalau dia marah memang tidak banyak bicara. Sehingga anaknya yang akan berpikir, di mana letak salahnya.
Rinai menelan ludah, lalu masuk ke kamarnya untuk mengambil handuk dan menyiapkan pakaian ke surau.
Mungkin malam ini hari terakhir dia bersama teman-temannya, karena esok atau lusa sudah meninggalkan kampung halaman ayahnya yang merupakan tanah tumpah darahnya juga.
Pukul setengah lima, setelah sholat Ashar. Rinai berpamitan pada ibunya yang sedang termenung di kamar.
“Rinai pamit ya, Bu. Ke surau.”
“Sudah jadi makan?”
“Sudah, Bu. Lihat perutku, sudah kembung dan tegang. Ada nasinya, ada sayur dan ada belutnya.” Dia mengubah bait balonku ada lima untuk menghibur hati sang ibu.
Perempuan itu tersenyum, lalu mengulurkan tangan ke Rinai. “Maafkan ibu, tadi terlalu capek, jadi ibu memarahimu.”
“Tidak apa, Bu. Kata abak, selama ibu masih memarahiku, tandanya ibu masih sayang padaku. Kalau ibu sudah tidak peduli, ke mana lagi aku harus mencari kunci keberkahan?”
Ibunya tersenyum haru, lalu memeluk Rinai dengan perasaan tak menentu. Hatinya tidak tega membuat anak itu terluka, tapi mau bagaimana lagi?
“Pamit ya, Bu!”
“Hati-hati.”
Saat turun dari jenjang, jantung Rinai berdentam tidak karuan, dia takut kalau-kalau Piah dan Madun menunggu keluar, lalu marah-marah karena anaknya luka akibat pukulan Bunga.
Beruntung, rumah Piah masih kosong.
Seperti anak panah yang baru lepas dari busur, Rinai berlari ke jalan kecil menuju suraunya yang berada di Lembah Ekor Datar.
Pendidikan di kampung, bukan hanya didapat anak-anak di bangku sekolah saja, melainkan juga di tikar surau. Tempat mereka menuntut ilmu agama, menyeimbangkan duniawi dan akhirat.