Kali ini, bukan lagi ayam Jantan yang membangunkan Rinai, tapi suara ribut-ribut dari rumah Piah. Tetangga sekaligus bibinya. Entah apa penyebabnya yang jelas suara lengking Pia membuat gadis kecil itu terkejut dan nyaris melompat dari tempat tidur.
Rinai menoleh ke jam dinding bulat yang tertonggok di atas kepala tempat tidur, saat ini jarum berada di pertengahan angka empat dan lima. Berarti belum masuk waktu subuh, pantas Uwan Ahmad belum azan. Tapi kenapa mereka bersirangak (heboh)? Telinga Rinai masih menempel ke dinding, kemudian pindah ke papan yang ada celahnya. Biar jelas kedengaran, mana tau Pak Etek Nusar suami Piah marah karena Istrinya yang sombong itu melabrak ibunya pagi.
Pak Efek Nusar orangnya baik, tidak sama dengan Piah. Dia rendah hati dan suka menolong. Bahkan dia tidak segan membela Rinai jika bercakak dengan Madun setelah saling ejek, atau kalah main kelereng melawan Rinai.
Gadis itu masih mengingat dengan jelas, kata-kata yang diucapkan Nusar ketika memarahi anaknya di depan Rinai beberapa bulan yang lalu. “Rinai itu perempuan, dia masih satu darah dengan Kamu. Walaupun di Minang kalian Babako ba Anak Pisang, tapi kalian itu satu inyiak (nenek) Seharusnya Kamu, yang menjaga Rinai. Bukan malah bacakak!” kalau sudah keluar bahasa kalbu pak etek Nusar, Madun akan naik ke rumah Gadang. Melapor pada Pia, sesaat hening. Setelah itu pasti suara Pia terdengar bagai petasan meletus.
Sangka-an Rinai pagi ini, Pak Etek Nusar menegur Piah karena tega mengusir dia dan ibunya. Sehingga Piah, mengeluarkan rentetan omelan. Ternyata apa yang dipikirkan Rinai tidak sesuai dengan yang terjadi, ada bahasan lain yang mereka bicarakan dan itu membuat Rinai tercengang.
“Kalau mereka pergi, kita bisa bongkar rumah yang dihuni Aini, Da.”
“Membongkar rumah yang sudah ada, itu pekerjaan mubazir, Piah.”
“Siapa bilang mubazir! Uda tidak percaya, sih! Di bawah kolong rumah itu ada sarang anai-anai yang menggunung. Dulu amak pernah cerita, kalau uda Sati dan apak menaruh barang-barang peninggalan kuno di sana. Ada piring emas, sendok dan sebagainya. Apak takut kalau beliau menyimpan itu di rumah Gadang ini, akan di sita pemerintah untuk dijadikan pajangan di museum.”
Mendengar kata-kata Piah dari balik dinding rumah mereka yang hampir bertaut, kening Rinai berlipat. Dia memang melihat ada gundukan tanah di kolong rumah ini, tepatnya di bawah kamar yang sekarang dia tempati bahkan puncak sarang itu hampir menjujung lantai.
“Tidak mungkin, Piah. Itu hanya omong kosong!” Suara Nusar mengambil alih rasa kantuk Rinai. Dia merapatkan lagi telinganya ke dinding, supaya bisa mendengar dengan saksama pembicaraan bibi dan pamannya.
“Kalau ada, bagaimana?” Piah menantang suaminya.
“Tidak mungkin, Pia. Mana ada lubang di bawah sarang anai-anai? Setahuku di dalam sarang anai-anai itu ada rongga tempat ratunya bersarang, jika ratunya ditemukan lalu dijual memang harganya mahal. Mungkin itu yang dikatakan harta karun?!” Nusar membela didri.
“Uda! Saya yang punya rumah ini, lahir di sini, sampai tua begini tetap menunggui rumah Gadang ini. Saya tau semua cerita rahasia yang mak dan apak sembunyikan.” Suara Pia terdengar lengking.
Tidak mungkin ada asap jika tidak ada api.
Air muka Rinai berubah-ubah mengikuti ritme suara Piah. Otak kecilnya pun ikut berhalusinasi setelah memandang ke lantai yang diinjak.
Apa benar ada harta karun di bawah ini? Rinai tidak percaya. Abaknya tidak pernah ceritakan hal itu, entah kalau itu memang menjadi rahasia dalam keluarga mereka.
Lamunan gadis berambut panjang itu sirna bersama suara azan yang berkumandang dari pengeras suara yang terletak di atap tertinggi surau Tuo. Dari pada mendengarkan pertengkaran Piah dan Nusar, lebih baik berwudhu, pikirnya mulai sadar dari halusinasi.
Lampu ke sumur sudah menyala, berarti ibunya sudah duluan bangun, tapi menunggu selesai azan baru melihat Rinai ke kamar. Apakah sudah bangun atau belum. Gadis itu menarik napas, lalu mempercepat langkahnya. Dia tidak mau kehilangan moment sholat dua rakat sebelum subuh, karena kata ayek Malin lebih berharga dari pada dunia dan seisinya. Sejak kecil Rinai sudah terbiasa bangun sebelum subuh, selarut apa pun dia tidur tetap akan bangun sebelum azan berkumandang karena matanya tidak bisa lagi terpejam seperti ada yang membangunkan, kakinya melangkah cepat menuruni anak tangga.