Ayek Malin mendeham tiga kali, lalu mengusap janggutnya. “Sebelum Ayek bercerita, siapa yang nanti tertidur kita letakkan di atas loteng,” guraunya.
Anak-anak didiknya saling pandang. Lalu tersenyum dengan berbagai gaya.
“Cerita kali ini tentang Anak Raja dimakan Buaya. Kuburannya yang di Biaro itu. Kalian pasti sudah mendengar dari orang tua-tua di kampung ini. Tapi Ayek ingin mengulang kembali, agar sejarah ini tetap kalian kenang sampai kelak dewasa.”
Anak-anak itu saling pandang dan berbisik. Judul cerita itu mengingatkan mereka ke sebuah kuburan yang baru dipugar oleh keturunan Raja Pagaruyung. Dulu sebelum dipagar seperti sekarang, anak-anak itu bisa leluasa main di sana saat berkaul sehabis masa panen.
Ayek Malin menarik napas panjang, mengedarkan pandangan ke seisi surau. Meski hanya berlantai papan dan dialas tikar pandan, anak-anak itu tetap semangat mengaji di sana.
Senyum lelaki tua itu mengembang, rasa haru membuat kulitnya meremang. “Dahulu sebelum kerajaan Pagaruyung pindah ke Batu Sangkar, mereka mendirikan pemukiman kecil di kepala Biaro. Namun pada suatu hari ketika anak raja sedang mandi di batang air Sinamar. Datang buaya besar dan anak itu dimakannya.”
Wajah mereka menatap ke arah Ayek Malin, tidak ada suara selain desahan napas. Bahkan mereka tidak mau mengusili teman yang duduk di sampingnya.
“Kejadian itu membuat raja murka. Sehingga raja mengeluarkan sumpah pada buaya itu. Yang kalian dengan sotiah ( sumpah sakti barangkali ). Raja lalu memerintahkan hulu balang untuk membuat empang atau pagar dari ruyung enau, sehingga jika nanti anak cucu buaya lewat di tepian itu akan mati.”
Surau di Minang memang bukan hanya untuk belajar mengaji. Tapi juga belajar adat, sejarah dan adab. Sehingga anak-anak itu diharapkan mampu hidup menjadi manusia yang bermanfaat untuk orang banyak. Mendahulukan kepentingan bersama, menghormati sesama dan mampu menjaga harga dirinya. Ayek Malin kembali mendeham, mana tahu ada muridnya yang mulai tidur-tidur ayam.
“Kalian ingat musim hujan kemarin, batang Sinamar meluap? Kata almarhum ayah Ayek, ada buaya yang akan lewat. Tapi tidak lewat sungai, melainkan melintasi jalan darat menuju Gantiang dan akan menghilir melalui bandar Talao menuju anak sungai Batang Kumanis, lalu ke Sinamar lagi guna menghindar tepian Biaro yang berpagar ruyung tersebut,” lanjutnya runut.
Anak-anak yang mendengarkan seperti terhipnotis, mereka tetap khidmat dalam lingkaran. Biasanya Ayek Malin bercerita setiap malam Ahad, karena esok paginya tidak sekolah. Anak laki-laki yang mau tidur di surau akan ditemani Ayek Malin sampai pagi. Kemudian mengajak mereka mandimandi ke Batang Sinamar juga mencari buah-buahan hutan yang sedang musim.
“Setelah kejadian tersebut, maka raja beserta masyarakatnya pindah ke Tanah Datar. Lalu mendirikan rumah adat yang sekarang kalian kenal dengan sebutan Istano Basa, dan anak cucunya berkembang sampai saat ini.”
Meskipun itu hanya cerita rakyat, tapi kejadian yang digambarkan Ayek Malin memang sudah mereka saksikan sendiri. Mereka pernah melihat air Sinamar hampir mencapai jembatan besar antara Kumanis dan Tanjung Bonai Aur. Sehingga orang tua mereka mewanti-wanti untuk tidak pergi memancing dan main ke tepi sungai besar itu.
Bahkan peninggalan kuburan anak raja di kepala Biaro tersebut memang ada dan tiap tahun dijadikan tempat berkaul oleh masyarakat untuk awal memulai ke sawah bersama. Konon katanya juga jika telah berkaul di sana musim hujan akan segera datang. Sehingga masyarakat akan sama-sama turun ke sawah.
“Ada yang tertidur?” tanya Ayek Malin.
Riuh jawaban tidak membuat lantai dan dinding surau bergetar.
“Baiklah, malam ini kita selesaikan mengaji dengan doa bersama!”
***
Riuh suara anak berebut menuju pintu memecah hening. Di luar sana, suara kodok dan jangkrik tingkah bertingkah menemani cahaya rembulan. Awan hitam tampak bersisik di cakrawala. Rinai dan Bunga menyalakan senter lalu mengiringi yang lainnya pulang ke rumah masing-masing.
Anak-anak itu ada yang dijemput ke surau, ada yang ditunggu di simpang menuju rumah mereka. Ada juga yang searah dengan Rinai, Bunga dan Nada.
Perbincangan mengenai kejadian sebelum isya tadi jadi topik paling hangat. Rinai yakin, besok pagi bakalan merebak ke seantero kampung. Bisa jadi Piah dan suaminya, juga orang tua Rino, serta Taurus dipanggil wali Nagari atau kepala desa, karena ulah mereka yang sengaja membuat keributan di surau Ayek Malin.
Sambil berjalan, Rinai kembali mengingatkan adik-adiknya di surau untuk tidak memberi tahu kejadian tadi pada orang tua mereka di rumah.
“Kenapa tak boleh, Kak?” tanya Rahimah polos.
Anak kecil yang dibimbing Rinai itu menghentikan langkah.
“Tidak baik, karena apa yang terjadi di surau, habis di surau! Tak boleh dibawa pulang. Rahimah paham maksud Kakak?”
Anak kecil manis itu menggeleng.
“Maksudnya, tidak boleh mengadu kepada orang tua di rumah. Kan tadi mereka sudah dimarahi Ayek Malin?”
Rahimah akhirnya mengangguk juga, walau belum tahu apakah rahasia itu bisa dia simpan atau malah terbongkar saat ibunya menemaninya menjelang tidur.